Kupang – Berawal sebagai pedagang daging sapi di Rote Ndao, Nyongki Manufoe kemudian memutuskan berjualan sei sapi. Keputusan itu dia ambil setelah penjualan daging sapinya tidak memberi keuntungan.
Terbersit di pikiran pria asal Pulau Rote, Provinsi Nusa Tenggara Timur akan bapaknya yang dulu sering membuat sei sapi. Dia memperkirakan dengan berjualan sei sapi nilai jualnya lebih baik.
Tidak mudah untuk merealisasikannya. Nyongki tidak paham membuat sei. Dia kemudian mencari tahu caranya ke orang-orang yang dikenalnya. Tapi tak satupun membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka.
Nyongki teringat pada sang bapak.
Baca juga: Terinspirasi Kekayaan Laut NTT, Epa Gagas Se’i Ikan
“Saya tanya ke Bapak cara pembuatan sei. Bapak menceritakan cara pembuatan sei yang sering dibuatnya dulu. Kata Bapa saya, cara pembuatan sei dengan cita rasa tersendiri seperti ini warisan dari leluhur kami,”kata Nyongki di rumah produksinya di Pasir Panjang, di Kota Kupang, Kamis sore, 26 Januari 2023.
Sebagai ucapan terimakasih kepada sang bapak, Nyongki pun mengabadikan merek sei sapi miliknya dengan nama Oparote
“Kami disana biasa panggil Bapak dengan sebutan Opa,” ujarnya.
Pria usia 32 tahun ini pun mulai menjual sei sapi pada 17 Februari 2017 di Rote. Dia membuat sei dari daging sapi seberat 1 kilogram. Untuk kemudian sei buatannya difoto dan dijual melalui media sosial seharga Rp 160 ribu per kilo.
“Kalau ada yang pesan baru dibuat lagi,” ucap Nyongki.
Setahun kemudian, dia pindah ke Kupang dan melanjutkan usahanya. Pembelinya bertambah sehingga seminggu dia bisa menghabiskan 5 kilo sei sapi. Strategi pemasaran tetap menggunakan media sosial.
Hingga pandemi Covid-19 masuk ke NTT pada 2019. Pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Perekenomian nasional maupun dunia pun terguncang karena praktis kegiatan perekonomian terhenti.

Baca juga: Kadis Parekraf: UMKM Jadi Daya Tarik Wisatawan Kunjungi NTT
Nyongki beruntung karena strategi pemasaran online produk sei sapi tidak terdampak. Justru pesanan untuk sei Sapi Oparote via media sosial seperti Facebook, Instagram meningkat. Meski dia menjual produk UMKM-nya juga secara offline di mini market.
“Sekarang kami punya tim medsos dan fotografer sendiri,” ujarnya mengenang masa pandemi.
Pemasaran Sei Sapi Oparote secara online sudah meluas keluar dari NTT seperti Jogjakarta, Bandung, Semarang, dan Jabodetabek. Untuk menghindari persaingan tidak sehat, Nyongki menerapkan aturan setiap kota hanya satu reseller.
Produk sei sapi Oparote juga dipesan Dekranasda NTT. Bahkan dipesan untuk dijual di gerai Dekranasda di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Hingga kini, Nyongki memasok sei sapi untuk Dekranasda NTT.
Pemasaran sei sapi Oparote berjalan baik. Terbukti, rumah produksi Sei Sapi Oparote per hari membakar sekitar 50 kg daging . Harga daging sapi segar kualitas premium sekitar Rp 120 ribu per kilo.
Setelah daging diolah menjadi sei, harganya dibandrol Rp 250 ribu per kilo.
Daging sapi segera diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Bimoku, Kota Kupang. Nyongki mempersiapkan tim pemotong sapi di RPH untuk menjaga kualitas sei.
“Di RPH sudah ada tim dari Sei Sapi Oparote dengan jumlah enam orang. Tugas mereka adalah memotong daging sapi. Kami juga sudah berlangganan dengan orang disana. Sapi tidak sembarangan dipotong, harus dilihat dari kondisi dan kesehatan sapi,” papar Nyongki.
Untuk sei, yang digunakan adalah daging sapi bagian paha, dada, lengan, bagian belakang dan isi tulang. Setelah itu daging dibersihkan dan dipisahkan dari kulitnya lalu dipotong memanjang. Serat daging dikelurkan agar daging terasa lembut.

Baca juga: Manfaatkan Medsos, Abon Sapi dan Ikan Buatan Meli Banjir Pesanan
Setelah itu daging dimarinasi selama 12 jam agar bumbu meresap sempurna kedalam daging. Tahap berikutnya, proses pelayuan untuk kelembutan daging dan pembakaran untuk mengurangi kadar air dan darah.
Pembakaran daging paling cepat satu setengah jam dan paling lama dua jam. Nyongki mengatakan, cita rasa sei khas NTT tergantung pada proses pembakaran. Pada saat pembakaran, kayu yang digunakan adalah kayu Kesambi.
“Saya memilih kayu Kesambi karena bara api dari kayu Kesambi tidak mengeluarkan asap tetapi uap panas dengan wangi khas. Ini membuat daging wangi dan kematangan pada daging juga merata. Bara apinya juga tahan lama. Cuma tiga batang bisa bertahan selama empat hari,” tutur Nyongki.
Saat proses pembakaran, daging ditutupi dari atas dengan daun Kesambi agar uap panas tidak menyebar keluar.
“Kita juga dapat melihat matang atau tidak daging itu dari daun Kesambi. Kalau daun Kesambi layu maka itu bertanda daging di atas panggang harus dibalik. Kalau daun Kesambing sudah kering itu bertanda sudah matang,” jelas Nyongki.
Daging dibiarkan pada tempat terbuka selama 30 menit untuk proses pendinginan. Setelah itu dimasukan dalam kemasan. Untuk suhu ruangan, Sei sapi Oparote dapat bertahan selama empat atau lima hari. Jika disimpan di dalam kulkas, sei dapat bertahan selama dua sampai tiga minggu. Sedangkan di suhu beku, sei dapat bertahan selama dua sampai tiga bulan. (Gega Making)