26 March 2023
Memotret Ironi Sekolah Swadaya Orang Tua dan Guru di Kabupaten Kupang
Sorotan

Memotret Ironi Sekolah Swadaya Orang Tua dan Guru di Kabupaten Kupang

Feb 18, 2023

 Fatuteta -Tak pernah terbesit dalam pikiran Ofny Tameno jika postingannya di Facebook pada 10 Februari 2023 akan mendapat banyak komentar dari netizen.  Berawal ketika Ofny , guru di SMP Negeri 5 Amabi Oefeto, diminta oleh Kepala Sekolah untuk mengambil foto kondisi sekolah. Foto itu untuk dikirim ke Dinas Pendidikan Kabupaten Kupang.

Saat itu jam 9 pagi waktu setempat. Ofny sadar ternyata kapasitas memori telepon genggamnya sudah penuh. Sehingga dia tidak bisa menyimpannya. Ofny tanpa pikir panjang langsung memostingnya ke Facebook.

Dia menuliskan kalimat menarik  mendampingi foto itu: “Untuk kesekian tahunnya masih tetap setia bersamamu.”

“Untuk simpan saja, supaya besok-besok bisa lihat lagi,” kata Ofny saat ditemui KatongNTT di SMP Negeri 5 Amabi Oefeto.

Postingannya di media sosial itu dalam tempo singkat menarik perhatian netizen yang kemudian mereka sebarkan.

“Beta juga jadi kaget. Tidak ada bayangan kalau akan dapat perhatian seperti ini,” cerita Ofny.

Baca juga: Generasi Milenial Sumba Barat Daya Terbanyak Tidak Bersekolah di NTT

Di hari kedua setelah Ofny memosting tampak luar sekolah tersebut, hujan deras mengguyur. Ruang guru sekolah dimasuki air. Beberapa buku basah. Satu lemari yang menyimpan arsip sekolah, buku, dan beberapa fasilitas sekolah, ditutupi baliho agar tak terkena hujan.

Rayap mulai terlihat. Sehingga lagi-lagi mereka harus membawa barang-barang tersebut ke kantor SD.

“Sedangkan kami guru-guru pindah ke ruang kelas delapan. Kebetulan murid kelas delapan hanya lima orang. Jadi mereka di depan, kami guru-guru di belakang,” jelas Ofny.

Ofny Tameno menunjukkan keadaan ruang guru SMPN 5 Amabi Oefeto , Kabupaten Kupang, NTT yang kini dikosonkan karena air hujan merembes masuk pada 15 Februari 2023. (Ruth - KatongNTT.com)
Ofny Tameno menunjukkan keadaan ruang guru SMP Negeri 5 Amabi Oefeto , Kabupaten Kupang, NTT yang kini dikosongkan karena air hujan merembes masuk pada 15 Februari 2023. (Ruth – KatongNTT.com)


Atap Berlubang, Dinding Sekolah Sudah Tercabut

Terlihat rerumputan hijau mengelilingi sekolah. Total ada empat ruangan. Tiga ruangan kelas, dan satu ruang guru. Sekolah itu dibangun tahun 2017. Berlokasi di Desa Fatuteta, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Berjarak kurang lebih 14 kilometer dari kantor pemerintahan Kabupaten Kupang di Oelamasi.

Sebelum sekolah itu berdiri, anak-anak harus berjalan kaki sekitar lima kilometer ke SMPN 1 Kupang Timur di kecamatan berbeda untuk bersekolah.  Para orang tua kemudian berembuk untuk membangun SMP karena jauhnya jarak sekolah ke rumah mereka.

Dari hasil swadaya masyarakat setempat, satu ruangan kelas dibangun. Para warga mengumpulkan kayu, daun, dan orang tua murid menyumbang kursi dan bangku.

Sekolah pun mulai dibangun di atas lahan seluas 1.500 meter persegi. Lantai sekolah beralaskan tanah, berdinding pelepah gewang, dan atap dari daun gewang.

Bangunan sekolah untuk tingkat SMP ini berlokasi  tepat di belakang sekolah SD Negeri Fatuteta.

Baca juga: Di Balik Gedung Reot Pelajar SDN Bes’ao Merajut Cita

Lima guru kemudian direkrut. Di awal, mereka berkantor bersama di SDN Fatuteta. Tahun berikutnya, ruangan kelas delapan dan sembilan dibangun.

Di tahun 2020, ruang guru dibangun sebanyak empat kamar berukuran 5×6 meter persegi. Saat itu jumlah guru bertambah menjadi 12 orang.

“Waktu awal sudah ada murid, tapi tidak ada gedung.  Bulan Agustus, kami pergi kegiatan perayaan di kecamatan. Orang tua membuat gedung. Kami kembali, satu ruangan sudah ada. Waktu itu 16 siswa. Tidak ada kamar kecil (toilet). Gedung belajar saja tidak ada,” tutur Ofny tentang awal pembangunan sekolah.

Sekolah tersebut berada di dekat area persawahan. Sehingga dalam perjalanan, disuguhi hijaunya padi warga yang baru mulai tumbuh. Beberapa sungai kecil harus dilewati dengan kondisi jalan berbatu.

Saat musim penghujan tiba, daerah tersebut berlimpah air. Jalanan berlumpur dan banyak genangan air. Anak-anak ke sekolah kebanyakan tanpa mengenakan sepatu, tapi sandal. Lantai dalam kelas pun penuh lumpur karena lantai beralaskan tanah.

“Kami pakai sendal karena berlumpur. Kelas becek begini. Ada genangan air di belakang (kelas),” kata Andika Rivaldo Bonat, murid kelas 7.

Andika kemudian mengeluhkan kondisi sekolah mereka yang jauh dari layak.

“Kondisi sekolah sudah parah. Atap sudah lubang, dinding juga sudah tercabut. Kalau hujan angin daun tercabut. Kami basah. Tapi tetap belajar. Tarik meja ke belakang yang kering,” keluh Andika.

Anak usia 11 tahun itu tak punya pilihan lain ketika mau melanjutkan sekolah setelah lulus sekolah dasar.  SMP lain jaraknya jauh. Sehingga walau dengan keadaan SMP Negeri 5 Amabi Oefoto yang tidak layak, dia dan 12 anak lainnya mendaftar di sekolah itu.

Andika berharap kondisi sekolahnya segera diperbaiki agar mereka dapat belajar dengan aman dan nyaman.

“Belajar sonde (tidak ) nyaman. Kami mau gedung baru. Biar belajar jadi nyaman, aman. Hujan tidak basah. Kursi lain punya sandaran, kami tidak ada. Kami paku sendiri,” tutur Andika.

Claudia Ferida Silla, sudah tiga tahun mengenyam pendidikan di sekolah tersebut mengungkapkan,  proses belajar mereka acap kali terganggu jika masuk musim hujan. Soal kehujanan dalam kelas, sudah jadi hal biasa. Apa mau dikata dia dan 17 murid lainnya tetap bertahan demi bisa tamat sekolah.

Sejak dibangun, pihak sekolah telah berupaya untuk mengajukan dana ke Dinas Pendidikan Kabupaten Kupang. Namun, jawaban yang didapati hanyalah ‘nanti’.

Baca juga: Meneladani Universitas Muhammadiyah Kupang dalam Merawat Toleransi

“Sejak ini viral, dan media massa menanyakan ke Dinas baru bilang ada dana 600 juta untuk sekolah ini. Itu baru kami tahu kami ada dapat dana. Tapi itu pun tidak tahu kapan realisasinya,” kata Ofny, guru yang mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris.

Dengan segala keterbatasan yang ada, Ofny mengaku tak berniat meninggalkan sekolah itu. Di awal bergabung, ia dan keempat guru lainnya bertahan tanpa digaji selama dua tahun. Di tahun ketiga saat diangkat menjadi guru kontrak daerah, dia baru menerima gaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

“Sekolah ini sudah ada di hati saya. Sekolah ini bukan milik saya, milik pemerintah. Tapi saya tetap cinta sekolah ini. Kenapa saya tidak mau punya keputusan untuk keluar dari sini, karena jiwa saya sudah ada di sekolah ini. Saya mau membangun sekolah ini,” tutur Ofny.

Dia berharap, pemerintah mau turun tangan melihat langsung situasi sekolah dan siswa-siswanya.

“Karena kami di sini membangun anak-anak bangsa juga,” ucap Ofny meneteskan air mata.

Menurut dia, sekolah ini jadi pergumulan bukan hanya dirinya, tetapi bersama guru-gurunya dan para orang tua di desa itu.

Mereka hanya berharap anak-anak bisa mencicipi bangku pendidikan dengan tanpa harus menempuh jarak yang terlalu jauh.


Beratap daun gewang, berlantai tanah

Kerinduan yang sama bukan hanya ditemui di Desa Fatuteta. Di bagian Timur Kecamatan Amabi Oefeto, tim KatongNTT menemui sekolah dengan situasi serupa.

SMP Negeri 9 Amabi Oefeto Timur di Desa Pathau, Kabupaten Kupang dibangun pada 2016. Saat itu  para orang tua berembuk untuk membangun satu SMP yang dekat untuk ditempuh anak-anak mereka.  Sebelumnya, SMP terdekat berada di kecamatan sebelah di Amarasi Timur.

Bangunan sekolah dibangun seadanya oleh warg . Bangunan sekolah beratapkan daun gewang, dinding dari pelepah gewang, serta berlantai tanah.

Ishak Herbon Snae, guru yang bekerja di sekolah itu sejak sekolah dibangun mengatakan, bangunan SMP Negeri 9 Amabi Oefeto Timur dibangun atas swadaya para orang tua di desa itu. Masing-masing membawa peralatan serta bahan-bahan untuk membangun tiga ruang kelas.

Dinding SMPN 9 Amabi Oefeto Timur Kabupaten Kupang Provinsi NTT yang terbuat dari pelepah gewang ambruk dan ditopang sebatang kayu (Ruth - KatongNTT.com)
Dinding SMPN 9 Amabi Oefeto Timur Kabupaten Kupang Provinsi NTT yang terbuat dari pelepah gewang ambruk dan ditopang sebatang kayu (Ruth – KatongNTT.com)

 

Bupati Kupang saat itu, Ayub Titu Eki dan wakilnya Korinus Masneno hadir untuk meresmikan sekolah. Hadir pula beberapa calon anggota legislatif yang saat itu mengumbar janji akan membantu pembangunan sekolah.

Namun, keadaan tidak berubah hingga dua tahun. Situasi memburuk karena ketika hujan, atap dari daun itu sudah tidak bisa melindungi guru dan murid di dalam kelas. Mereka kehujanan.

Chostantinus Kanaf diangkat sebagai kepala sekolah pertama SMP pada 2018. Dia dan para orang tua berembuk untuk segera membuat ruangan baru

Sebanyak 100 lembar seng didonasikan seseorang. Sisanya, dicukupi oleh guru dan orang tua di desa setempat. Para guru SMP Negeri 9 Amabi Oefeto Timur sepakat untuk bekerja sama. Mereke memberi waktu, biaya, dan tenaga untuk membangun gedung sekolah yang baru.

“Kami sepakat kasih tenaga, materi sedikit-sedikit. Ada yang datang bawa makanan, dan lain sebagainya, kita bangun sekolah itu,” tutur Chostantinus.

Menjelang musim hujan, guru dan murid pindah ke gedung sekolah yang baru dibangun. Namun dinding bangunan sekolah belum ada.

“ Yang penting atapnya dulu. Jadi bantuan hanya itu. Dari dinas tidak ada,” jelas Chostantinus.

Kini, dinding-dinding itu sudah rapuh dan berlubang. Di awal Januari 2023 saat libur panjang usai, guru-guru dan murid kembali ke sekolah. Mereka disambut dinding ruang kelas sembilan yang ambruk.

Saat ini mereka menopang dinding yang roboh itu dengan satu kayu panjang yang sewaktu-waktu bisa kembali rubuh diterpa angin. Dan jika hujan deras, para guru dan murid basah dalam kelas.

“Jadi kalau hujan angin, KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) dihentikan,” kata  Ishak.

Ironisnya, saat sekolah dalam proses dibangun, tim akreditasi turun ke sekolah untuk memberikan penilaian.  Oleh karena ketiadaan gedung, akreditasi yang didapat pun kurang baik.

Alhasil, nasib SMP Negeri 9 ini seperti pepatah: sudah jatuh ditimpa tangga pula.

“Kami akhirnya dapat nilai D. Dengan persoalan akreditasi ini, maka peluang kita untuk dapat bangunan kan tidak bisa,” ujar Chostantinus.

Pedoman akreditasi sekolah dan madrasah tahun 2022 yang dikeluarkan Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) menyebut, sarana dan prasarana sekolah menjadi satu komponen yang dinilai. Penilaian ini untuk mendapat akreditasi.

Untuk mendapatkan nilai akreditasi yang baik, para guru berusaha untuk membangun gedung sekolahnya. Dinding sekolah kemudian mereka ambil kembali dari gedung yang lama.

“Kami guru-guru kalau tidak ada jadwal mengajar, kami pergi kerja (bangun gedung sekolah),” cerita Ishak.

Setiap tahun sebelum penetapan anggaran, kata Chostantinus, dia pasti ke Dinas Pendidikan Kabupaten Kupang untuk menanyakan anggaran pembagunan sekolah. Namun belum ada anggaran.

“Tetapi mau bilang apa, mereka bilang kami punya sekolah ini kan SMP 9, jadi pembangunannya bertahap. Nah sekolah yang lain juga belum punya gedung. Dengan jawaban yang ada, ya sudah kita mengalah,” ujarnya.

Baca juga: Nono Menang dari Buramnya Kualitas Pendidikan di NTT


Bangun Sekolah Tidak Sesuai Aturan

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kupang Imanuel Buan mengakui penanganan kurang maksimal terhadap sekolah-sekolah di Kabupaten Kupang. Ini sebagai imbas dari masifnya pembangunan sekolah tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku.

“Kami sekarang ini namanya salib yang harus kami pikul. Karena dulu, bangun sekolah tidak memperhatikan ketentuan,” kata Imanuel.

Berdasarkan aturan pendirian sekolah, kata Imanuel,  minimal harus 60 siswa. Lalu satu SMP didukung tiga SD. Satu SMP dan SMP lainnya itu harus berjarak enam kilometer.

“Tapi itu diabaikan semua,” jelas Imanuel.

Dia mengatakan,  ada delapan sekolah di Kabupaten Kupang yang kondisinya tidak layak. Saat ini dia fokus untuk membenahi yang sudah ada. Imanuel tidak memberi izin untuk membangun sekolah saat ini.

“BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) audit kinerja tahun 2017, dan mendapati banyak sekolah yang dibangun tak sesuai aturan. Dan menyebabkan sekolah-sekolah yang dibangun tak mampu dibenahi,”  jelas Imanuel.

Sedangkan dana untuk membangun sekolah  berasal dari Kementerian Keuangan yang dialokasikan untuk pendidikan di tanah air. Dana pendidikan mencapai Rp 608,3 triliun untuk 2023. Dana dipakai untuk mencakup pembiayaan dari tingkat pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi.

“Untuk SMP 5 itu, tahun ini akan kita bangun. Anggaran sudah ada Rp727 juta. Dengan SMP 4 Amfoang Barat Laut, SMP 5 Amfoang Barat Daya. Sedangkan untuk SMP 9 anggaran belum ada. Karena rata-rata sekolah kami di sini semua begitu,Jadi  bagi-bagi,” papar Imanuel.

Tekad masyarakat hanya satu yakni membangun sekolah.  Sehingga anak-anak mereka tidak harus menempuh jarak jauh dengan medan yang membahayakan mereka.

Aprendi Runesi, siswa kelas Sembilan SMPN 9 Amabi Oefeto Timur tak tahu menahu soal sekolah yang disebut dibangun dengan tanpa mengikuti aturan itu. Yang ia tahu, ada sekolah yang lebih dekat (walau berbeda kecamatan) dari rumahnya di desa Fatuteta, tanpa harus menyeberangi sungai besar.

“Kalau ke sekolah yang di Fatuteta harus lewat sungai. Jarak juga lebih jauh. Jadi saya ke sini, lebih dekat. Lewat kali tapi lebih kecil,” ujar Aprendi. *****

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *