6 June 2023
Sektor Pertanian NTT Terancam Minimnya Jumlah Petani Milenial
Agribisnis

Sektor Pertanian NTT Terancam Minimnya Jumlah Petani Milenial

Mei 22, 2023

Kupang – Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT mengakui jumlah petani milenial di NTT masih minim. Saat ini jumlah petani milenial di NTT yang dicatat dinas hanya 8.693 orang.

Jumlah ini masih berbanding jauh dengan petani yang tercatat aktif hingga 2018 lalu yang mencapai 942.455 orang. Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT pada 2013 pun terdapat 928.269 petani. Rata-rata usia dominan petani ini di atas 45 tahun dari 710 ribu rumah tangga petani.

Semua petani ini terbagi dalam berbagai subsektor dari tanaman pangan hingga dengan peternakan, perikanan hingga kehutanan.

Baca juga : Sektor Pertanian Bertumbuh, Petani NTT Masih Miskin

Pada data ST2013 pun terlihat petani usia 15 hingga dengan 24 tahun sejumlah 9.133 orang. Petani usia 25–34 tahun sejumlah 113.706 orang.

Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, Nixon Balukh, membenarkan ini beberapa waktu lalu.

Untuk itu petani milenial sebab menjadi kebutuhan dari Provinsi NTT dan ini menjadi fokus oleh pemerintah untuk menumbuh-kembangkan petani milenial di NTT.

Baca juga : Soal TJPS, Petani di Daratan Timor Disebut Belum Mandiri

Adapun targetnya yaitu 1 desa dengan pengembangan 1 komoditas unggulan, mempunyai 8 sampai 10 kelompok tani, 1 koperasi dan tentunya memiliki minimal 5 petani milenial.

“Untuk sekarang di NTT khusus petani milenial ada 8.693 petani milenial dan ini akan terus kita kembangkan,” sebutnya.

Doktor Ilmu Pertanian dan akademisi Fakultas Pertanian Undana, Leta Rafael Levis, menguraikan kendala adanya petani milenial di NTT.

Penilaiannya meliputi pola pikir masyarakat yang salah selama ini. Kemudian tidak adanya program pemberdayaan yang jelas bagi sarjana pertanian. Selain itu, pemerintah tidak tampak serius mendukung penuh generasi baru yang ingin menjadi petani muda.

Baca juga : Sensus Pertanian 2023 Menarget Usaha Tani Perorangan Hingga Non Profit

Mindset atau pola pikir masyarakat NTT khususnya soal petani memang masih identik dengan kemiskinan, kotor, kedesaan, tidak berpendidikan dan lainnya. Malangnya, stigma ini sendiri justru muncul dari dalam keluarga petani sendiri.

“Nasehat orangtuanya begini; ‘Nak belajarlah baik-baik agar hidup baik, jangan seperti bapakmu ini.’ Jadi, orang tua yang telah menciptakan nilai-nilai yang dianut anak-anak bahwa sekolah itu penting agar tidak menjadi petani,” ujar dia, Sabtu 20 Mei 2023.

Sedangkan pemerintah pun tidak punya program khusus yang membentuk dan mengembangkan para petani milenial.

Baca juga : Belu Ekspor Perdana Alat Pertanian ke Timor Leste

Sementara petani milenial yang ada saat ini, kata Leta, sebagian besar adalah spontanitas dari kaum muda untuk mau menjadi petani.

“Pemerintah hanya membangun sekolah-sekolah pertanian tetapi tidak diikuti dengan kegiatan lanjutan untuk menciptakan para milenial yang memiliki ‘passion’ sebagai petani,” sebut Leta kemudian.

Menurut dia, petani-petani milenial yang telah berhasil dan tekun dalam berusaha tani sebaiknya diberikan ‘bonus’ tertentu. Hal ini guna memotivasi bahwa sebagai petani ternyata ada pengakuan sosial dari pemerintah.

“Kalau pemerintah tidak memiliki kebijakan khusus terhadap calon petani milenial seperti disebutkan di atas maka masa depan pertanian akan terancam,” tukasnya.

Baca juga : Pergub NTT Terbit, Petani Rumput Laut Meradang

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Provinsi NTT, Okto Gazpar, menyampaikan hal ini memang sangat berdampak. Namun melawan stigma di antara keluarga petani pun sulit dilakukan.

“Gampang-gampang sulit. Ini sudah membudaya dari kita untuk memotivasi anak untuk tidak lagi menjadi petani atau mencari kerja lain. Sudah dari rumah tangga seperti itu. Anak sudah terpatri untuk tidak kembali ke desa,” jelas dia secara terpisah.

Kenyataan di lapangan pun banyak petani memiliki lahan yang luas tetapi kemudian dijual untuk pendidikan dan mendukung kerja anak di sektor lain.

“Bagaimana sebenarnya dari keluarga mengkaderkan anak supaya menggantikan kita menjadi petani yang modern tapi ini sulit sekali karena mereka punya tujuan masing-masing,” jelas dia.

Sedangkan dunia pertanian pun sudah berkembang dengan teknologi yang memang lebih berdaya di tangan generasi baru. Maka dari itu, kata Okto, diperlukan generasi baru kembali ke desa untuk mendorong pertanian yang modern baik itu dari keluarga petani sendiri maupun sarjana pertanian. ****

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *