Ang Hauw Lang, begitu nama yang tertera di batu nisannya di Pekuburan Cina di Kelurahan Namosain, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Di sebelah makam Ang Hauw Lang, terletak makam istrinya, Veronica Surati. Bagian depan kedua makam batu keramik putih bertuliskan huruf Cina. Hanya nama mereka menggunakan huruf Latin.
Sekilas tidak ada tanda tertentu di makam untuk menceritakan tentang peran penting Ang Hauw Lang dalam memperjuangkan kemerdekaan negara ini, Republik Indonesia.
Seperti di pemakaman umum, tanda tertentu diberikan untuk mengenang pejuang-pejuang yang tidak atau menolak dimakamkan di makam pahlawan.
Tidak hanya itu, buku-buku perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia juga hampir tidak ada yang menceritakan peran penting Ang Hauw Lan.
Warga keturunan Cina ini berperan sebagai penyelundup surat-surat rahasia Soekarno saat diasingkan Belanda di Ende, Nusa Tenggara Timur untuk diberikan kepada Mohammad Hatta dan pejuang kemerdekaan lainnya, begitu juga sebaliknya.
Ang Hauw Lang merupakan pedagang sembako asal Cina yang menggunakan kapal dagangnya berlayar dari Kupang-Ende-Surabaya pulang pergi saat Soekarno diasingkan di Ende, 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938.
Menurut cerita cucunya, Imelda Sendjaya, 65 tahun kepada KatongNTT, 14 Agustus 2021, kakeknya dicari orang-orang Soekarno untuk bertemu di penjara di Ende.
Ang Hauw Lang diminta kesediaannya untuk menyelundupkan surat rahasia Soekarno di dalam sayur mayur dan buah-buahan dagangannya.
Tanpa pikir panjang tentang risiko yang dihadapi, Ang Hauw Lang menyatakan kesediaannya menjadi penyelundup surat-surat rahasia Soekarno.
Setelah Indonesia merdeka, Soekarno mengunjungi NTT dan mencari Ang Hauw Lang. Orang-orang yang diminta mencarinya sempat menunjukkan orang yang salah karena namanya mirip.
Soekarno kemudian menjelaskan orang yang dia cari tinggal di Kuanino, punya toko di kawasan itu, dan menggambarkan ciri-ciri fisiknya. Upaya pencarian itu tidak sia-sia. Soekarno dan Ang Hauw Lang bertemu kembali.
Di pertemuan itu, Soekarno menawarkan sejumlah bantuan kepada Ang Hauw Lang sebagai balas jasa sebagai penyelundup surat rahasia. Namun, dia menolaknya karena merasa sudah berkecukupan.
Pertemuan kedua terjadi justru dalam situasi memprihatinkan yang dialami Ang Hauw Lang. Peristiwa itu bermula saat dia mengantar anak perempuannya ke Jakarta untuk kembali ke Hong Kong, Cina sekitar tahun 1960.
Seusai mengantar anaknya, seseorang merampok tas Ang Hauw Lang dan hanya menyisakan pakaian di badan. Di saat kebingungan, dia yang tidak fasih berbahasa Indonesia teringat Soekarno.
Ang Hauw Lang pun nekad ke Istana Negara mencari Soekarno. Di halaman Istana dua ajudan menghadangnya. Opa (Kakek), tutur Imelda, menyebut dirinya mencari “anak Karno”.
Akhirnya, seorang ajudan memberitahu tentang kehadiran Ang Hauw Lang. Soekarno bergegas menemuinya di halaman Istana dan memeluknya serta membawanya masuk.
Berhubung di masa itu tidak mudah transportasi ke wilayah timur, Soekarno meminta Ang Hauw Lang menginap di Hotel Indonesia sambil menunggu transportasi untuk kembali ke Kupang.
Sebulan kemudian, barulah Ang Hauw Lang pulang dengan Hercules TNI AU.
Soekarno, tutur Imelda, kembali menawarkan bantuan kepada Ang Hauw Lang atas jasanya di Ende, tapi ditolak.
Hingga saat Ang Hauw Lang menghembuskan nafas terakhir tahun 1963, dia menolak dimakamkan di makam pahlawan. Dia ingin makamnya di tempat umum agar kelak jika istrinya meninggal, makam mereka berdampingan. Dan anak-anak mereka dapat kapan saja berkunjung ke makam mereka.
“Utusan Bung Karno membawa bendera besar menutup peti dan krans bunga bertuliskan turut berduka Ang Hauw Lang, Pejuang Kemerdekaan,” ujar Imelda mengenang peristiwa itu.
Imelda yang mendengarkan kisah heroik kakeknya dari sang nenek, Veronica Surati mengatakan, neneknya tidak banyak bercerita tentang misi rahasia sang kakek. Imelda berusia 7 tahun saat kakeknya meninggal.
Seingat dia, kakeknya menikahi neneknya saat mereka bertemu di Surabaya. Neneknya buta huruf tapi memiliki daya ingat yang kuat. Kakeknya penganut Konghucu, dan neneknya etnis Jawa mengikuti suaminya sebagai Konghucu.
Pernikahan mereka melahirkan 3 anak, 2 perempuan dan seorang laki-laki. Imelda merupakan cucu dari anak perempuan tertua Ang Hauw Lang. Orang tua Imelda memiliki 13 anak dan Imelda anak nomor tiga.
Ang Hauw Lang tidak mengubah kewarganegaraanya hingga akhir hayat. Menurut Imelda, kakeknya sudah membuktikan cintanya kepada Indonesia tanpa harus mengubah kewarganegaraan.
Melly Sendjaya, anak perempuan Imelda, menuturkan kakek buyutnya meninggalkan nilai-nilai hidup tentang menolong orang tanpa pamrih, tanpa berharap dibalas. Nilai-nilai ini diteruskan ibunya dan dia ke anak-anak mereka.
“Opa orang yang jujur, menolong tidak setengah-setengah dan kami tidak mengharapkan imbalan dalam apapun yang kami lakukan berupa pelayanan seperti yang Kungtai (Opa atau kakek) sudah lakukan terhadap siapapun, salah satunya Bapak Presiden Soekarno mendiang,” kata Melly kepada KatongNTT.
Namun, perjalanan hidup keluarga Ang Hauw Lang tidak berjalan mulus. Seperti dituturkan Imelda, dia dan keluarga besar kakeknya sempat dipersulit mendapatkan status warga negara Indonesia dipicu Peristiwa 1965. Hingga dia menikah, masih berstatus warga asing.
Muncul kebijakan baru di masa Soeharto menjelang tahun 1980-an, Imelda dan keluarga keturunan Ang Hauw Lang memperoleh status warga negara Indonesia.
“Sekarang tidak ada lagi diskriminasi,” kata Imelda tersenyum.
Dalam berbagai buku sejarah pejuang kemerdekaan Indonesia, nama Ang Hauw Lang nyaris tidak ditemukan.
Jurnalis kawakan Peter Rohi yang menulis buku bertajuk “Kako Lami Angalai? Riwu Ga, 14 Tahun Mengawal Bung Karno, terbit tahun 2004, menyebut singkat tentang sosok Ang Hauw Lang.
Peter Rohi menuliskan kesaksian Riwu Ga dengan menuliskan Ang Ho Lang (Aung Hauw Lang) sebagai penyelundup surat-surat Soekarno dalam buah labu untuk diberikan kepada pejuang kemerdekaan.
Ende News (https://endenews.com/di-ende-bung-karno-sering-dibantu-ang-ho-lang) menjelaskan Riwu Ga, sahabat dan pembantu Bung Karno kala di Ende mengatakan, warga keturunan Tionghoa bernama Ang Ho Lang yang berjasa menyelundupkan surat-surat Bung Karno.
Surat-surat Bung Karno, cerita Riwu Ga, diselundupkan oleh Ang Hauw Lang dari Ende ke Jawa begitupun sebaliknya. Biasanya surat-surat itu diselundupkan di dalam buah Labu.
“Bila ada orang menjual buah Labu pada kami, Ibu Inggit sudah mengerti (isinya surat). Buah Labu itu dibeli,” cerita Riwu Ga.
Ang Hauw Lang mengatur semua itu, dan seperti tanpa rasa takut atas hukuman yang akan diterima bila ketahuan, Ang Hauw Lang sering menyelundupkan surat Bung Karno.
Semuanya serba sembunyi-sembunyi, kenang Riwu Ga, karena Bung Karno dan keluarga diintai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Oleh sebab itu setelah membeli buah Labu, Inggit Ganarsih akan membelahnya secara sembunyi-sembunyi. “Karena ada surat penting yang tak boleh diketahui orang lain,” sambungnya.
Tak banyak yang tahu, tetapi berkat jasa Ang Hauw Lang sebagai penyelundup surar rahasia, Soekarno selalu dapat berhubungan dengan teman-temannya di Jawa. (Rita Hasugian)