Jakarta– Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan Surat Edaran nomor 05 Tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bertanggal 18 Februari 2022.
Surat Edaran itu lebih dahulu menjelaskan bahwa penggunaan pengeras suara di masjid dan musala saat ini merupakan kebutuhan umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat.
Pada saat yang bersamaan, umat Islam hidup dalam masyarakat yang beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya. Sehingga, diperlukan upaya untuk merawat persaudaran dan harmoni sosial.
Untuk memastikan penggunaan pengeras suara agar tidak menimbulkan potensi gangguan ketentraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat, diperlukan pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.
Seperti apa Surat Edaran Menteri Agama ini mengatur penggunaan pegeras suara di dalam dan luar masjid dan musala? Berikut pengaturannya.
- Pemasangan dan penggunaan pengeras suara.
a. Pemasangan pengeras suara dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid atau musala.
b. Untuk mendapatkan hasil suara yang optimal, hendaknya dilakukan pengaturan akustik yang baik.
c. Volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 desibel (100 dB).
d. Dalam hal penggunaan pengeras suara dengan pemutaran rekaman, hendaknya memperhatikan kualitas rekaman, waktu dan bacaan akhir ayat, selawat/tarhim.
- Tata cara penggunaan pengeras suara Waktu salat:
a. Subuh.
Sebelum azan, pembacaan Al-Qur’an atau salawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar paling lama 10 menit.
Saat pelaksanaan salat subuh, zikir, doa, dan kuliah subuh menggunakan pengeras suara dalam.
b. Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya.
Sebelum azan, pembacaan Al-Qur’an atau selawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar paling lama 5 menit.
c. Sesudah azan dikumandangkan, yang digunakan pengeras suara dalam. - Jumat:
a. Sebelum azan, pembacaan Al’Qur-an atau selawat/tarhim dapat menggunaka pengeras suara luar paling lama 10 menit.
b. Penyampaian pengumuman mengenai petugas Jumat, hasil infak sedekah, pelaksanaan kotbah Jumat, salat, zikir, dan doa, menggunakan pengeras suara dalam.
Untuk pengumandangan azan, Surat Edaran ini menggunakan pengeras suara luar.
Kegiatan syiar Ramadan, gema takbir Idul Fitri, Idul Adha, dan upacara hari besar Islam:
- Penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarus Al-Qur-an menggunakan pengeras suara dalam.
- Takbir pada tanggal 1 Syawal/10 Zulhijjah di masjid/musala dapat dilakukan dengan menggunakan pengeras suara luar sampai dengan jam 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan pengeras suara dalam.
- Pelaksanaan Salat Idul Fitri dan Idul Adha dapat dilakukan dengan menggunakan pengeras suara luar.
- Takbir Idul Adha di hari Tasyrik pada tanggal 11 sampai dengan 13 Zulhijjah dapat dikumandangkan setelah pelaksanaan Salat Rawatib secara berturut-turut dengan menggunakan pengeras suara dalam.
Upacara peringatan hari besar Islam atau pengajian menggunakan pengeras suara dalam, kecuali apabila pengunjung tablig melimpah ke luar arena masjid dan musala dapat menggunakan pengeras suara luar.
Suara yang dipancarkan melalui pengeras suara perlu diperhatikan kualitas dan kelayakannya, persyaratannya:
a. bagus atau tidak sumbang.
b. pelafazan secara baik dan benar.
Dalam Surat Edaran itu disebut bahwa Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam pembinaan dan pengawasan penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.
Surat Edaran Menteri Agama ini ditembuskan ke para gubernur dan wali kota atau bupati.
Menanggapi Surat Edaran Menteri Agama itu, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH M Cholil Nafis mengatakan, perlu ada sosialisasi untuk tidak menimbulkan salah paham.
Cholil menuturkan, penerapan aturan mengenai penggunaan pengeras suara di masjid perlu mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat sekitar yang tidak sama. Misalnya, aktivitas pengeras suara sebelum azan cukup dinikmati di pedesaan. Berbeda bagi masyarakat perkotaan dengan tingkat heterogenitas tinggi.
“Ada bedanya pedesaan dan perkotaan. Bagi (masyarakat) pedesaan mereka menikmati sekali adanya tarhim, bacaan Qur’an yang lama. Tetapi untuk perkotaan, dengan heterogenitas dan pekerjaan yang cukup padat, sehingga mungkin akan cukup terganggu,” kata Kiai Cholil seperti dikutip dari NU Online. (k-02)