Jakarta – Berbagai upaya sudah dilakukan untuk meningkatkan produksi sorgum di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, panen sorgum belum lama ini mengalami sejumlah hambatan. Salah satunya adalah serbuan belalang kembara yang beberapa tahun belakangan hadir secara berkala.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengakui masalah itu saat panen perdana sorgum di Sumba Timur.
“Kendala utama di sini yang utama itu hama belalang,” kata Moeldoko saat panen sorgum di Desa Palakahembi, Waingapu, NTT, Rabu (12/4/2023) lalu.
Kendala lain yakni kontur tanah. Moeldoko menyebut di musim kering tanaman apapun sulit tumbuh. Sebaliknya, Ketika musim hujan, tanah menjadi berlumpur.
Baca juga: Jokowi ke Sumba Timur, Bupati Keluhkan Hama Belalang Puluhan Tahun Tak Teratasi
Akhirnya, dari total ratusan hektare yang dicanangkan, hanya tersisa sorgum seluas 50 hektare yang bisa dipanen oleh PT Sumba Moelti Agriculture (SMA). Perusahaan ini dikabarkan merupakan anak usaha dari group perusahaan milik Moeldoko.
Sebenarnya, luasan lahan yang disiapkan PT SMA untuk penanaman dan pengolahan sorgum seluas 3.200 hektare. Hanya saja, musim panen tahun ini yang dipakai sebesar 200 hektare. Sedangkan lahan yang bisa dipanen hanya 50 hektare dari 100 hektare yang tertanam.
Menurut Koordinator Lapangan (Korlap) Pengembangan Sorgum di Sumba Timur, Dodi Lulu, juga membenarkan bahwa panen sorgum saat ini berhadapan dengan belalang kembara. Sejauh ini yang bisa dipanen adalah di Dusun Walakiri, Kelurahan Watumbaka (seluas 15 hektare); Dusun Laipori, Desa Palakahembi (46 hektare); dan Dusun Wera, Desa Kadumbul (28 hektare) yang masuk dalam wilayah Kecamatan Pandawai.
“Hasil panennya bervariasi per hektarnya. Ada yang mencapai 6,2 ton, ada pula 4,2 ton tergantung pemeliharaan petani,” kata Dodi Lulu kepada KatongNTT.com, pekan lalu.
Adapun varietas sorgum yang dikembangkan 4 label kuning dan ungu. Label kuning dari PT SMA, sementara label ungu berasal dari Dinas Pertanian Provinsi.
Saat ditanya, apakah hama belalang mempengaruhi tingkat produksi panen sorgum, Dodi justru menjelaskan tidak terlalu berpengaruh.
“Hama belalang menyerang sorgum di Dusun Wera, Desa Kadumbul sekitar 10 hektare. Namun sudah kami tanam ulang kembali saat kunjungan Gubernur Bapak Victor Bungtilu Laiskodat beberapa waktu lalu,” urainya.
Baca juga: Pernah Dikembangkan di Sumba, Tanaman Sisal Hasilkan Serat Alami
Dalam pengembangan sorgum di Laipori dan Kadumbul, kata Dodi, pihaknya mendapat dukungan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dukungan itu melalui Balai Wilayah Sungai II Provinsi NTT dan Kementerian Pertanian melalui Dinas Pertanian Provinsi.
“Balai Wilayah Sungai II membantu biaya penyewaan empat unit traktor milik Dinas Pertanian Sumba Timur sebesar Rp 1,5 juta per hektar. Di samping itu, bantuan pagar kawat duri sebanyak 200 rol,” paparnya.
Balai Wilayah Sungai II juga membantu memperbaiki, merenovasi dan mengaktifkan kembali 18 unit sumur bor yang tersebar di Walakiri, Laipori dan Wera, Kadumbul.
“Pihak Balai Sungai Wilayah II juga membantu biaya pengadaan solar untuk mesin pompa air sampai panen,” ungkapnya.
Dinas Pertanian Provinsi melalui Balai Penangkaran Benih Provinsi juga turun langsung mendampingi dan mengawasi para petani mulai dari penanaman, pemeliharaan, panen, hingga penjemuran.
Tekait belalang, Pemerintah Kabupaten Sumba Timur sempat membuat gerakan untuk memusnahkan hama belalang secara serentak pada (6/2/2023) lalu. Pemerintah memberi pengganti lelah berupa 2 kilogram beras untuk 1 kilogram belalang kembara yang ditangkap. Hasilnya, gerakan itu berhasil menangkap sebanyak 21 ton belalang.
Belum lama ini, Pemerintah Provinsi NT juga menggandeng Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB dan tiga kampus untuk menangani hama belalang di Pulau Sumba.
Baca juga: Antisipasi Krisis Pangan, Jokowi Soroti Jagung dan Sorgum di NTT
“Kami bekerja sama dengan pihak FAO dan perguruan tinggi Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Institusi Pertanian Bogor melakukan riset untuk penanganan hama belalang kumbara di Sumba,” kata Sekretaris Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT Joaz Oemboe Wanda seperti ditulis Antara.
Oemboe Wanda mengatakan persoalan hama belalang di Pulau Sumba cukup kompleks karena menyangkut ekosistem yang saling berkaitan di dalamnya.
Belalang kumbara biasa dimangsa oleh jenis burung tertentu sehingga populasi terkendali. Namun ketika populasi burung pemangsa berkurang akibat diburu warga, maka populasi belalang semakin bertambah pesat.
Dengan kondisi di atas, mungkinkah Sumba menjadi Pulau Sorgum? Benarkah belalang menjadi persoalan atau ada faktor lain yang lebih mendasar? (Anto)