Kupang – Universitas Muhammadiyah berdiri sebagai perguruan tinggi swasta di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1987. Walau kampus ini didirikan Muhammadiyah, organisasi masyarakat Muslim, namun 70 persen mahasiswanya non-Muslim.
Menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Kupang, Zainur Wula, kampus yang sudah dia pimpin selama 6 tahun tidak pernah bertindak diskriminatif terhadap mahasiswa
“Pendidikan mengandung nilai universal sehingga tidak ada sekat-sekat suku,agama,ras dan golongan,” kata Zainur dalam wawancara khusus dengan KatongNTTcom di ruang kerjanya, Rabu, 23 November 2022.
Baca juga: Tanpa Keberagaman Indonesia Tidak Ada
Bukan hanya mahasiswa non-muslim saja ada di kampus Muhammadiyah ini, ujar Zainur, namun juga beberapa dosen juga non-muslim.
“Kami saling bahu-membahu membangun lembaga ini. Demi meningkatkan mutu pendidikan,” tuturnya.
Dengan fakta ini, menurut Sosiolog ini, nilai toleransi tertanam sejak lembaga ini didirikan. Menurut Zainur, toleransi itu merupakan kebutuhan dasar manusia. Sehingga toleransi semestinya tidak dipaksakan untuk diterapkan.
“Bagi saya toleransi itu sebagai kebutuhan, jadi bukan dipaksakan,” ujar Zainur menegaskan.

Jauh sebelum UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebut toleransi di dunia pendidikan, Universitas Muhammadiyah Kupang malah sudah lama menerapkannya.
Baca juga: Menembus Sekat Beragama pada Pesparani di NTT
Zainur kemudian memberikan satu contoh lagi tentang toleransi di kampus Muhammadinya. Dia menjelaskan, mahasiswa non-muslim diberi kebebasan untuk menjalankan kegiatan kerohanian. Kegiatan rohani berlangsung di dalam kampus berlokasi di Kelurahan Kayu Putih, Kupang .
Lexi Naitio, Ketua Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) membenarkan penjelasan Rektor Zainur. Rektor, ujarnya mendukung pembentukan KMK di Universitas Muhammadiyah Kupang, KMK bebas menjalankan kegiatan kerohanian mahasiswa.
“Dari awal bentuk KMK rektor dukung kegiatan kerohanian di kampus. Juga tidak pernah ada larangan sama sekali,” ujar Lexie kepada KatongNTT, Jumat, 25 November 2022.
Baca juga: Agama dan Budaya: Wahana Cinta dan Persaudaraan Nasional
Untuk mahasiswa Muslim pun, Zainur memberikan kebebasan dalam mengenakan atau tidak mengenakan pakaian muslim seperti jilbab, hijab atau kerudung. Hal itu dinilai sebagai kebebasan hakiki mahasiswa.
“Sejak saya menjadi rektor di Universitas Muhammadiyah Kupang saya tidak pernah membuat aturan dalam berjilbab atau apapun. Oleh karena itu merupakan kebebasan mereka,” pungkas Zainur, penyuka olah raga badminton. (Fandi)