Kupang – Surat Uskup Atambua Mgr Dominikus Saku mengenai pelarangan acara Hel Keta menuai pro dan kontra di masyarakat yang menjalankan tradisi ini.
Surat Uskup bernomor 14/2022 tanggal 5 Februari 2022 pada alinea pertama memuat penegasan: “dengan ini saya melarang penyelenggaraan “Hel Keta” dengan 4 alasan.
Alasan pertama, menurut Uskup, Hel Keta bertentangan dengan Iman Katolik (praktek superstisi dan mythis-magis).
Alasan kedua, tidak memiliki dasar dalam kehidupan sosial-kultural.
Selanjutnya, Hela Keta memecah belah hubungan kekerabatan dan hubungan antar manusia.
Dan terakhir, Hela Keta menambah beratnya beban ekonomi keluarga dan masyarakat.
“Karena itu, bila masih ada calon pasangan nikah dan keluarga yang melaksanakan acara ini (Hela Keta) maka pemberkatan pernikahannya dibatalkan,” kata Uskup Atambua ini dalam suratnya.
Uskup selanjutnya meminta para pastor paroki, administrator, pembantu, dan seluruh agen pastoral untuk memperhatikan hal ini dan mengumumkannya kepada seluruh umat di wilayah pelayanan masing-masing untuk dilaksanakan.
KatongNTT sejak kemarin mencermati di media sosial berbagai respons atas surat Uskup Atambua atas pelarangan Hel Keta.
Pegiat kemanusiaan di NTT, Yohanis Lasi Bobo menjelaskan bahwa dalam urusan Hel Keta tidak ada unsur mistis. Bobo merujuk pada butir pertama surat Uskup Atambua.
“Reconsiliation yes,” ujar Bobo kepada KatongNTT, Selasa, 8 Februari 2022.
Lebih rinci Bobo mengatakan, Hel Keta bukan pesta. Hel Keta dilaksanakan karena ada “lasi bata” (lais bata) yang artinya persoalan atau konflik antar keluarga di masa lampau.
“Tapi memang ada hal yang salah saat ini Hel Keta dilakukan sebagai bagian dari perkawinan padahal mungkin hubungan keluarga itu tidak ada “Lasi Bata”.
Karena bukan pesta, sehingga acara Hel Keta berlangsung sederhana hanya menyembelih seekor ayam atau babi. Mereka makan di tempat acara dan tidak diperkenankan membawa pulang makanan ke rumah.
“Bawa pulang makanan dipercaya bawa pulang penyakit atau masalah,” ujarnya.
Itulah alasan mengapa hewan yang disembelih tidak boleh besar, makanan yang dibawa juga hanya secukupnya. “Tidak boleh ada sisa.”
Dengan adanya keharusan dalam setiap pernikahan saat ini harus dilakukan Hel Keta, menurut Bobo, itu yang tidak benar.
Sekretariat Keuskupan Atambua, Romo Marley Knaofmone mengatakan, Keuskupan menyadari setiap keputusan ada pro dan kontra. Respons masyarakat pun ramai di media sosial.
“Saling beropini di medsos, sesuai tingkat kesadaran dan kepintaran masing-masing,” kata Romo Marley saat dihubungi KatongNTT, Selasa, 8 Februari 2022.
Namun belum ada satupun yang menyampaikan protes resmi atas surat Uskup tentang pelarangan acara Hel Keta ke Uskup Atambua.
Menurut Romo Marley, Uskup terbuka untuk menerima pendapat masyarakat atas surat pelarangan acara Hel Keta, baik secara langsung menemuinya atau lewat surat.
“Uskup sangat terbuka, secara resmi dengan surat atau datang langsung. Tapi tidak dengan media sosial. Siapa yang menjamin keaslian identitas di medsos, medsos tidak dapat dipertanggungjawabkan” ujar Romo Marley.
Namun sekalipun protes ramai di medsos, Uskup Atambua tetap memberlakukan surat pelarangan Hel Keta. “Belum ada pembatalan,” kata Romo Marley.
Romo Marley yang berasal dari etnis Dawan yang mewarisi acara Hel Keta menuturkan, acara ini sebenarnya tentang perdamaian adat untuk dua suku yang bermusuhan di masa lampau. Mereka berjanji atau bersumpah untuk tidak saling berperang.
Acara Hel Keta dilakukan secara sederhana oleh ketua adat kedua suku, wakil keluarga dari dua suku yang menyelenggarakan pernikahan. Lalu menyembelih seekor hewan ternak.
Namun yang berkembang sekarang, kata Romo Marley, terjadi penyimpangan dari Hel Keta. Siapa saja yang menikah diwajibkan melakukan acara Hel Keta. Tanpa memperhatikan lagi alasan acara itu.
Tentang perang di masa lampau, menurut Romo Marley, juga tidak ada data pasti tentang perang, melainkan dari cerita secara turun temurun. “Bahwa dulu yang mana, tidak tahu,” ujarnya.
Kemudian batas wilayah untuk pelaksanaan Hel Keta saat ini tidak sesuai. Asal saja yang penting acara dibuat.
Pengerahan banyak orang untuk mengikuti acara ini hingga menyembelih hewan berukuran besar.
“Banyak orang bilang wajib dan harus. Misalnya orang Dawan menikah dengan orang Rote, lalu harus Hel Keta. Kapan ada permusuhan antara etnis Dawam dan Rote?” kata Romo Marley.
Begitu juga saat seorang perempuan etnis Biboki menikah dengan pria Rusia. Mereka juga diwajibkan melakukan acara Hel Keta.
“Kapan Dawan berperang dengan Rusia di masa lalu? Atau kapan Indonesia berperang dengan Rusia di masa lalu?” kata Romo Marley.
“Jadi ini konyol, dipaksakan untuk dibuat. Banyak yang tidak paham persis,” tegasnya.
Acara ini juga menimbulkan beban ekonomi bagi keluarga yang menjalankan pernikahan.
Romo Marley membenarkan pada dasarnya pesan dari Hel Keta ini adalah rekonsiliasi. Namun dalam Iman Katolik, ujarnya Yesus sudah mendamaikan segala sesuatu di Surga, di Bumi, maupun di bawah Bumi.
Rekonsiliasi dalam Iman Katolik diwujudkan dalam Sakramen Pembaptisan dan Sakramen Tobat.
Menurut Romo Marley, jika karena surat Uskup Atambua ini memunculkan tanggapan di media sosial bahwa mereka akan pindah agama atau tidak bersedia berderma, itu urusan pribadi masing-masing orang.
“Bapa Uskup tidak sibuk soal itu, itu urusan pribadi. Tugas Gereja mewartakan yang baik dan benar. Kalau gara-gara larangan Hel Keta lalu pindah agama, tidak mau berderma, menurut saya itu naif,” tegas Romo Marley. (k-02)