Kupang – Monsinyur Anton Pain Ratu, Uskup Emeritus Keuskupan Atambua, wafat setelah merayakan usianya ke 95 tahun pada 2 Januari 2024.
Kabar berpulangnya imam yang pernah menolak keras eksekusi mati Tibo cs ini berseliweran di media sosial dan menjadi topik pemberitaan di Nusa Tenggara Timur.
Monsinyor Anton Pain Ratu SVD dikabarkan menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang di RSUD Atambua, 6 Januari 2023 jam 10.15 WITA.
Baca juga : Indonesia Berupaya Lepaskan WNI dari Hukuman Mati di Malaysia
Anton Pain Ratu terlahir dari sepasang petani dan penjual tembakau asal Adonara, Kabupaten Flores Timur, pada 2 Januari 1929. Dia tumbuh dan mengecap pendidikan di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero dari tahun 1950 hingga 1958 dan menjadi imam Serikat Sabda.
Anton Pain Ratu kemudian ditahbiskan menjadi Uskup Atambua pada 21 September 1982. Pada tanggal yang sama 24 tahun setelah menjadi Uskup Atambua, ia maju paling depan bersama umat Katolik dan pemimpin agama lainnya untuk menolak eksekusi mati Tibo Cs.
Sekitar 10 ribu orang dari berbagai agama berkumpul di lapangan umum Atambua dan bergerak ke Gedung Kejaksaan Negeri Atambua. Situasi yang menggemparkan Atambua pada 21 September 2006.
Baca juga : Sejarah Gereja Katedral di Kupang yang Diresmikan Jokowi
Uskup Atambua ini memimpin doa bersama ribuan umat agar bisa mengubah keputusan negara untuk tidsk mengeksekusi Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Mereka adalah warga NTT yang merantau ke Sulawesi Tengah dan menjadi tertuduh kerusuhan di Poso.
Ketiganya divonis mati oleh Pengadilan Negeri Palu dan juga Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 2001. Mereka dinyatakan sebagai dalang kerusuhan. Mereka dicap pembunuh, penganiaya, dan dalang perusakan tiga desa di Poso yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru.
Sedangkan keterangan para saksi menyatakan Tibo cs justru yang menyelamatkan puluhan anak-anak sekolah St Theresia Poso, suster, pastor, dan sejumlah guru dari kepungan massa. Tibo yang membeberkan 16 nama dari kalangan purnawirawan TNI dan PNS sebagai perusuh sebenarnya tak digubris pengadilan.
Kapolda Sulawesi Tengah Oegreseno dicopot dari jabatannya lantaran dinilai tidak tegas mendukung hukuman mati terhadap Tibo cs.
Baca juga : Siap Hukum Prajurit, Puspom TNI Kirim Tim Investigasi ke Kupang
Tibo Cs juga tiga kali mengajukan grasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan 2 kali peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Semuanya ditolak.
Seluruh pelosok negeri menyoroti kasus yang melewati 17 persidangan dan 6 kali penundaan eksekusi mati ini dari semestinya Maret 2004. Rencana eksekusi pada 12 Agustus 2006 pun ditunda lagi dengan alasan mendekati perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus.
Keputusan penundaan terakhir ini sebenarnya datang beberapa jam setelah Paus Benediktus XVI mengeluarkan imbauan khusus kepada Presiden SBY.
Mahkamah Agung yang dipimpin Bagir Manan akhirnya memutuskan eksekusi mati Tibo cs pada 22 September 2006. Seluruh masyarakat pun bergejolak terutama di daerah dengan mayoritas umat Nasrani termasuk Atambua yang dipimpin Monsinyur Anton Pain Ratu.
Baca juga : Arab Saudi Eksekusi Mati 2 Warga Indonesia
Menurut beberapa pemberitaan, ia memimpin gerakan massa sejak pagi sehari sebelum eksekusi itu dilakukan. Warga Atambua mendengarnya dan berbondong-bondong datang. Ia memang dikenal warga Atambua sebagai Uskup Politik, Uskup Pencinta Lingkungan Hidup dan Uskup yang kesibukannya lebih banyak bersama umat.
Para pimpinan agama di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara atau daerah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste pun memanjatkan doa yang sama agar keputusan eksekusi mati itu ditinjau lagi. Umat Nasrani di NTT yakin ketiganya merupakan korban dari ketidakadilan.
Baca juga : Quo Vadis Organisasi Mahasiswa di NTT?
Namun eksekusi tetap terjadi dini hari 22 September 2006. Permintaan terakhir para terpidana mati ini tak satu pun dipenuhi. Nyawa mereka melayang di ujung senapan regu tembak.
Kerusuhan lantas terjadi di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Kupang, Atambua, Maumere dan Ende. NTT ditetapkan menjadi daerah dengan situasi Siaga 1.
Masyarakat di Atambua saat itu melampiaskan amukan dan ketidakpuasan dengan membakar rumah dinas Kepala Kejaksaan Negeri Belu dan beberapa gedung lainnya. Kantor Kejaksaan pun porak poranda. Penjara Atambua jadi sasaran amukan massa hingga 190 narapidananya kabur.
Baca juga : Mantan Napi Korupsi Nyaleg DPRD Kota Kupang
Monsinyur Anton Pain Ratu lagi-lagi tampil. Kali ini ia menenangkan badai amarah itu. Uskup meredam massa agar tidak melanjutkan tindakan anarkis yang merugikan masyarakat sendiri.
Universitas Sains dan Teknologi Komputer pun mempublikasikan peran Uskup Anton Pain Ratu dengan motto tahbisan Sungguh Aku Datang kala itu. Saat itu ia menyerukan penghentian kekerasan dan pengrusakan yang dilakukan masyarakat Atambua akan eksekusi mati yang sudah menimpa Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva.
Ia juga memberikan contoh tentang keberpihakan Gereja Katolik kepada kaum kecil dan tertindas dengan perjuangan tanpa kekerasan, termasuk pengungsian besar-besaran dari Timor Timur yang memasuki Timor Barat.
Baca juga : Batas Darat RI-Timor Leste Segera Tuntas, Jokowi-Xanana Bahas Kawasan Ekonomi
Setahun setelahnya pengunduran dirinya sebagai uskup dikabulkan oleh Sri Paus. Pada 21 September 2007 Anton Pain Ratu menyerahkan jabatan Uskup Atambua kepada penggantinya Monsinyur.Dr. Dominikus Saku.
Pagi ini beliau dinyatakan telah beristirahat dengan tenang. Jenazah Monsinyur Anton Pain Ratu akan diarak dari RSUD Mgr. Gabriel Manek Atambua untuk disemayamkan di Aula St. Dominikus Emaus. Malamnya pukul 19.00 WITA akan dilakukan Misa Requiem.
Pada Minggu 7 Januari akan dilaksanakan Misa Requiem pada jam yang sama.
Seninnya jenazah akan diarak ke Katedral Atambua pukul 16.00 WITA dan dilakukan misa arwah. Selasa, 9 Januari 2024, jenazah Uskup Emeritus Anton Pain Ratu akan dimakamkan pada jam 10.00 WITA. Misa pemakaman digelar di Katedral Atambua dipimpin oleh Ketua KWI atau Uskup Atambua. ***