Ende – Jika kawasan Papua dan Maluku punya papeda dari sagu yang cocok dengan kuah ikan kuning, maka Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya Ende, punya uwi ai ndota yang juga serasi dengan kuah ikan. Umumnya disebut uwi ai ndota tapi ada juga yang melafalkan wa’ai ndota, uwi kaju ndota, atau uwi ndota. Bahkan, ada juga yang menyebutkannya sebagai wa’ai punga.
Perbedaan lafal tersebut merupakan ragam penyebutan dari singkong. Pemakaian kata uwi juga digunakan sebagian masyarakat Flores lainnya. Sedangkan ndota dimaknai sebagai cincang sehingga uwi ai ndota bisa diartikan sebagai singkong cincang.
Baca : Laku Tobe, Tumpeng Singkong dari Timor
Berbeda dengan papeda dengan tekstur kental (lengket), singkong cincang relatif kering karena diparut, diperas airnya, lalu dicincang kemudian dikukus hingga matang. Sebelum dikukus, singkong cincang (hasil perasan) ditaburi sedikit garam dan kadang ditambahkan sepucuk daun pandan agar wangi. Umumnya dikukus dengan periuk di atas tungku dengan kayu bakar selama kurang lebih 30 menit.
Baca : NTT Didorong Tingkatkan Produktivitas Singkong Guna Antisipasi Rawan Pangan
Informasi yang dihimpun KatongNTT.com menyebutkan jauh sebelum beras mendominasi, singkong cincang merupakan menu andalan masyarakat Lio. Uwi ai ndota sebenarnya makanan setara nasi yang kaya karbohidrat dan sangat cocok jika disajikan dengan kuah (sop) ikan.
“Biasanya kuah ikan tongkol atau ikan soa (pari) tapi bisa juga dengan ikan bakar dan tentunya sambal tomat lokal yang pedas. Ini sangat cocok dengan uwi ndota,” kata Yanuarius, warga Kota Ende, Jumat (28/7/2023).
Rasa gurih dan enak pada uwi ai ndota juga sangat tergantung pada jenis singkong. Umumnya yang digunakan adalah singkong Nuabosi yang sudah dikenal enak dan gurih secara turun temurun. Beberapa sumber membenarkan cita rasa dan tekstur singkong Nuabosi membuat uwi ndota makin diminati.
Tonton : SALAH SATU KULINER LOKAL KHAS NTT UWI AI NDOTA
Uwi ai ndota merupakan salah satu ragam makanan lokal warisan leluhur berbasis singkong dari NTT sebagaimana laku tobe dari Timor dan sombu dari Manggarai. Saat ini, NTT dan sejumlah wilayah di Indonesia menghadapi ancaman kekeringan akibat dari perubahan iklim. Pangan lokal, termasuk singkong menjadi salah satu andalan.
Baca : Sombu Manggarai, Singkong Kukus dalam Bambu yang Makin Langka
“Kondisi alam dan geografis serta tantangan perubahan iklim, seperti El Nino saat ini, menjadikan NTT perlu membumikan kembali tradisi mengolah dan konsumsi singkong. Tentu diperlukan sejumlah pendekatan secara menyeluruh untuk menopang tradisi yang sudah ada,” ujar Heri Soba, Sekjen Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) dalam webinar tentang Singkong NTT yang digelar bersama Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, beberapa waktu lalu.
Sebenarnya, upaya mengangkat kembali pangan lokal sudah dilakukan sejumlah kalangan, mulai dari dunia pendidikan (tingkat menengah dan atas), universitas, pelaku wisata, para pemuda, tokoh agama hingga biarawan/i serta sejumlah praktisi usaha dan kuliner.
Langkah-langkah seperti ini harus terus diperkuat dengan membangun kesadaran konsumsi dan dukungan kebijakan sebagai insentif pada pelaku pangan lokal. Tentu jangan hanya dilihat setelah disajikan dan enak disantap, tapi perlu ditelaah lebih jauh aspek hulu-hilir sejak budidaya hingga proses penyajiannya. [Anto]




