Kupang – Pemerintah Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), melarang warga untuk membawa ternak babi dari luar masuk ke daerah itu. Hal ini untuk mencegah penyebaran penyakit African Swine Fever (ASF/ Demam Babi Afrika).
Para peternak di daratan Flores pun kembali memperketat pengawasan untuk mencegah wabah ASF yang merebak sejak awal 2020.
“Dilarang keras membawa ternak babi dan produk babi berupa daging babi, sei, dendeng, sosis, roti babi, ataupun olahan daging babi lainnya dari luar Kabupaten Lembata,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lembata Kanisius Tuaq.
Baca juga: Beternak Ayam Mandek, Kristiaan Raih Cuan di Usaha Aksesoris dan Kuliner NTT
Pihaknya, kata Kanisius, mengetahui kematian babi akibat penyakit ASF kembali marak sejak awal 2023 di Maumere (Kabupaten Sikka), Larantuka, dan Pulau Adonara di Kabupaten Flores Timur, Kota Kupang, dan daratan Pulau Timor.
Untuk itu, kata dia, warga daeah itu yang melakukan perjalanan ke Lembata dilarang membawa ternak, daging, maupun produk olahan lainnya dari babi.
Selain itu, warga setempat juga dilarang memotong, mengedarkan, dan menjual daging babi yang sakit atau mati. Apalagi membagi-bagikan daging babi sakit ke keluarga atau kerabat.
Bangkai babi yang mati, kata dia, juga tidak boleh dibuang di tempat umum seperti laut, saluran air, dan kali atau jalan umum karena berpotensi mencemarkan dan menyebarkan virus ASF.
“Silahkan warga mengubur setiap ternak babi yang mati secara mandiri di lokasi masing-masing,” katanya seperti ditulis Antara.
Baca juga: Cegah PMK, Gubernur NTT Larang Masuk Hewan Ternak dan Produk Turunannya
Asosiasi Peternak Babi Sikka (APBS) juga terus mewaspadai meluasnya virus ASF sejak awal 2023. Antisipasi itu menyusul ribuan peternak babi di Kabupaten Sikka, terpuruk setelah dua tahun terserang wabah demam babi Afrika.
“Setidaknya ada sekitar 300 peternak dalam APBS yang terkena dampak. Sebagian besar belum bisa beternak lagi. Tetapi ada yang sudah memulai kembali sejak medio 2022. Jika wabah ASF kembali meluas maka kegiatan peternak bisa lumpuh total,” kata Ketua APBS Gabriel Arimatea kepada KatongNTT.com, Minggu (15/01/2023).
Dia menjelaskan, umumnya peternak babi di Sikka memelihara 3-10 ekor. Sehingga bisa dikategorikan dalam skala mikro dan skala kecil. Ada beberapa dalam skala menengah dan memakai cara-cara intensif.
Pihaknya, kata dia, sudah mewaspadai perluasan ASF sejak akhir 2022. Saat memasuki Natal dan Tahun Baru lalu lintas perdagangan babi meningkat tajam.
Baca juga: Bisnis UMKM Kokoh di Tengah Pandemi
Dia mengimbau warga jika ada ternak babi yang sakit atau mati agar segera melapor ke petugas kesehatan hewan terdekat. Warga juga bisa melaporkan ke jajaran Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan setempat.
“Dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah pusat dan daerah, sangat diharapkan. Ini agar efektivitas ekonomi masyarakat dari ternak babi semakin berkembang,” tegas alumnus Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang ini.
Untuk itu, APBS mendorong pemerintah dan semua pihak manapun membantu benih, modal, dan cara-cara ternak yang murah, sehat dan efisien. Pada Mei 2022, data Dinas Pertanian setempat menyebutkan ternak babi yang tersisa hanya 10 persen dari 70 ribu ekor babi di Kabupaten Sikka. [K-02]