Kupang – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nusa Tenggara Timur (NTT) bakal melanjutkan proses gugatan wanprestasi terhadap Pemerintah Kota Kupang terkait tata kelola Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Alak.
Mulanya, WALHI NTT dan Aliansi Rakyat Asrikan Kota Kupang (ARAK) menyerahkan notifikasi gugatan di Hari Bumi, 22 April lalu. Pemberian notifikasi gugatan ini sebagai awal proses hukum perdata.
Notifikasi ini ditujukan kepada Penjabat Wali Kota Kupang, Fahrensy Foenay, dan DPRD Kota Kupang, tembusannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang. Namun begitu pemerintah belum merespon apa pun hingga memasuki pekan terakhir dari masa tanggap notifikasi tersebut.
Menurut Deputi WALHI NTT Yuvensius Nonga, bila hingga tenggat 2 bulan tak ada respon dari para tergugat maka proses perdata jelas berlanjut.
Baca juga : Warga Bisa Tuntut Kompensasi dari Pemkot Dampak Asap TPA Alak
“Ini menuju ke batas akhir tuntutan dan bila tidak ada respon baik atau itikad baik dari pemerintah maka sudah pasti jaringan kita akan masukkan gugatan wanprestasi ke PTUN,” tegasnya.
Yuven juga memperhatikan sejauh ini tak ada keseriusan Pemkot Kupang untuk berbenah atau pun menanggapi gugatan mereka.
“Sejauh ini belum ada tanggapan dari pemerintah atau DPRD Kota Kupang. Kita hanya lihat di media kalau pemerintah arahkan dinas untuk turun ke TPA, bukan itu yang kita minta, perubahan struktural yang kita minta dari kebijakannya dan penganggaran, segala macam,” jelasnya lagi.
WALHI NTT dalam gugatannya tegas menyatakan Pemkot Kupang telah melanggar mandat Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.
Pengelolaan sampah di NTT masih dengan pola lama yaitu kumpul, angkut dan buang. Sistem open dumping ini harusnya tidak berlaku lagi 5 tahun pasca terbitnya UU tersebut. Pemkot Kupang mestinya menggunakan pola sanitary landfill yaitu sistem pengelolaan dengan pemusnahan sampah.
Baca juga : Pemkot Tutup Mata, 10 Tahun TPA Alak Pakai Sistem Terlarang
“Proses transisi dari open dumping ke sanitary landfill yang masanya 5 tahun harus berubah sejak adanya UU ini. Artinya UU dari 2008 dan sekarang sudah 2024, (sepanjang itu) UU ini tidak dijalankan dengan baik,” jelas Yuven.
Citizen Law Suit atau gugatan warga negara ini, sambung Yuven, adalah awal gerakan komunal teruntuk daerah lainnya agar menuntut pemerintah terkait hal serupa.
“Ini jadi pintu masuk sekaligus pembelajaran bagi kabupaten lainnya karena kita dorong untuk pemenuhan mandat UU itu,” imbuhnya.
WALHI NTT juga menemukan fasilitas pengelolaan sampah yang tidak memadai mulai proses pemilahan dari hulu sampai hilir, malahan anggarannya di bawah 1 persen dari APBD Kota Kupang. Hal ini pula yang menjadi alasan mereka ikut menggugat DPRD Kota Kupang.
“Sederhananya, kita hitung bayar gaji pengangkut sampah, mobil operasional pengangkut, atau bangun fasilitas sesuai UU itu ya sangat kecil,” kata dia.
Baca juga : Riwayat Kebakaran di TPA Alak Yang Memuakkan
Fungsi pengawasan DPRD Kota Kupang terhadap dinas terkait pun dinilai buruk karena beberapa kali terjadi kebakaran di TPA Alak yang jelas berdampak merugikan masyarakat sekitar.
“Berulangkali terbakar dan periode yang hampir sama. Pengawasan dari DPRD terhadap lembaga-lembaga yang mengelola sampah ini tidak berjalan baik,” kata dia.
Mekanisme pencegahan dan kebijakan tanggap darurat pun harusnya ada. Namun belum dimiliki pemerintah hingga saat ini.
“Tapi itu tidak dilakukan sampai dengan hari ini mereka lakukan dengan pola lama di hampir seluruh kota dan kabupaten. Mereka kumpul, angkut dan buang, tertumpuk saja di TPA,” tukas Yuven. ***