Kupang – Empat belas tahun silam, tepatnya 21 Agustus 2009, kilang minyak dan gas bumi di blok Montara, Laut Timor, perairan Australia, meledak. Ledakan maha dahsyat itu mencemari Laut Timor hingga mampir ke sebagian besar pantai dan pesisir selatan wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Rumput laut, ikan dan semua biota laut mati sehingga pekerjaan nelayan pesisir hilang dalam beberapa tahun. Sejumlah penelitian membenarkan ada penyakit yang mematikan sejumlah warga akibat pencemaran minyak dan racun dispersan. Kilang tersebut milik PTT Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP), sebuah BUMN Thailand, yang dikelola PTTEP Australasia. Belakangan, kilang tersebut dijual kepada pihak lain dan sekarang sudah beroperasi kembali.
Baca : Montara Kembali Berproduksi, PTTEP Tetap Bertanggung Jawab
Awalnya, advokasi dan diplomasi atas kasus itu sepertinya tidak mengalami kemajuan. Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang berjejaring dengan berbagai elemen seperti Ocean Watch Indonesia (OWI), akademisi dan ahli hukum internasional terus konsisten. PTTEP ditengarai melobi sejumlah petinggi dan pejabat di Indonesia sehingga penyelesaian terkesan lamban hingga tahun 2015.
Terobosan Ferdi Tanoni selaku Ketua YPTB yang mendampingi para korban, salah satunya Daniel Sanda, akhirnya memenangkan gugatan class action di Pengadilan Federal Australia. Dukungan dari sejumlah pihak sejak pengajuan gugatan tersebut perlu diberi apresiasi. Mulai dari pemerintah, kalangan media, tokoh masyarakat, pengacara, akademisi, dan para pihak lainnya. Tidak terhitung korban materil dan beban psikologis selama proses tersebut.
Tibalah saatnya, sebanyak 15.483 pembudidaya rumput laut dan nelayan pesisir harus mendapatkan kompensasi atas kehilangan mata pencaharian selama bertahun-tahun. Atas fasilitasi pemerintah, YPTB yang pernah membubuhkan stempel sebagai bukti advokasi, mendatangi dan memberikan penjelasan terkait perjuangan melelahkan serta kompensasi tersebut. Sesuai class action, korban dari Kabupaten Kupang dan Kabupaten Rote Ndao yang mendapatkan kompensasi. Berarti, 11 kabupaten lainnya bakal menyusul dan belum termasuk ganti rugi perdata atas kerusakan ekosistem laut.
Sayangnya, ada gelagat kurang baik dari kelompok pengacara Australia yang mengirim surat sebanyak 3 kali kepada 81 kepala desa. Isi surat tersebut menjelekkan dan menghina Ferdi Tanoni. “Intinya mengadu domba dan mendorong masyarakat ribut dengan saya. Saya bisa buktikan cara kerja ‘mafia’ dan tidak fair tersebut,” kecam Ferdi.
Hingga detik ini, dana kompensasi tersebut belum dibayar kepada masyarakat pesisir, nelayan dan pembudidaya rumput laut. Ferdi selaku perwakilan resmi Pemerintah Republik Indonesia bersama tim advokasi yang sudah mendampingi para korban sejak tahun 2009 lalu menunggu klarifikasi dari kantor pengacara Maurice Blackburn.
Dalam laman resminya, Maurice Blackburn menyebutkan telah memasukan gugatan class action pada 3 Agustus 2016 di Pengadilan Federal (Federal Court) Australia. Maurice Blackburn hadir setelah menggantikan kantor pengacara Leigh Day & Co dari Inggris.
Baca : Dana Kompensasi Montara Diblokir, Maurice Blackburn Perlu Klarifikasi
Pada Senin (21/8/2023), tepat 14 tahun Tragedi Montara, YPTB dalam surat resminya memberikan peringatan keras kepada Maurice Blackburn di Sydney-Australia. Demikian juga mendesak perlunya menyampaikan secara terbuka atas jumlah dana yang hendak disalurkan, bank mana saja yang dilibatkan, hingga besaran bunga dari uang yang tersimpan di bank.
Dalam beberapa surat sebelumnya sejak Juni 2023 lalu, permintaan klarifikasi pun tidak diladeni Maurice Blackburn. “Jangan sampai ada upaya menegasikan peran YPTB setelah dana kompensasi disetujui. Ini bentuk-bentuk permainan yang patut dicurigai,” ujar Ferdi.
Ferdi menekankan dana kompensasi yang disepakati antara Maurice Blackburn-PTTEP-Daniel Sanda dan Pengadilan Federal Australia itu adalah sah dan seluruh uang ganti rugi itu merupakan hak dan milik masyarakat pembudidaya rumput laut. Kelanjutan dana kompensasi ini akhirnya melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendapatkan laporan dari pemerintah Australia melalui Kedutaan Australia di Indonesia.
Baca : Soal Kompensasi Montara, Ferdi Minta KPK Hadirkan Maurice Blackburn
Perwakilan KPK mempertegas transpransi dana kompensasi tersebut. Namun, belum memberikan respons atas permintaan dan klarifikasi dari Ferdi Tanoni. “Kami meminta agar KPK yang memfasilitasi sehingga ada pertemuan dengan Maurice Blackburn. Mudah-mudahan segera terwujud karena komitmen yang sama terkait transparansi atas hak-hak masyarakat korban,” ujar penulis buku Skandal Laut Timor ini.
Informasi yang diperoleh KatongNTT.com menyebutkan para korban terus menantikan dana kompensasi tersebut. Belasan ribu korban memberi apresiasi kepada semua pihak yang terlibat, termasuk di Australia, tetapi mereka juga tidak lupa siapa dan pihak mana saja yang benar-benar konsisten berjuang sejak 14 tahun silam. Pemerintah harus segera memfasilitasi agar hal ini tidak berlarut-larut. [Heri SS]