Kupang – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) akan memasuki musim kemarau pada akhir bulan Maret atau pada dasarian III. Hal itu disampaikan oleh Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati dalam rilis yang diterima KatongNTT pada Kamis (17/3/2022).
Tidak semua wilayah di NTT memasuki musim kemarau pada akhir Maret tahun ini. Sebagian besar wilayah di NTT akan memasuki kemarau pada bulan April tahun ini.
Sebanyak satu Zona Musim (ZOM) atau sebesar 4 persen ZOM yang diperkirarakan memasuki kemarau pada akhir Maret 2022 yakni ZOM 249 di Kabupaten Flores Timur. 96 persen ZOM atau 22 ZOM diperkirakan memasuki musim kemarau pada bulan April 2022.
Puncak musim kemarau di NTT diprediksi terjadi pada bulan Agustus 2022. Wilayah di NTT tidak mengalami puncak musim kemarau secara bersamaan pada bulan Agustus. 87 persen ZOM atau 20 ZOM mengalami puncak musim kemarau pada bulan Agustus. Sementara 3 ZOM atau 13 persen mengalami puncak musim kemarau pada bulan Juli.
BMKG memprakirakan satu ZOM di NTT mengalami hujan di bawah normal atau lebih kering dari biasanya pada musim kemarau, yakni di wilayah Kabupaten Kupang. Ada 7 ZOM yang mengalami hujan di atas normal atau lebih basah dari normalnya dan 65 persen ZOM atau 15 ZOM yang memiliki sifat hujan normal atau mirip dengan normalnya.
“Waspada daerah yang memiliki sifat musim kemarau di bawah normal,” tulis BMKG dalam rilisnya.
Selanjutnya, prakiraan BMKG terhadap awal musim kemarau tahun 2022 di NTT terhadap normalnya, terdapat 1 ZOM atau 4 persen ZOM memasuki musim kemarau lebih cepat dari normal. 35 persen ZOM atau 8 ZOM memasuki musim kemarau mundur atau lebih lambat dan 14 ZOM memasuki musim kemarau sama dengan normalnya.
Kepala BMKG mengimbau Pemerintah Daerah dan masyarakat di daerah rawan karhulta untuk waspada menjelang dan saat puncak musim kemarau. Terutama bagi wilayah yang mengalami musim kemarau lebih kering dari normalnya.
“Pemerintah Daerah dan masyarakat di daerah yang rawan kekurangan air bersih diharapkan dapat melakukan penyimpanan air pada masa peralihan musim hujan ke musim kemarau untuk memenuhi danau, waduk, embung, kolom retensi dan penyimpanan air buatan lainnya,” jelas Dwikorita.
Dwikorita mengatakan, untuk menekan risiko penurunan hasil pada lahan sawah, maka pengelolaan air bagi kebutuhan pertanian harus dilakukan lebih hemat dan penggunaan varietas yang genjah dan toleran kekeringan.