Atambua-Baju hujan yang membalut tubuh Gabriel Ulu Tunabenani tampak basah. Hujan deras pada Senin siang, 21 Maret 2022 tidak menyurutkan langkah ayah Petrus Crisologus Tunabenani untuk bertemu KatongNTT.com di Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Gabriel berboncengan dengan anaknya dari arah Kabupaten Malaka, sekitar satu jam perjalanan. “Saya ayah Petrus,” kata Gabriel mengulurkan tangannya yang basah terkena air hujan kepada KatongNTT.com.
Petrus, anak kedua Gabriel, merupakan satu dari 7 ABK asal Indonesia yang hilang di Laut Mauritius setahun lalu. Petrus yang kontrak kerjanya telah berakhir dijadwalkan kembali ke kampung halamannya pada 28 Februari 2021. Namun perkelahian yang tidak jelas pemicunya antara Petrus dan sejumlah ABK warga Vietnam pada 26 Februari 2021 malam, telah membawa tragedi. Petrus dinyatakan hilang bersama 6 ABK asal Indonesia lainnya.
Petrus sempat meminta temannya memfoto wajahnya yang dibacok mandor warga Vietnam dan diposting di FB. Melalui FB, dia meminta bantuan teman-temannya yang berada di kapal yang lain yang berlabuh di pelabuhan Port Louis di Mauritius.
Gabriel tidak menerima begitu saja anaknya dinyatakan hilang oleh aparat kepolisian Mauritius dan diteruskan pihak KBRI di Madagaskar kepada orang tua ketujuh ABK yang hilang. Sudah lebih setahun, Gabriel tetap meragukan anaknya hilang.
“Kami mohon kepada Bapak Presiden Indonesia kalau bisa mencampuri urusan ini, jangan diam terus. Anak kami sudah satu tahun lebih tidak ada berita kepastian mereka ada atau tidak. Kami belum tahu sampai saat ini,” kata Gabriel membuka pembicaraan.
Suaranya bergetar dan kedua bola matanya berkaca-kaca menahan tangis.
“Kami mohon kepada pemerintah RI untuk bisa melakukan koordinasi dengan pemerintah Mauritius karena sampai saat ini jawaban dari Kemenlu kami disuruh bersabar menunggu dan berdoa,” ujarnya.
“Kira-kira kami berdoa sampai kapan baru bisa berhenti. Sepanjang tahun berdoa terus memohon kepada Tuhan untuk memberi petunjuk.”
*******
Brigita Telik, wanita paruh baya menelepon KatongNTT.com untuk memastikan pertemuan berlangsung di Atambua. Rumahnya di Atapupu arah perbatasan Timor Leste. Brigita berboncengan dengan anaknya menuju lokasi pertemuan.
“Saya sempat kena hujan juga,” ujar wanita yang berprofesi guru di satu SD negeri di Atapupu mengawali percakapan dengan KatongNTT.com.
Brigita merupakan ibu dari Klaudius Ukat, 1 dari 7 ABK asal Indonesia yang hilang di Laut Mauritius pada 26 Februari 2021 malam. Dia bersama Petrus berteman dekat karena mereka berasal dari kabupaten yang sama, Belu.

Solidaritas itu yang membawa Klaudius menolong Petrus saat dikeroyok para ABK Vietnam di atas geladak kapal ikan Wei Fa berbendera Cina. Malang, dia pun turut dinyatakan hilang dalam perkelahian itu.
Brigita, seperti Gabriel, tetap mencari tahu keberadaan anaknya. Dia mempertanyakan makna kata “hilang” yang diberikan aparat kepolisian Mauritius terhadap 7 ABK asal Indonesia.
“Karena surat yang kami terima (surat dari aparat kepolisian Mauritius-red), bukan mengatakan anak kami mati, tapi hilang. Hilang itu yang kami pertanyakan: hilang dimana, hilang mati? Hilang itu banyak macam,” kata Brigita dengan suara meninggi dengan kedua bola matanya berkaca-kaca.
Sependapat dengan Gabriel, Brigita juga meminta pemerintah Indonesia turun tangan untuk mengembalikan anaknya. Selama ini dirinya hanya diminta bersabar menunggu dan berdoa.
“Kira-kira harapan apa untuk kami? Kami dari awal minta campur tangan pemerintah untuk kembalikan anak-anak kami. Itu yang kami sangat harapkan. Dan, kami tahu jelas di mana keberadaan mereka, entah ada entah tidak. Sampai hari ini pun tetap sama, bersabar dan menunggu,” ujarnya.
Kemudian, Brigita mengungkapkan dirinya menerima kabar dari BP2MI di Jakarta bahwa surat penyidikan dari Kepolisian Mauritius ditolak pengadilan.
“Karena bukti-bukti belum jelas, bukti-bukti tidak akurat tentang anak kami hilang atau dibunuh, disandera,” ujarnya terisak.
Sebagai seorang ibu yang melahirkan Klaudius, tutur Brigita, tentu memiliki kepekaan jika anaknya dalam situasi berbahaya atau bahkan jika meninggal. Namun, dia tidak merasakan hal itu.
Sekalipun Brigita diminta mengurus akte kematian anaknya guna mengurus klaim asuransi jiwa, namun dia meragukan Klaudius meninggal.
*******
Gabriel sigap membuka telepon genggamnya untuk merespons pertanyaan KatongNTT.com. Jari-jarinya mencari-cari beberapa nomor warga asing yang masih disimpannya. Telepon warga asing itu terjadi sekitar 2 bulan setelah Petrus dinyatakan hilang oleh kepolisian Mauritius.
“Dua bulan setelah Petrus dinyatakan hilang, saya menerima telepon dari beberapa orang asing dari Guyana, Mesir. Mereka bicara tapi kami tidak mengerti. Kalau bahasa Inggris, masih bisa paham,” ujarnya serasa menunjukkan foto seorang penelepon.

“Saya juga menerima telepon dari Israel,” kata Brigita. Namun dia tidak mengerti apa yang dibicarakan penelepon.
Bahkan, menurut Brigita, setelah Klaudius dinyatakan hilang, akun Facebooknya aktif pada Oktober 2021. Peristiwa ini diketahui oleh anggota keluarganya yang bertugas di Papua sebagai tentara.
“Sempat aktif beberapa menit,” tuturmya.
Dari kejanggalan ini, orangtua kedua ABK yang hilang di Laut Mauritius memohon Presiden mendesak Kedutaan Vietnam untuk menekan warganya di Mauritius untuk bicara jujur.
“Sampai saat ini pengakuan mereka tidak ada. Jadi itu harapan kami kepada Pemerintah dan Kedutaan Besar Vietnam,” ujar Gabriel.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha belum memberikan tanggapan atas pesan whatsapp KatongNTT sehubungan ada nomor telepon dari warga asing yang diterima orangtua Petrus dan Klaudius.
Matahari mulai condong ke Barat. Gabriel dan Brigita pamit pulang. Mereka bergegas menghidupkan sepeda motor dan perlahan meninggalkan lokasi pertemuan. Wajah kuyuh ditambah usia yang mulai menua tak menghalangi keduanya untuk terus mencari tahu anak mereka. (Rita Hasugian)