Kuala Lumpur – Genap 12 tahun dia meninggalkan rumah. Derfi Bisilisin, perempuan asal Desa Bakoein, Kecamatan Amfoang, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengadu nasib di Malaysia menjadi asisten rumah tangga. Tanpa kabar berita selama lebih dari 9 tahun, ibunya pun terkejut ketika tahun 2021 Derfi menghubungi untuk kali pertama.
“Itu pun cuma 10 menit, suruh telepon keluarga,” kata Derfi. Saat itu dia di Rumah Perlindungan Khas Wanita di Kota Bharu, Kelantan, setelah kabur ke sekian kalinya dari rumah majikan. Ibu dan keluarganya bingung jika dirinya masih hidup. “Iya, saya bilang. ‘Saya mati hidup kembali’,” kata Derfi, mengulangi kata-katanya kepada sang ibu.
Cerita itu dia sampaikan kepada Antara di luar ruang sidang di Pengadilan Sipil Kota Bharu, Kelatan, awal pekan lalu.
Sidang itu penting baginya agar mendapat hak gaji dari tiap tetes keringat dan air mata yang mengalir selama bekerja 9 tahun 3 bulan dengan majikan, Koe Bon Aik, di Kelantan.
Pada 2011, anak ketiga dari empat bersaudara itu meninggalkan kampung halamannya. Orang tuanya petani dan mengandalkan kebun jagung lalu padi tadah hujan sebagai sumber penghasilan. Perempuan muda kelahiran 12 Desember yang tidak tamat sekolah menengah pertama (SMP) itu ingin bekerja dan membantu keluarganya. Awalnya dijanjikan gaji 600 ringgit Malaysia per bulan (sekitar Rp1,7 juta dengan kurs RM1 sekitar Rp 2.900 pada 2011).
Pada perjanjian awal, dia tidak terima RM600 selama 6 bulan karena diserahkan ke agen sebagai ganti biaya perjalanan dari kampung hingga tiba Kelantan.
Tanpa Henti
Saat bersaksi di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Sipil Kota Bharu Mohd Zul Zakiqudin Bin Zulkifli, Derfi menyampaikan perlakuan keluarga majikan selama dia bekerja yang tidak manusiawi. Tidak ada tempat tidur yang layak, hanya lantai yang dingin. Tanpa alas, tanpa bantal dan tanpa selimut. Makan pun hanya sekali sehari saat malam hari, sementara dia harus bekerja dari pukul 05.00 subuh hingga pukul 02.00 atau 03.00 dini hari.
Derfi harus melayani total sembilan orang kakak beradik majikan, anak, termasuk ibu mereka. Belakangan bertambah menjadi 12 orang, yakni lima anak dan tujuh dewasa.
Ia mengerjakan berbagai pekerjaan, dari cuci baju, menyapu, mengepel, setrika pakaian, cuci piring, masak, dan membereskan rumah. Siang hari, bekerja di bengkel mobil milik keluarga majikan, melayani pembeli, pasang aksesoris mobil seperti kaca film dan lampu.
Di hadapan hakim, Derfi menceritakan pernah bertengkar hebat dengan saudara majikannya ketika meminta sebungkus Maggi (mi instan) untuk mengisi perut yang sangat lapar. Mi instan akhirnya diberi dengan dilempar ke wajahnya. Dia tidak mendapat jatah makan siang di bengkel. Sesekali teman-temannya, yang merupakan warga lokal, menyisakan roti untuknya dan disembunyikan di belakang bengkel agar dapat dimakan saat tidak ada keluarga majikan.
Derfi memiliki visa kerja pada awal bekerja. Namun, dokumen resmi untuk bekerja itu tidak lagi diperpanjang majikan sehingga posisi tawarnya sebagai pekerja migran semakin sulit.
Setiap kali ada polisi datang untuk memperbaiki mobil atau sekadar memasang aksesoris di bengkel majikannya, dirinya selalu diminta menghindar dan masuk ke belakang bengkel.
Kekerasan Fisik dan Psikis
Sepanjang dirinya bekerja bersama keluarga Koe Bon Aik, dia sudah merasakan memar di kepala, mulut, dan lengan akibat pukulan tangan kosong maupun gantungan pakaian.
Derfi, di hadapan hakim juga mengaku pernah ditampar dan dipukul dengan kursi kayu. Semua kekerasan itu atas tuduhan telah memukul istri majikan.
“Padahal istrinya yang pukul saya,” kata Derfi membela diri di hadapan majelis hakim.
Kata-kata kasar kerap tertuju padanya, melayang ringan dari mulut majikan dan keluarganya, menempatkan dirinya pada posisi terendah sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Defri sesungguhnya sosok yang tegar. Namun pertahanan dirinya runtuh siang itu di hadapan majelis hakim. Sangat jelas Derfi menahan tangis.
Suaranya mulai terdengar berat saat menjelaskan mengapa dirinya tidak hanya berhak mendapatkan seluruh gajinya selama bekerja 9 tahun dan 3 bulan, tetapi juga ganti rugi dari cedera yang dialami sepanjang bekerja.
“Sebagai seorang manusia … (Derfi terisak) saya sadar saya hanya sebagai pembantu rumah, yang datang jauh dari Indonesia dan tidak mempunyai keluarga di Malaysia. Saya bukan meminta dilayani sebagai raja, tapi hargai saya sebagai manusia, bukan binatang (terisak lagi).
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur mendapat aduan terkait kasus Derfi per telepon dari pemilik agensi tenaga kerja di Kota Bharu pada awal November 2020. Aduan juga telah dilayangkan ke Jabatan Tenaga Kerja (JTK) Kelantan dan penyelidikan dilakukan sebagai kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Majikan Derfi menghadapi dua tuntutan pidana di Mahkamah Sesyen Kota Bharu pada November 2020, yakni (1) kesalahan kejahatan perdagangan orang dalam bentuk kerja paksa berdasarkan Pasal 12 Akta Anti Perdagangan Orang dan Penyelundupan Migran (ATIPSOM), serta (2) atas kesalahan penganiayaan berdasarkan Pasal 324 Hukum Pidana.
Tuntutan pidana itu dimenangi majikan Derfi yang berhasil meyakinkan Majelis Hakim Mahkamah Sesyen Kota Bharu Tuan Ahmad Bazli Bahruddin bahwa mereka tidak bersalah sehingga diputuskan dilepas dari hukuman pidana.
Namun putusan tingkat banding pada Januari 2023, Koe Bon Aik beserta istrinya telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan ATIPSOM unsur kerja paksa, dan hakim menjatuhkan hukuman penjara masing-masing 7 tahun untuk majikan dan 3 tahun untuk istri majikan, serta denda sebesar RM30.000 atau sekitar Rp 92 juta.
Kini KBRI Kuala Lumpur mendampingi Derfi menuntut keadilan secara perdata atas gaji yang tak perah diterimanya. Pada 30 Juni 2022, surat perintah pemanggilan untuk tuntutan gaji sudah dilayangkan pada pihak majikan dan mengajukan tuntutan ke pengadilan dalam dua tuntutan terpisah, yaitu pertama, tuntutan gaji sebagai pembantu rumah sebesar lebih dari RM160.000 (sekitar Rp522,72 juta). Kedua, tuntutan gaji sebagai pembantu bengkel aksesoris mobil atau mekanik terhadap lebih dari RM170.000 (sekitar Rp555,39 juta). (Anto)