Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengimbau agar waspada bencana kekeringan bagi masyarakat di wilayah Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (NTB dan NTT). Ancaman tersebut harus diantisipasi dengan ketersediaan pangan yang cukup.
Pelaksana tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam keterangannya di Jakarta, melaporkan Nusa Tenggara Barat sudah tampak mengalami kekeringan. Wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah rawan kekeringan dalam data yang telah diteliti selama 10 tahun terakhir. Untuk memitigasi kekeringan, BNPB mengupayakan teknologi modifikasi cuaca (TMC), dengan membuat hujan buatan untuk mengisi maupun mempertahankan posisi air di sejumlah waduk.
Kekeringan, kata Abdul, akan sangat berdampak pada perekonomian Indonesia. BNPB mengimbau adanya peringatan dini maupun apel kesiapsiagaan terkait kekeringan di daerah tersebut.
Sedangkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan sejumlah wilayah pada 10 kabupaten di NTT berada dalam kondisi siaga bencana kekeringan meteorologis.
“Wilayah-wilayah siaga kekeringan mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) lebih dari 31 hari dengan peluang di atas 70 persen,” kata Kepala Stasiun Klimatologi BMKG, Rahmattulloh Adji di Larantuka, Kamis (15/6/2023).
Dia menyampaikan hal itu berkaitan dengan peringatan dini kekeringan meteorologis di wilayah NTT. Para petani perlu mengantisipasi bencana kekeringan dengan memilih tanaman yang cocok atau tidak membutuhkan banyak air untuk ditanam agar lebih berpeluang memberikan hasil.
Kekeringan juga berdampak pada berkurangnya persediaan air tanah sehingga menyebabkan kelangkaan air bersih. Oleh sebab itu, kata dia, warga perlu menghemat penggunaan air bersih agar persediaan yang ada bisa memenuhi kebutuhan.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menyarankan para petani untuk memperbanyak menanam tanaman palawija yang tidak membutuhkan air banyak selama musim kemarau.
“Tanaman palawija merupakan jenis tanaman yang tidak terlalu banyak membutuhkan air sehingga persediaan pangan pada musim kemarau tetap tersedia,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT Lecky Frederich Koli, seperti ditulis Antara, pekan lalu.
Selain palawija, sorgum merupakan tanaman yang adaptif terhadap kekeringan dan perlu untuk mengurangi ketergantungan pada beras. El Nino akan mempengaruhi produksi padi sehingga masyarakat bisa mengonsumsi sumber karbohidrat lain.
Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko mengatakan sorgum, sagu, ubi, dan sejenisnya sangat berpotensi menggantikan nasi yang saat ini menjadi makanan populer.
“Saya mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia mulai memahami bahwa kita makan nasi terlalu banyak seperti era Jepang, 40 tahun lalu,” katanya pada HUT Ke-50 HKTI belum lama ini.
Untuk NTT, singkong (ubi kayu) juga merupakan potensi pangan yang belum banyak dikembangkan. Sebagian besar masyarakat juga sudah mempunyai keraifan lokal dengan mengolah singkong agar menjadi stok pangan dalam waktu yang lama. [Anto]