• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Minggu, September 28, 2025
  • Login
Katong NTT
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
Katong NTT
No Result
View All Result
Home Sorotan

Menata Nilai Hel Keta: Antara Budaya dan Agama

Tim Redaksi by Tim Redaksi
4 tahun ago
in Sorotan
Reading Time: 4 mins read
A A
0
Pater Gregor Neonbasu, SVD (kedua dari kanan) bersama Marsel Robot (kedua dari kiri) dan Yeremia Djemi Manafe (kiri) dalam Webinar Nasional, Dekonstruksi Nilai Hel Keta yang diselenggarakan Prodi Pascasarjana Undana, Selasa, 23 Februari 2022 (Joe-KatongNTT)

Pater Gregor Neonbasu, SVD (kedua dari kanan) bersama Marsel Robot (kedua dari kiri) dan Yeremia Djemi Manafe (kiri) dalam Webinar Nasional, Dekonstruksi Nilai Hel Keta yang diselenggarakan Prodi Pascasarjana Undana, Selasa, 23 Februari 2022 (Joe-KatongNTT)

0
SHARES
983
VIEWS

Hel Keta merupakan ritual adat masyarakat etnis Timor yang biasa dilakukan sebagai pemurnian sebelum menikah. Tradisi ini dilakukan apabila ada perselisihan antara dua belah pihak pada masa lampau.

Marsel Robot, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengatakan, tradisi Hel Keta merupakan upaya pemurnian dari kesalahan masa lalu. Marsel mengatakan, dalam bacaan Charles S. Peirce, sebuah kajian semiotika, dengan menggunakan Segi Tiga Makna, Hel Keta dapat dilihat menurut tanda (sign) , acuan tanda (object), dan penggunaan tanda (interpretant).

BacaJuga

Jalan rusak parah di Desa Natarmage, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, NTT (Yohanes Fandi/KatongNTT)

Antara Jalan Rusak, Gagal Panen, Obat Kosong dan Semarak Kemerdekaan

18 Agustus 2025
Kampung adat Ratenggaro di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT (Dok.Antara)

Bukan Hanya Soal Dipalak: Belajar dari Ribut-ribut Jajago di Sumba

23 Mei 2025

Tanda dalam hel keta, kata Marsel, adalah ritual itu sendiri. Object atau acauan tanda adalah keseluruhan ritual dan unsur dari ritual Hel Keta seperti adanya orang, ternak, busana, sungai mengalir, tuturan, cara berkumpul dan tempat berkumpul. Penggunaan tanda dapat dilihat pada konsep, pemikiran atau makna dari penggunaan ritual bagi masyarakat Dawan.

“Posisi dua kelompok yang mengikuti Hela Keta, menunjukkan adanya perselisihan. Posisi menjadi ikon. Pertemuan di sungai yang mengalir sebagai simbol membersihkan sekaligus menghanyutkan kesalahan atau petaka masa lalu,” kata Marsel dalam Webinar Nasional, Dekonstruksi Nilai Hel Keta yang digelar Prodi Pascasarjana Linguistik Undana, Selasa 23 Februari 2022.

Marsel menjelaskan, ritual Hel Keta bersifat sakral. Terlihat dari keyakinan pentingnya ritual tersebut dan busana yang digunakan hingga orang-orang yang hadir dalam ritual tersebut. Kesakralan itu memberikan kelegaan bagi orang-orang yang berselisih.

Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku, mengeluarkan surat pelarangan acara Hel Keta pada 5 Februari 2022. Surat tersebut menuai respon pro dan kontra.

Rektor Undana, Maxs Sanam yang ditemui di ruang kerjanya, Jumat (25/2/2022) menjelaskan, ritual Hel Keta mengandung nilai dan gagasan yang mencirikan identitas etnis Timor.

Pelaksanaan ritual ini, menurut Sanam mestinya tidak dilarang. Namun bila ada praktik yang bertentangan dengan ajaran agama dapat dikikis.

Lasarus Jehamat, dari Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata Undana mengatakan, ritual Hel Keta mengalami pergeseran. Dirinya mengatakan, dari perspektif sosiologi, Hel Keta harus dilihat apa adanya.

“Pro dan kontra terkait Hel Keta yang terjadi diruang sosial kemasyarakatan dan media sosial di NTT akhir-akhir ini, ketika saya membaca fenomena itu muncul karena dua sebab utama. Yang pertama, apa yang disebut ekonomisasi budaya dan kedua komodifikasi dari Hel Keta itu sendiri,” kata Lazarus.

Lazarus menyebut dua aktor utama pergeseran praktik Hel Keta yang kemudian memunculkan ekonomisasi dan komodifikasi yakni Negara pada satu sisi, kemudian aktor lainnya adalah modal.

Pergeseran praktik, kata Lazarus bisa mengubah makna ritual tersebut. Dirinya melihat praktik Hel Keta saat ini bukan lagi sebegai ritus untuk mendamaikan bagi orang yang akan menikah. Namun sudah diberlakukan bagi semua pasangan yang akan menikah.

Pelaksanaan ritual pun memiliki standar tertentu dan tidak menghadirkan banyak orang. Lazarus mengatakan, yang terjadi hari ini bahwa ritual itu dihadiri oleh banyak orang dan lebih mengarah ke nilai ekonomis.

“Dulu orang melakukan Hel Keta hanya perlu siap ayam satu ekor, lilin dan sebagainya. Kalau sekarang tidak,” jelas Lazarus.

Pater Gregorius Neonbasu SVD, Guru Besar Antropologi Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang menekankan pentingnya revitalisasi nilai Hel Keta. Namun sebelum revitalisasi, ada empat hal yang perlu dilakukan. Yang pertama, revisitasi atau menggali kembali nilai Hel Keta. Setelah itu, diikuti reinvensi, yakni mengangkat kembali nilai. Kemudian resosialisasi.

“Resosialisasi yang sukses itulah muncul revitalisasi,” kata Pater Gregor.

Dalam upaya revitalisasi, perlu persepsi atau pemahaman yang baik terkait Hel Keta. Pandangan yang benar atau prespektif terkait ritual ini pun harus dibangun. Pater Gregor mengatakan, rangkaian pemahaman dan pandangan terkait Hel Keta perlu didukung oleh harapan yang baik dari ritual itu.

“Hal yang disampaikan selama ini tidak menyelesaikan persoalan yang bersarang pada ad hominem surat gembala Bapak Uskup Atambua,” jelasnya.

Pater Gregor berpendapat, surat Yang Mulia Uskup Atambua perlu didukung. Pasalnya, ada praktik Hel Keta yang menyimpang.

Dosen Ilmu Komunikasi Undana, Yeremia Djemi Manafe mengatakan, ritual bagi atoni pah meto atau etnis Timor merupakan aktivitas hidup dan kehidupan. Mereka memohon restu pada pemilik otoritas hidup. Manafe mengatakan, atoni pah meto percaya bahwa restu itu hanya bisa didapatkan dari pemilik restu yakni Uis Neno (Tuhan Allah) dan Uis Pah (Tuhan Bumi).

“Alam pah meto (tanah kering) tempat atoni pah meto mempertahankan hidup mereka berada dalam otoritas Uis Neno dan Uis Pah,” kata Manafe.

Frans Bustan, Guru Besar Linguistik Undana mengatakan, ritual adalah fakta pertama dalam setiap agama. Ritual ini mempunyai kaidah dan kesalehan tersendiri.

“Mari kita bersama-sama dalam sebuah konsep old wine in a new bottle (anggur lama dalam kemasan baru). Lain dulu lain sekarang,” ujar Bustan.

Dirinya mengajak etnis Timor bersama gereja untuk duduk bersama mengurai persoalan ini. Mencari benang merah yang mempertemukan antara tradisi dan agama.
“Ini peperangan persimpangan jalan dari dua kekuatan agama,” kata Bustan.

Bustan mengatakan, dalam kebudayaan tidak ada yang statis. Kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis. Hel Keta sebagai produk olah nalar dan pikiran masyarakat Timor bisa tampil dalam kemasan yang baru dengan tetap mempertahankan nilai-nilai ritus Hel Keta.(K-04)

Tags: #HelKeta#katongntt#pascasarjanaundana#tradisietnisTimor#UskupAtambua
Tim Redaksi

Tim Redaksi

Media berita online berkantor di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fokus pada isu-isu ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, dan lingkungan.

Baca Juga

Jalan rusak parah di Desa Natarmage, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, NTT (Yohanes Fandi/KatongNTT)

Antara Jalan Rusak, Gagal Panen, Obat Kosong dan Semarak Kemerdekaan

by Difan Fandi
18 Agustus 2025
0

Desa Natarmage - Pagi itu, saya berangkat dari Desa Pruda menuju Natarmage, Kecamatan Waiblama, untuk mengikuti perayaan HUT RI ke-80...

Kampung adat Ratenggaro di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT (Dok.Antara)

Bukan Hanya Soal Dipalak: Belajar dari Ribut-ribut Jajago di Sumba

by PriyaHusada
23 Mei 2025
0

Ketika video viral tentang wisatawan merasa dipalak di Ratenggaro bikin geger, NTT dihadapkan lagi pada pertanyaan lama: Apakah kita sudah...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Katong NTT

Merawat Suara Hati

Menu

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

Follow Us

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
Sign In with Linked In
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi

Merawat Suara Hati