• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Minggu, Juni 22, 2025
  • Login
Katong NTT
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
Katong NTT
No Result
View All Result
Home Opini

Bukan Hanya Soal Dipalak: Belajar dari Ribut-ribut Jajago di Sumba

PriyaHusada by PriyaHusada
1 bulan ago
in Opini, Sorotan
Reading Time: 3 mins read
A A
0
Kampung adat Ratenggaro di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT (Dok.Antara)

Kampung adat Ratenggaro di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT (Dok.Antara)

0
SHARES
34
VIEWS

Ketika video viral tentang wisatawan merasa dipalak di Ratenggaro bikin geger, NTT dihadapkan lagi pada pertanyaan lama: Apakah kita sudah siap jadi tuan rumah yang baik? Atau justru sudah terlalu lelah jadi tontonan?

“Jangan dulu datang ke Sumba, nanti dipalak.” Kalimat itu muncul di kolom komentar video viral Jajago Keliling Indonesia—sepasang suami-istri yang melakukan perjalanan panjang dengan camper van, dan akhirnya “kapok” datang ke Sumba.

Dalam vlog mereka, John dan Riana bercerita soal pengalaman tidak menyenangkan saat berkunjung ke Kampung Adat Ratenggaro. Mereka mengaku dihadang, dipalak, dan merasa tak aman. Video itu meledak. Tapi reaksi publik justru terbagi dua. Ada yang geram dengan perlakuan warga. Ada juga yang marah pada Jajago karena dianggap mempermalukan NTT di dunia maya.

BacaJuga

Perempuan Tak Aman, Negara pun Goyah

Perempuan Tak Aman, Negara pun Goyah

20 Juni 2025
Ilustrasi orang-orang berolahraga senam diiringi lagu NTT Ge Mu Famire

Mengapa Lagu-Lagu NTT Terlalu Riang untuk Realitas yang Pahit?

3 Juni 2025

Baca juga: Waspada 40 Orang Digigit Komodo, Wisatawan Dijamin Aman

Dari Ratenggaro Menuju Meja Rapat Insiden itu menggiring Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena angkat bicara. Ia menyayangkan kejadian itu dan menyebut perlunya pembenahan.

“Kami tidak bisa menoleransi pungli, apalagi terhadap wisatawan. Tapi ini juga jadi momentum evaluasi cara kita mengelola destinasi.” (detik.com, 18 Mei 2025).

Bupati Sumba Barat Daya, Ratu Ngadu Bonu Wulla, bahkan langsung meminta maaf kepada Jajago secara terbuka. Ia menginstruksikan pembinaan masyarakat desa dan mendukung pembentukan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata).

“Atas nama pemerintah dan masyarakat, kami mohon maaf atas kejadian tersebut.” (koranindopos.com, 17 Mei 2025)

Polisi turun tangan. Hasil penyelidikan menyebut bahwa sebagian pelaku adalah anak-anak dan satu orang dewasa penyandang disabilitas. Mereka tidak diproses hukum, hanya dikembalikan ke desa untuk dibina. (victorynews.id, 18 Mei 2025) Reaksi Berbeda dari Lapangan. Gabriel Kalumbang, pemandu wisata lokal di Sumba, menilai pasangan Jajago tak cukup menghormati aturan lokal.

“Tarif parkir sudah jelas Rp 50 ribu per mobil. Drone juga Rp75 ribu. Mereka datang, menawar seenaknya, lalu bawa masalah ini ke publik.” (gardaindonesia.id, 19 Mei 2025).

Baca juga: Mengapa Lagu-Lagu NTT Terlalu Riang untuk Realitas yang Pahit?

Menurut Gabriel, tarif sewa kuda, pakaian adat, dan penggunaan drone sudah ditetapkan sejak lama oleh kelompok masyarakat pengelola. Ia menyayangkan narasi yang seolah-olah menyamaratakan masyarakat adat sebagai pemalak.

Antara trauma dan klarifikasi Jajago, dalam klarifikasinya, menyebut bahwa mereka tidak berniat menjelekkan NTT. “Kami juga mencintai NTT. Tapi kami hanya jujur tentang pengalaman kami. Banyak orang Sumba yang sangat baik pada kami.” (timexntt.id, 20 Mei 2025) Namun viral itu punya daya rusak yang tidak bisa ditarik balik.

Di grup perjalanan dan forum wisatawan, nama Ratenggaro mulai diperingatkan sebagai “zona rawan.” Diskursus pun bergeser dari insiden personal ke citra pariwisata NTT secara keseluruhan. Tambahan: Kasus Serupa di Dunia — Wisatawan dan Komunitas Lokal Tak Selalu Cocok Insiden seperti yang dialami Jajago bukanlah hal baru dalam dunia pariwisata global. Pada 2021, komunitas lokal di Maui, Hawaii meluncurkan kampanye “Visit Responsibly or Don’t Visit at All”. Ini dilakukan sebagai respons terhadap melonjaknya wisatawan pasca-pandemi yang dianggap merusak sumber daya dan melanggar batas budaya.

“Ini bukan soal kami membenci turis. Tapi kami sudah terlalu lama jadi latar belakang foto orang lain,” ujar Keani Rawlins-Fernandez, anggota dewan Maui County. (The Guardian, 2021)

Pemerintah lokal membatasi kendaraan sewa, memperketat izin ke tempat suci, dan menyusun panduan etika wisata. Kasus ini memperlihatkan bagaimana konflik muncul ketika masyarakat merasa tidak dihargai di tanahnya sendiri.

Baca juga: Generasi Muda Helong Merawat Budaya Warisan Leluhur

Relevansi untuk Sumba dan NTT Apa yang terjadi di Maui memperlihatkan pola serupa: ketika komunitas lokal merasa tidak punya kontrol, konflik tak bisa dihindari. Insiden Jajago memperlihatkan hal yang sama dalam skala kecil. Bahwa bukan niat buruk atau niat menipu yang selalu jadi akar masalah, tapi absennya struktur, komunikasi, dan penghormatan timbal balik antara wisatawan dan masyarakat lokal. Alih-alih memperdebatkan siapa salah siapa benar, pertanyaannya kini adalah: bagaimana membangun kontrak sosial wisata yang adil? Bukan hanya soal uang masuk atau tarif parkir, tapi soal martabat dan pengakuan.

Insiden Jajago tidak harus jadi alasan menjauhi Sumba. Tapi bisa jadi pintu masuk untuk pembenahan yang selama ini tertunda. Bahwa jadi tuan rumah itu tidak mudah. Bahwa jadi wisatawan pun ada etikanya. Dan bahwa NTT tidak butuh viral. Tapi butuh cara baru untuk menyambut orang luar, tanpa mengorbankan martabat orang dalam. [*]

 

Tags: #GubernurNTT#Jajago#KampungadatRatenggaro#OpiniKatongNTT#pariwisatantt#SumbaBaratDaya
PriyaHusada

PriyaHusada

Baca Juga

Perempuan Tak Aman, Negara pun Goyah

Perempuan Tak Aman, Negara pun Goyah

by PriyaHusada
20 Juni 2025
0

Buku Sex and World Peace mengajak kita melihat ulang dasar keamanan negara. Ternyata bukan terletak pada kekuatan militer atau pertumbuhan...

Ilustrasi orang-orang berolahraga senam diiringi lagu NTT Ge Mu Famire

Mengapa Lagu-Lagu NTT Terlalu Riang untuk Realitas yang Pahit?

by PriyaHusada
3 Juni 2025
0

Di seluruh Nusantara, lagu “Gemu Fa Mi Re” dan “Nona Pica Pica” menjadi pengiring wajib di acara-acara seremonial. Tapi di...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Katong NTT

Merawat Suara Hati

Menu

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

Follow Us

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
Sign In with Linked In
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi

Merawat Suara Hati