Ketika video viral tentang wisatawan merasa dipalak di Ratenggaro bikin geger, NTT dihadapkan lagi pada pertanyaan lama: Apakah kita sudah siap jadi tuan rumah yang baik? Atau justru sudah terlalu lelah jadi tontonan?
“Jangan dulu datang ke Sumba, nanti dipalak.” Kalimat itu muncul di kolom komentar video viral Jajago Keliling Indonesia—sepasang suami-istri yang melakukan perjalanan panjang dengan camper van, dan akhirnya “kapok” datang ke Sumba.
Dalam vlog mereka, John dan Riana bercerita soal pengalaman tidak menyenangkan saat berkunjung ke Kampung Adat Ratenggaro. Mereka mengaku dihadang, dipalak, dan merasa tak aman. Video itu meledak. Tapi reaksi publik justru terbagi dua. Ada yang geram dengan perlakuan warga. Ada juga yang marah pada Jajago karena dianggap mempermalukan NTT di dunia maya.
Baca juga: Waspada 40 Orang Digigit Komodo, Wisatawan Dijamin Aman
Dari Ratenggaro Menuju Meja Rapat Insiden itu menggiring Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena angkat bicara. Ia menyayangkan kejadian itu dan menyebut perlunya pembenahan.
“Kami tidak bisa menoleransi pungli, apalagi terhadap wisatawan. Tapi ini juga jadi momentum evaluasi cara kita mengelola destinasi.” (detik.com, 18 Mei 2025).
Bupati Sumba Barat Daya, Ratu Ngadu Bonu Wulla, bahkan langsung meminta maaf kepada Jajago secara terbuka. Ia menginstruksikan pembinaan masyarakat desa dan mendukung pembentukan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata).
“Atas nama pemerintah dan masyarakat, kami mohon maaf atas kejadian tersebut.” (koranindopos.com, 17 Mei 2025)
Polisi turun tangan. Hasil penyelidikan menyebut bahwa sebagian pelaku adalah anak-anak dan satu orang dewasa penyandang disabilitas. Mereka tidak diproses hukum, hanya dikembalikan ke desa untuk dibina. (victorynews.id, 18 Mei 2025) Reaksi Berbeda dari Lapangan. Gabriel Kalumbang, pemandu wisata lokal di Sumba, menilai pasangan Jajago tak cukup menghormati aturan lokal.
“Tarif parkir sudah jelas Rp 50 ribu per mobil. Drone juga Rp75 ribu. Mereka datang, menawar seenaknya, lalu bawa masalah ini ke publik.” (gardaindonesia.id, 19 Mei 2025).
Baca juga: Mengapa Lagu-Lagu NTT Terlalu Riang untuk Realitas yang Pahit?
Menurut Gabriel, tarif sewa kuda, pakaian adat, dan penggunaan drone sudah ditetapkan sejak lama oleh kelompok masyarakat pengelola. Ia menyayangkan narasi yang seolah-olah menyamaratakan masyarakat adat sebagai pemalak.
Antara trauma dan klarifikasi Jajago, dalam klarifikasinya, menyebut bahwa mereka tidak berniat menjelekkan NTT. “Kami juga mencintai NTT. Tapi kami hanya jujur tentang pengalaman kami. Banyak orang Sumba yang sangat baik pada kami.” (timexntt.id, 20 Mei 2025) Namun viral itu punya daya rusak yang tidak bisa ditarik balik.
Di grup perjalanan dan forum wisatawan, nama Ratenggaro mulai diperingatkan sebagai “zona rawan.” Diskursus pun bergeser dari insiden personal ke citra pariwisata NTT secara keseluruhan. Tambahan: Kasus Serupa di Dunia — Wisatawan dan Komunitas Lokal Tak Selalu Cocok Insiden seperti yang dialami Jajago bukanlah hal baru dalam dunia pariwisata global. Pada 2021, komunitas lokal di Maui, Hawaii meluncurkan kampanye “Visit Responsibly or Don’t Visit at All”. Ini dilakukan sebagai respons terhadap melonjaknya wisatawan pasca-pandemi yang dianggap merusak sumber daya dan melanggar batas budaya.
“Ini bukan soal kami membenci turis. Tapi kami sudah terlalu lama jadi latar belakang foto orang lain,” ujar Keani Rawlins-Fernandez, anggota dewan Maui County. (The Guardian, 2021)
Pemerintah lokal membatasi kendaraan sewa, memperketat izin ke tempat suci, dan menyusun panduan etika wisata. Kasus ini memperlihatkan bagaimana konflik muncul ketika masyarakat merasa tidak dihargai di tanahnya sendiri.
Baca juga: Generasi Muda Helong Merawat Budaya Warisan Leluhur
Relevansi untuk Sumba dan NTT Apa yang terjadi di Maui memperlihatkan pola serupa: ketika komunitas lokal merasa tidak punya kontrol, konflik tak bisa dihindari. Insiden Jajago memperlihatkan hal yang sama dalam skala kecil. Bahwa bukan niat buruk atau niat menipu yang selalu jadi akar masalah, tapi absennya struktur, komunikasi, dan penghormatan timbal balik antara wisatawan dan masyarakat lokal. Alih-alih memperdebatkan siapa salah siapa benar, pertanyaannya kini adalah: bagaimana membangun kontrak sosial wisata yang adil? Bukan hanya soal uang masuk atau tarif parkir, tapi soal martabat dan pengakuan.
Insiden Jajago tidak harus jadi alasan menjauhi Sumba. Tapi bisa jadi pintu masuk untuk pembenahan yang selama ini tertunda. Bahwa jadi tuan rumah itu tidak mudah. Bahwa jadi wisatawan pun ada etikanya. Dan bahwa NTT tidak butuh viral. Tapi butuh cara baru untuk menyambut orang luar, tanpa mengorbankan martabat orang dalam. [*]