Oleh: Robert Raya, Warga NTT tinggal di Sydney
Australia, negara yang menjadikan kangguru (atau kanguru) sebagai lambang negaranya ternyata mengalami persoalan besar dalam beberapa tahun terakhir ini. Kangguru sebagai lambang dipilih karena hewan ini tidak tahu caranya mundur, mereka selalu maju.
Bangsa Australia selalu optimistis melangkah maju ke depan seperti kangguru lambang negara mereka. Sayangnya beberapa tahun belakangan ini yang terjadi bukanlah sebuah kemajuan melainkan adalah kemunduran.
Badai Covid-19 yang melanda seluruh dunia dan aturan pelarangan orang asing untuk datang berkunjung dan bekerja menyebabkan persoalan baru di bidang pertanian Australia. Pertanian Australia mengalami kendala karena kekurangan pekerja untuk merawat hingga memanen hasil pertanian dan peternakan yang berlimpah ruah.
Para pemilik usaha pertanian berteriak karena lahan mereka yang luas membutuhkan banyak tenaga kerja. Australia adalah negara penghasil utama produk seperti daging sapi, domba, gandum, anggur, cherry (ceri), strawberry, plum dan berbagai produk lainnya.
Harian Guardian pernah menulis bahwa ada lebih dari 22.000 pekerja masih dibutuhkan untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di seluruh industri pertanian. Jika kekurangan itu tidak segera diisi maka Australia mengalami kerugian panen bagi petani dan berdampak pada inflasi. Ini karena kenaikan harga produk pertanian di pasaran.
Kekurangan yang paling signifikan terjadi pada usaha hortikultura dengan kebutuhan lebih dari 16.000 pekerja selama musim panen.
Pada Oktober 2021 lalu, pemerintah negara bagian New South Wales (NSW) di Sydney menawarkan cuti lima hari kepada pegawai negeri untuk membantu panen. Hak cuti berbayar bagi 4.500 aparatur pemerintah ditawarkan sebagai upaya mengisi kekosongan tenaga pemetik buah dan sayur di saat musim panen.
Wakil Menteri Utama NSW Paul Toole kepada sejumlah media menjelaskan, cuti panen itu bisa diambil sebagai tambahan atas cuti tahunan (annual leave) serta cuti karena masa pengabdian panjang seorang pegawai (long service leave).
Komoditas yang dipanen mulai dari blueberry di Coffs Harbour, jeruk dan anggur di Riverina dan Murray, hingga panen buah cherry di Central West atau membantu panen gandum yang melimpah.
Ketika penulis mengunjungi Orange, salah satu sentra produksi Cherry Australia beberapa minggu yang lalu, keluhan itu keluar dari para petani pemilik kebun. Cherry yang sangat melimpah akhirnya banyak yang dibiarkan matang di pohon dan gugur karena ketiadaan pekerja untuk memanennya. Amat sangat disayangkan karena jutaan dollar melayang dari sektor yang satu ini.
Kebutuhan tenaga kerja yang mendesak inilah yang melahirkan inisiatif pemerintah Australia mengeluarkan visa pertanian bagi beberapa negara di sekitarnya. Dalam sejumlah kesempatan, seperti ditulis ABC News, Menteri Pertanian Australia David Littleproud menjelaskan visa pertanian menjadi tanggung jawab Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia.
Dengan visa tersebut, kendala tenaga kerja di sektor pertanian di Australia dapat teratasi. Memang masih banyak aturan yang perlu dirundingkan secara rinci antara Australia dan negara-negara yang akan mengirim tenaga kerjanya, termasuk Indonesia. Secara umum, adanya visa pertanian itu diharapkan memberi keuntungan dua belah pihak.


Lalu, apa keuntungannya bagi masyarakat Indonesia denga kehadiran visa pertanian Australia? Menurut penulis, ada beberapa hal yang menjadi manfaat bagi pelaku pertanian Indonesia. Pertama, penyerapan tenaga kerja ke luar negeri diharapkan mampu membawa devisa bagi Indonesia.
Posisi upah yang sangat bagus di sektor pertanian Australia diharapkan mampu mengalirkan pendapatan luar negeri dalam mata uang asing ke Indonesia. Pekerja pertanian Australia yang professional mendapat bayaran sekitar AU$ 25 per jam atau sekitar Rp 250 ribu rupiah per jam.
Dengan rata-rata tujuh jam kerja per hari maka para pekerja pertanian dapat menghasilkan pendapatan yang sangat signifikan dalam rupiah. Memang perlu diingat bahwa biaya hidup di Australia juga sangat besar. Namun, kalau para pekerja dapat berhemat dengan memasak makanan sendiri maka biaya hidup bias diminimalkan.
Kedua, transfer pengetahuan di bidang pertanian bisa berjalan dengan baik. Para pekerja Indonesia di Australia dapat belajar mengelola pertanian dalam skala industri dan bisa menerapkan tehnik dan teknologi yang lebih baik.
Ini akan menjadi keuntungan saat kembali ke Indonesia karena pengetahuan itu mampu meningkatkan hasil produksi pertanian. Tentu dibutuhkan sejumlah modifikasi yang sesuai dengan kondisi pertanian Indonesia.
Secara umum, visa pertanian yang ditawarkan Pemerintah Australia akan sangat membantu. Untuk catatan, perlu adanya kesepakatan yang jelas yang melindungi kesehatan dan keselamatan para pekerja Indonesia hendak ke Australia.
Semoga tahun depan, penulis dan warga di Australia bisa menikmati buah ceri yang lebih melimpah dan berkualitas dengan harga yang lebih murah dari pada tahun ini dengan bantuan para pekerja Indonesia.
Untuk itu, penulis juga memberi apresiasi atas dukungan yang disampaikan Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA IPB) NTT seperti yang sudah ditulis melalui media KatongNTT.com. Salam sehat selalu dari Australia. *****