Boleh jadi kita tidak pernah terlintas cari tahu tentang jenis jagung yang kita konsumsi, apakah berasal dari bibit jagung lokal (komposit) atau hasil persilangan (hibrida). Bahkan kita mungkin tak ambil pusing tentang perbedaan keduanya di tengah gencarnya kampanye pemerintah tentang ketahanan pangan.
Sikap sebaliknya ditunjukkan warga Desa Kairane, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang. Hampir semua warga di desa ini hidup dari bertanam jagung. Bibit jagung yang mereka tanam adalah bibit jagung lokal yang diwariskan dari orang tua dan nenek moyang mereka.
Warga Desa Kairane tidak tertarik untuk menanam bibit jagung hibrida. Mereka juga tidak menggunakan pupuk pabrikan, melainkan pupuk kandang dan pupuk cair yang ramah lingkungan.
Baca juga: Oma Lin Menginspirasi Warga Mbay Bertanam Jagung
Kornalia Ton menuturkan sejak kecil orang tuanya sudah bertani jagung dan dia meneruskan jejak orangtuanya sebagai petani jagung lokal. Ada 9 jenis jagung lokal yang ditemukan dan dirawat warga Desa Kairane agar tidak punah.
Dia menanam sedikitnya 3 dari 9 bibit jagung lokal di ladangnya yakni jagung pulut, jagung putih, dan jagung kuning.
Kornalia dengan fasih menjelaskan ciri khas dari ketiga jagung itu. Jagung pulut untuk makanan keluarganya sehari-hari. Rasanya yang pulen dan mudah diolah menjadi jagung bose atau direbus dengan campuran santan, kurus (cabai), kacang hijau, kacang nasi, dan labu muda.
Jagung putih, menurut Kornalia, hanya bisa direbus untuk kemudian dimakan. Rasanya manis dan lembut seperti susu.
“Jagung putih tidak bisa di-titi (dipipihkan atau ditumbuk di atas batu setelah terlebih dahulu direbus dan disangrai), hanya bisa direbus. Kalau di-titi, jagung jadi hancur. Ini jagung disebut juga jagung putih kapur,” kata Kornalia kepada KatongNTT saat berkunjung ke Desa Kairane, akhir Agustus lalu.
Begitupun jagung putih ini yang menurut dia paling banyak dikonsumsi warga Desa Kairane. Alasannya sederhana, jagung ini cepat matang saat direbus. Rasanya manis dan lembut seperti susu.
Sedangkan jagung kuning, selain untuk dimakan dan diolah menjadi jagung titi, juga untuk jadi makanan ternak seperti ayam dan babi. Hanya saja proses matang saat direbus sekitar 30-60 menit atau lebih lama dibandingkan jagung putih dan jagung pulut.
Di lahan seluas 0,5 hektar Selfina Nagi memilih bertanam bibit jagung kuning dan jagung pulut. Perempuan berusia 65 tahun ini sendirian membersihkan ladang, menanam bibit jagung, hingga memanennya.
“Saya kerjakan semua sendiri. Untuk bersihkan kebun, saya dibantu teman-teman ,” kata Selfina, yang hidup tanpa suami dan anaknya bekerja di Malaysia.
Baca juga: Ludi Gasong Sinergikan Riset dan Bisnis Jagung Bose Instan untuk Cegah Stunting di NTT
Dia menanam hanya dua jenis jagung lokal untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari diselang seling dengan nasi. Jagung juga untuk makanan hewan ternaknya. Jika ada sisa, jagung dijual.
Warga Desa Kairane dengan bantuan Yayasan SHEEP Indonesia mengumpulkan jenis jagung lokal yang masih ditemukan di desa tersebut. Untuk bekerja secara sistematis, warga membentuk wadah bersama yang diberi nama Organisasi Masyarakat Basis Tafena Kuan.
Melalui Sekolah Lapang yang diinisiasi SHEEP, para petani Desa Kairane belajar langsung tentang pengelolaan lahan, merawat bibit jagung lokal, panen, hingga pelatihan menjalankan UMKM.
“Kami langsung terjun ke kebun. Sebelumnya kami tidak tahu, tanam begitu saja. Bersihkan, selesai. Tinggal tunggu panen. Tidak tahu merawat, suka-suka yang penting bisa hidup,” kata Yusak yang diiyakan oleh para petani yang ditemui KatongNTT akhir Agustus lalu.
Jika dulu cara menanam jagung dengan sistem tumpang sari, maka para petani kini menata kebun mereka untuk bertanam jagung saja. Mereka juga memberi jarak antar lubang dengan lubang lainnya sekitar 20-40 sentimeter tergantung jenis jagung. Sehingga lubang tidak terlalu berdekatan. Begitu juga antar baris dengan baris diberi jarak sekitar 60-80 sentimeter.
“Supaya mudah terima sinar matahari. Sehingga ada bulirnya,” ujar Yusak.
Yusak bersama para petani Desa Kairane yang ditemui KatongNTT di Sekretariat OMB Tafena Kuan menjelaskan 9 jenis jagung lokal tersebut.
Baca juga: Kepala Karantina Sebut NTT Berpeluang Ekspor Jagung dan Daging, Ini Syaratnya
Odi Nesti Benu, 31 tahun, kemudian menuliskannya kepada KatongNTT secara rinci nama jagung dalam bahasa Dawan, siapa saja yang mengkonsumsi, dan masa panennya.
- Pen ri’ Ana. Jagung ini khusus untuk dikonsumsi anak-anak balita. Rasanya lembut. Jarak saat ditanam hingga panen satu bulan.
- Pen ri’ Naek. Jagung untuk dikonsumsi anak-anak usia remaja, 12-16 tahun. Rasanya juga lembut dan masa panennya 1,5 bulan.
- Pen Puru atau jagung pulut (ketan). Jagung ini dikonsumi untuk semua umur. Jagung pulut biasanya diolah menjadi jagung bose. Masa panennya sekitar 3 bulan.
- Pen puru ana atau jagung pulut kecil. Butir jagung ini lebih kecil dari jagung pulut (nomor 3). Rasa dan tekstur sama seperti Pen Puru.
- Pan Muti atau jagung putih. Rasa jagung ini seperti susu. Biasanya jagung ini direbus dan cepat matang. Sehingga paling banyak dikonsumsi warga Desa Kairane.
- Pen Moro Naek atau jagung kuning besar. Teksturnya mirip jagung hibrida. Hanya butir jagung kuning besar lebih buat dan padat, tongkol jagung juga panjang. Sedangkan butir jagung hibrida teksturnya persegi dan isinya tidak padat. Tongkolnya pendek. Masa
panennya sekitar 4 bulan.
“Pada zaman dahulu sampai sekarang jagung kuning yang muda diolah untuk aneka makanan seperti boras, tumpeng, dan bisa juga direbus dengan kulit ataupun dipipil lalu direbus dicampur aneka sayuran dan kacang-kacangan. Bisa pula dibakar,” kata Odi yang sedang menulis essay tentang jagung lokal.
Jagung kuning yang kering, dia menambahkan, bisa dioalh menjadi jagung titi (pen tutu-bahasa Dawan), atau sagu (u’a ura, bahasa Dawan).
- Pen Moro Ana atau jagung kuning kecil. Tekstur dan jenisnya sama dengan pagung Pen Moro Naek.
- Pen Metan atau jagung hitam. Jagung ini rasanya manis dan biasanya direbus lalu dimakan. Air rebusan berwarna kebiruan. Masa panennya berkisar 3-4 bulan.
- Pen Bof atau jagung bunga. Tekstur dan rasanya mirip dengan jagung hitam. Jagung ini bisa dimasak untuk hasilkan popcorn. Masa panennya berkisar 3-4 bulan.
Menurut Odi, jagung pulut besar atau Pen Puru mulai menghilang tanpa dapat memastikan alasannya.
Keunggulan bertanam jagung lokal daripada jagung hibrida
Sejak nenek moyang hingga saat ini, kata Odi, jagung lokal memiliki sejumlah keunggulan yang lebih baik dibandingkan jagung hibrida. Jagung lokal tahan lama dalam cuaca ekstrim sekalipun tidak rusak atau berulat.
Dalam tradisi merawat jagung di Pulau Timor, kata Odi, jagung lokal yang sudah dipanen ditaruh di atas para-para (loteng, sebutan bagi etnis Dawan) dan di bawahnya tungku api untuk memasak. Sehingga asap dari tungku akan menghangatkan jagung agar tetap utuh. Sementara jagung hibrida, cepat rusak dan berulat.
Baca juga: Dampak El Nino, Pemda NTT Saran Petani Tak Lagi Tanam Padi
Keunggulan lain jagung lokal adalah tidak membutuhkan pupuk pabrikan. Menurut Odi, untuk merawat jagung lokal agar tetap sehat, petani di Timor hanya membersihkan gulma dari sekitar pohon jagung.
“Kami tidak pakai pupuk. Kami hanya bersihkan sekitar kebun. Kami sebut tofa kebun,” ujar Ogi tertawa.
Bagaimana dengan jumlah produksi jagung lokal dibandingkan hibrida? Menurut Odi, jumlah produksi jagung hibrida lebih banyak karena dipupuk.” Tapi produksinya tidak jauh beda,” ujarnya.
Jika musim panen tiba jagung hibrida harus dijual supaya cepat habis. Jagung ini tidak dapat bertahan lama untuk disimpan. Sedangkan jagung lokal, bisa disimpan dan bisa dijual. Jagung lokal tahan lama hingga bertahun-tahun asalkan ditaruh di para-para dapur.
Letak para-para atau loteng di dapur, kata Ogi, agak tinggi. Makanya untuk mengambil jagungnya harus menggunakan tangga atau kursi. Ini alasan mengapa rumah tradisional masyarakat Timor berbentuk bulat meninggi.
Selain itu, biji jagung lokal padat dan ukuran bijinya lebih besar dibandingkan jagung hibrida. Sehingga untuk dikonsumsi, lebih enak, bergizi, dan mengenyangkan.
Melindungi Jagung Lokal
Ketua RT O1 RW 01 Desa Kairane, Des Neno Uran menjelaskan, sebanyak 12 kepala keluarga yang berada di RT 01 berprofesi sebagai petani jagung lokal. Bahkan hampir semua warga Desa Kairane bertani jagung lokal.
“Jika Ibu tanya di desa mana ada tanam jagung lokal, semua warga di Kecamatan Amabi Oefeto akan sebut Desa Kairane,” kata Des tersenyum bangga,
Tak hanya bertanam jagung lokal sebagai kebanggaan, nilai gotong royong warga juga. Setiap warga akan bergotong royong saat membersihkan lahan kebun sebelum ditanami bibit jagung. Hanya sayangnya, pembersihan ladang atau kebun masih dengan cara membakar.
Menurut Des, belum ada pilihan untuk menggantikan cara membakar ladang atau kebun agar ramah lingkungan dan dengan waktu yang cepat.
“Kalau tanpa dibakar, butuh waktu 2 minggu bahkan satu bulan baru lahan bersih dari gulma,” kata Des.
Musim hujan di Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya berkisar 2-3 bulan setiap tahun. Biasanya musim hujan berlangsung antara Oktober hingga Januari. Meski dalam 4 tahun terakhir, musim hujan sudah tidak menentu datangnya.
Menurut Manager Area Yayasan SHEEP Indonesia cabang Kupang, Rossi Yunior Nugroho, Desa Kairane memiliki potensi luar biasa tentang jagung lokal. Warga desa masih mempertahankan dan merawat bibit jagung lokal sebagai bentuk menjaga budaya mereka.
SHEEP memberikan pendampingan kepada para petani tentang cara bertanam yang efektif, pengelolaan bibit jagung, menanam hingga panen. Kemudian, melatih mereka untuk memberikan nilai tambah pada jagung lokal sebagai sumber penghasilan. Pendampingan ini agar petani Desa Kairane memiliki kemandirian sistem pangan berkelanjutan.
Rossi menjelaskan, SHEEP melakukan pendekatan kepada para petani dengan 3 tahapan yakni pengetahuan, kesadaran, dan perilaku.
“Sudah ada pengetahun, kesadaran harus melakukan apa, dan kemudian melakukan. Perilakunya berubah. Ini fokus kami dalam pendampingan,” kata Rossi kepada KatongNTT.
Baca juga: Antisipasi Krisis Pangan, Jokowi Soroti Jagung dan Sorgum di NTT
SHEEP juga membangun pemikiran kritis bahwa para petani tidak dalam keadaan baik-baik saja. Pemikiran kritis ini dikaitkan dengan rencana aksi nasional pemerintah masih di tahap ketahanan pangan, belum sampai pada kemandirian pangan, bahkan jauh dari kedaulatan pangan.
Yang menjadi tanda tanya adalah munculnya konstruksi sosial di kalangan masyarakat petani bahwa yang makan jagung adalah orang miskin. “Makan beras orang modern,” ujarnya. Imej ini seiring dengan warga NTT yang mulai terpapar gaya hidup makanan instan dengan beragam jenis dan rasa. Cara memasaknya pun mudah.
Orang-orang muda NTT yang merantau mengimitasi gaya hidup kota saat mereka pulang kampung dengan menyajikan makanan serba instan. Padahal kandungan gizinya minim.
Para petani jagung lokal Desa Kairane memilih untuk fokus merawat bibit jagung lokal. Beberapa warga ada yang menanam jagung hibrida disamping jagung lokal, namun itu semata-mata untuk dijual atau dikonsumsi hewan ternaknya.
Supaya upaya para petani ini dapat berkelanjutan, SHEEP sedang mendorong ada kebijakan pemerintah daerah NTT untuk melindungi bibit pangan lokal. Misalnya ada peraturan pemerintah agar setiap desa merawat bibit pangan lokal. Produknya harus cukup untuk dikonsumsi masyarakat baru yang tersisa boleh dijual.
Selain itu, pemerintah daerah NTT tidak membiarkan masyarakat petani yang membentuk UMKM bertarung sendirian di pasar dalam menjual produk pangan lokalnya. “Perlu campur tangan pemerintah,” tegas Rossi.
Dia berharap para petani Desa Kairane di Kecamatan Amibi Oefeto, Kabupaten Kupang dapat menjadi agen perubahan untuk merawat dan menjaga bibit pangan lokal di NTT. [**]
Arikel ini diproduksi sebagai bagian dari proyek Women Media Collabs (https://jurnalisme.id/womenmediacollabs/) didukung oleh UNDP Indonesia