Kupang – Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa dan bahasa nasional menjadi bahasa pengantar yang digunakan dalam pembelajaran. Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia pada lembaga pendidikan diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kemudian aturan turunannya adalah Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
Badan Pusat Statistik pada 2010 mencatat, hanya 19,9 persen masyarakat Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa Ibu. Ada lebih dari 16 juta orang yang tidak mengerti bahasa Indonesia. 22,8 persen dari jumlah tersebut merupakan anak usia 5-9 tahun, dimana mereka adalah anak-anak yang berstatus siswa kelas 1, 2 dan 3 pada jenjang pendidikan dasar atau SD.
Ruhenda (2013) mengatakan, bahasa Ibu memiliki peran penting sebagai instrumen dalam proses pemerolehan bahasa bagi anak usia dini. Dengan bahasa Ibu, dapat mengembangkan beberapa aspek perkembangan anak seperti kognitif, perkembangan bahasa dan aspek emosional.
Lembaga pendidikan di Indonesia termasuk di Nusa Tenggara Timur (NTT) menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran. Melansir ANTARA, Pemerintah NTT menyebut sebanyak 1,3 juta anak di NTT belum bisa berbahasa Indonesia.
Utami (2018) mengatakan, penggunaan bahasa Ibu sebagai bahasa pengantar pembelajaran, mendorong peningkatan penyerapan materi pembelajaran pada kemapuan kognitif, terutama dalam berpikir logis. Berpikir logis yang dimaksudkan oleh Utami adalah kemampuan penempatan benda berdasarkan ukuran.
Haerunnisa, Guru SMP Negeri 9 Soromandi Satap, adalah salah satu fasilitator program INOVASI di Kabupatem Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Haerunnisa mengatakan, awal pendampingan pada 2017, banyak siswa di sekolah dampingan, khusus kelas awal, hanya bisa berbahasa Mbojo, bahasa daerah mereka.
Para guru dalam belajar menggunakan metode bahasa pengantar itu dicampur, antara bahasa Ibu dan bahasa Indonesia. Sebelum mendapatkan pendampingan, para guru juga mengalami kesulitan dalam menentukan bahasa pengantar yang efektif digunakan dalam pembelajaran. Penggunaan bahasa pengantar yang belum efektif ini, kata Haerunnisa, berpengaruh dalam optimalisasi pembelajaran termasuk literasi dasar.
“Bapak Ibu guru, termasuk Kepala Sekolah dan Dinas masih menganggap bahasa pengantar bukan menjadi isu yang penting dalam proses pembelajaran sehingga belum menjadi perhatian waktu itu,” kata Haerunnisa dalam Temu Inovasi NTT dengan tema Aktualisasi Merdeka Belajar: Pemanfaatan Bahasa Ibu dalam Pembelajaran bagi Siswa Penutur Bahasa Tunggal, Selasa (8/3/2022).
Haerunnisa mengatakan, sebelum mendapatkan intervensi dari INOVASI, guru-guru berpikir akan menerjemahkan secara harafiah apa yang akan dipelajari. Tetapi setelah didampingi, guru-guru paham bahwa ada metode dan strategi yang bisa digunakan. Seperti membuat peta dalam dua bahasa, menggunakan bahasa Ibu dan bahasa Indonesia.

Petrus Buku, Pengawas SD, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nagekeo, mengatakan kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah yang ada di Nagekeo masih menggunakan metode mencatat yang konvensional.
Tim Manajemen Penyusunan Kurikulum (TMPK) melakukan survei ke sekolah-sekolah di Nagekeo. Survei dilakukan langsung pada siswa kelas 1,2 dan 3. Apabila dalam hasil survei ditemukan lebih dari 80 persen siswa di kelas tersebut menggunakan bahasa daerah, maka sekolah tersebut dipilih sebagai pilot project pelaksanaan konsep belajar menggunakan bahasa Ibu.
“ Ada 10 sekolah di Kecamatan Boawae yang terpilih sebagai sekolah yang akan melaksanakan pilot project ini,” ujar Petrus.
Guru-guru, Kepala Sekolah dan Ketua Komite diundang mengikuti pelatihan tentang bagaimana membuat RPP Pembelajaran, konsep belajar,penggunaan metode belajar variatif dan pembuatan serta penggunaan media belajar. Guru-guru juga mengikuti simulasi pembelajaran dengan konsep penggunaan bahasa Ibu sebagai bahasa transisi di kelas awal.
Setlah mengikuti kegiatan, 3 minggu kemudian, tim TMPK turun ke sekolah-sekolah melakukan monitoring dan evaluasi terkait penerapan metode pembelajaran. Tim TMPK, kata Petrus, juga melakukan assesment terkait hasil belajar siswa terhadap target yang ditentukan.
“Siswa di dalam kelas itu sungguh aktif, mereka sungguh termotivasi, minat belajarnya semakin tinggi hal itu karena Bapak Ibu guru menggunakan bahasa Ibu sebagai bahasa pembelajaran. Mereka lebih mudah memahami isi atau konteks pembelajarana,” jelas Petrus.
Petrus mengatakan, pembelajaran dalam kelas juga semakin kontekstual. Proses belajar mengenal huruf pun tidak harus dimulai dari huruf vokal. Tim TMPK mengumpulkan cerita-cerita rakyat setempat kemudian melihat huruf yang paling banyak muncul dalam cerita rakyat. Huruf-huruf itu yang kemudian diajarkan lebih dulu. Selain itu, siswa diajak menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Ibu yang menggugah minat belajar anak.
Annur Kusniyati, seorang guru di SD Negeri Padike IV, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur menerapkan konsep belajar menggunakan bahasa transisi. Meski tidak mengikuti program INOVASI, Annur menerapakan konsep itu setelah melakukan evaluasi terhadap kondisi siswa di kelasnya.
Annur membuat berbagai media pembelajaran yang menggunakan konsep dua bahasa. Hasilnya siswa menerima dengan baik, bahkan siswa diberikan kesempatan menjelaskan kembali apa yang dijelaskan olehnya dan itu dilakukan dengan baik oleh siswa.
“Yang lebih menarik, dengan menggunakan big book dwi bahasa ini, bahasa Indonesia dan bahasa Madura, siswa saya lebih baik dalam berbahsa Indonesia dan sebelum masuk kelas yang lebih tinggi, dia sudah punya modal,” jelas Annur. (Joe )