Oleh: Tonnio Irnawan, Pembaca buku sejarah
Saya memiliki puluhan buku mengenai peristiwa Tragedi 1965 (GESTOK) khususnya tentang dimana Presiden Sukarno. Enam buku di antaranya merekam kesaksian orang mengetahui langsung keberadaan Presiden Sukarno pada malam 30 September 1965 hingga keesokan hari. Sebagian besar buku koleksi saya memang menjawab pertanyaan, namun mengutip dari sumber lain (catatan kaki).
Tentu ada buku lain yang merupakan kesaksian langsung tapi koleksi buku saya terbatas. Dari kesaksian di bawah ini kita menemukan fakta yang sama tentang di mana Presiden Sukarno pada malam 30 September 1965 hingga keesokan siang.
1. Buku “Hariyatie Soekarno The Hidden Story”, Grasindo, Jakarta, 2001.
Kamis malam, 30 September 1965 Hariyatie mendampingi Presiden Sukarno menghadiri Musyawarah Nasional Teknik (munastek) di istora Senayan, Jakarta. Acara selesai pukul 23.00 WIB. Hariyatie langsung pulang ke rumahnya di Slipi dan presiden ke istana.
Setelah itu presiden menelepon Hariyatie dalam bahasa Jawa. Terjemahannya :”Kamu tidak usah menunggu aku malam ini. Aku tidak dapat cepat datang. Tidurlah dulu. Di luar suasananya agak kurang menyenangkan.”
Hariyatie tidak bertanya saat itu Presiden ada di mana. Ia juga tidak bertanya apa yang suaminya maksud ‘suasana agak kurang menyenangkan’. Namun ia khawatir dan menelepon istana. Hubungan telepon ke istana sudah terputus.
Pagi – pagi benar pada Jumat, 1 Oktober 1965 Hariyatie kaget karena Presiden datang. Dalam buku ini, Hariyatie tidak menyebut pukul berapa. Wajah presiden tampak bingung tidak tahu apa yang sedang terjadi. “Ana apa to, ana apa iki?,” kata Presiden kepada isterinya.
Menurut Hariyatie jelas terlihat bapak nervous. Pagi itu Presiden didampingi Kolonel Maulwi Saelan dan AkBP Mangil. Presiden hanya 2 jam di rumah Slipi. Saat itu beberapa orang seperti Jaksa Agung – Jenderal Sunaryo, ajudan presiden – Kombes Sumirat menemui Presiden Sukarno. Mereka menanyakan berita mengenai Yani, Nasution dan berita-berita terbaru.
“Mas tindak dulu” (Mas pergi dulu), Presiden pamit pada isterinya. Lantas Presiden pergi dengan mobil VW B 75177 warna biru laut disupiri oleh Soeparto. Sebelum pergi antara lain Presiden berpesan “Pokoknya mas mau pergi. Entah mau dibawa ke mana oleh anak-anak ini.” Yang dimaksud anak-anak adalah ajudan dan para pengawal.
2. Buku “Sewindu Dekat Bung Karno” oleh Bambang Widjanarko. Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1988. Ajudan Presiden Sukarno ini menceritakan apa yang dialami malam 30 September 1965 dan pagi 1 Oktober 1965. Pada 30 September 1965 sekitar pukul 11.00 malam acara Presiden selesai. Presiden melaporkan urutan acara untuk esok hari. Salah satu acara adalah minum kopi pukul 07.00 WIB sambil menerima Wakil Perdana Menteri – J.Leimena dan Panglima Angkatan Darat – Letjend Ahmad Yani.
Setelah melapor, Kolonel KKO Geraldus Bambang Widjanarko menuju kantor ajudan yang berada dalam kompleks istana. Pukul 24.00 WIB ia pulang ke rumah dan tidur sekitar pukul 01.00 WIB dinihari.
Pada 1 Oktober 1965 sebelum pukul 07.00 WIB Bambang sudah berada di Parkir Timur Senayan untuk bertugas sesuai jadwal. Pagi itu akan diadakan gladi resik untuk upacara peringatan HUT ABRI 5 Oktober 1965. Waktu sedang istirahat latihan ia pertama kali mendengar informasi penculikan perwira AD.
Singkat cerita, Bambang meninggalkan Senayan menuju istana dan dia menyaksikan kelompok pasukan bersenjata yang tidak dikenalnya mengelilingi jalan di istana. Di istana ia tak melihat ajudan on duty – Kolonel Sumirat. Begitu melihat Bambang, tamu yang ada termasuk Leimena menanyakan keberadaan Presiden. “Bambang, bapak ada di mana?” Bambang menjawab ia tidak tahu karena tadi berada di Senayan.
Ia lalu menelepon ke rumah Dewi di Jl.Gatot Subroto dan ke rumah Haryatie di Slipi Di sana Presiden tak ada.
Bambang berhasil menghubungi Kol.Sumirat yang berada dalam kendaraan di jalan. Bambang minta rekannya singgah di istana karena ia ingin bergabung dengan Presiden. Di istana tinggal dirinya, Leimena, dan Kolonel Suparjo Rustam. Sumirat tiba di istana dan mengatakan Presiden ada di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah. Bambang dan Sumirat menuju Halim.
Menurut Sumirat ia diperintahkan Presiden memanggil semua panglima angkatan dan Pangdam V Jaya menghadap Presiden di Halim. Sumirat dan Bambang mampir di markas Kodam V. Pangdam V – Umar Wirahadikusumah tidak ada di markas. Umar sedang ke markas Kostrad menghadap Pangkostrad – Mayjen Soeharto.
Sumirat dan Bambang menuju markas Kostrad. Soeharo mengatakan Pangdam Jaya tidak dapat menghadap Presiden. Oleh karena Panglima AD tidak ada di tempat, harap semua instruksi untuk AD disampaikan melalui Soeharto. Lalu Sumirat dan Bambang menuju Halim Presiden berada di rumah seorang perwira AURI. Bambang melapor kepada Presiden. Di Halim, Bambang bertemu dengan Sabur, Saelan, dan Mangil.
Dari Sumirat, Bambang mendapat informasi bahwa pada dinihari 1 Okober 1965, Sukarno menginap di rumah salah seorang isterinya yakni Ratna Sari Dewi di Jl.Gatot Subroto. Presiden menuju istana pada jam 6 pagi, namun di tengah perjalanan Mangil menerima info dari Saelan bahwa istana dikepung pasukan tak dikenal. Saelan minta Presiden jangan ke istana. Sumirat menbawa Presiden ke rumah Haryatie di Slipi.
3.”Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno” penyunting Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo. Penerbit Hasta Mitra, Jakarta, 1995.
Oei adalah Menteri Negeri Diperbantukan Presidium Kabinet Kerja. Pada 28 September 1965 malam Oei tiba di Jakarta dari Hongkong. Malam itu juga ia menelepon istana untuk menghadap Presiden esoknya. Agendanya Oei akan melaporkan hasil kunjungan ke Hongkong. Karena acara Presiden pada 29 September sudah penuh, Oei diminta datang esok harinya yakni 30 September 1965.
Pada 30 September 1965 Oei bertemu Presiden dalam acara koffie uurtje. Menurut Oei, suasana pagi itu biasa-biasa saja. Hari itu Oei dapat undangan dari istana menghadiri rapat umum di Senayan dan salah seorang pembicaranya adalah Presiden. Oei tak hadir.
Pada 1 Oktober sekitar pukul 09.00 WIB sewaktu siap berangkat ke kantor, sekretarisnya melapor telah terjadi pengambilan paksa beberapa jenderal. Mendengar laporan ini Oei segera ke rumah Wakil Perdana Menteri II – dr.Leimena yang berada tak jauh dari rumahnya. Di halaman rumah beberapa tentara berikat leher merah berjaga-jaga. Ternyata Leimena sudah meninggalkan rumah. Istrinya tak tahu di mana Leimena saat itu.
Oei langsung ke istana tapi tentara tak mengizinkannya masuk. Mereka mengatakan Presiden tidak ada di istana. Lalu Oei pergi ke rumah Panglima AURI – Laksamana Madya Omar Dani di Kebayoran Baru. Oei hanya bertemu dengan istri Omar Dani yang tak tahu suaminya pergj ke mana. Oei menelepon istana dan menerima informasi bahwa Presiden, Leimena, dan Omar Dani berada dalam satu tempat dalam keadaan selamat. Istana tidak mau menyebutkan di mana mereka berada.
4. “Gerakan 30 September 1965 Kesaksian Letkol (Pnb) Heru Atmodjo.” Editor Garda Sembiring dan Harsono Sutedjo. Diterbitkan oleh People’s Empowerment Consortium, Jakarta 2004.
Kamis, 30 September 1965 pukul 16.00 WIB Heru Atmodjo datang ke rumah Omar Dani di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru. Kepada Panglima AURI ini, Heru menyampaikan laporan berdasarkan informasi dari Mayor Udara Sujono bahwa malam nanti perwira-perwira AD akan menangkap para jenderal Angkatan Darat. Setelah menerima laporan ini, Omar memerintahkan Heru menemui Brigjen Supardjo untuk mendapatkan keterangan mengenai tujuan gerakan.
Jumat, 1 Oktober 1965 sebelum mentari terbit, dari rumahnya di Jl. Cipinang Cempedak II/52 di Polonia, Jakarta Timur, Direktur Intelijen AURI – Letkol Heru Atmodjo ke Kantor Penas di Kebun Nanas, Jakarta Timur. Jarak rumah Heru dengan Penas tidak jauh. Pukul 05.00 WIB ia sudah tiba di Penas dan bertemu Brigjen Supardjo. Kepada Supardjo, Heru menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi dan apa tujuan gerakan ini. Heru juga menanyakan keselamatan Presiden. Heru diperkenalkan dengan Kolonel Latief, Mayor Sujono, dan Letkol Untung. Setelah itu Supardjo mengajak Heru meninggalkan Penas.
Singkat cerita pukul 08.30 WIB Heru Atmodjo menghadap Pangau – Laksmana Madya – Omar Dani di Halim. Heru melaporkan telah bertemu dengan Brigjen Supardjo tadi pagi di Kantor Penas. Heru melaporkan Brigjen Supardjo kini di istana, namun presiden tidak ada. Omar Dani langsung mengatakan Presiden akan ke Halim.
5. “TUHAN, Pergunakan Hati, Pikiran dan Tanganku, Pledoi Omar Dani.” Penulis : Benedicta A.Surodjo dan JMV Soeparno. Diterbitkan oleh ISAI, Jakarta, 2001.
Tengah malam 30 September 1965 bersama ajudannya, Omar Dani berangkat ke Markas Koops di Halim. Di perjalanan tidak dijumpai sesuatu yang mencurigakan. Aman dan sunyi. Di Markas Koops, Omar karena lelah ingin beristirahat. Omar berpesan kepada ajudannya agar dibangunkan pada pukul 06.00 WIB, Sekitar pukul 06.00 WIB, ajudan membangunkannya.
Pada jam 07.00 WIB siaran berita RRI menyiarkan telah terjadi penculikan para jenderal. Spontan Omar berkata,” Lho kok sama dengan yang dilaporkan oleh Heru Atmadjo kemarin sore”.
Sejam kemudian Omar Dani menerima telepon dari Letkol Soeparto mengabarkan sebentar lagi Presiden akan berkunjung incognito ke Pangkalan Angkatan Udara Halim. Sekitar pukul 08.30 WIB mobil VW Kodok dan satu jeep memasuki halaman depan. Presiden turun dari VW Kodok. Presiden disertai antara lain oleh Kolonel CPM Maulwi Saelan AKBP Mangil, Kombes Pol. Sumirat serta Letkol Soeparto yang menjadi sopir VW Kodok. Omar Dani dan Panglima Koops – Komodor Leo Wattiwena menyambut Presiden.
Menurut kesaksian Omar Dani, Presiden memerintahkan Sumirat memanggil sejumlah pejabat sipil dan militer datang ke Halim menghadapnya. Mulai pukul 12.00 WIB pejabat yang dipanggil mulai tiba di Halim. Ajudan Presiden – Bambang Widjanarko juga datang. Hanya satu yang tak datang yakni Pangdam V Jaya – Mayjen Umar Wirahadikusumah padahal dia yang bertanggung jawab soal keamanan Jakarta.
6.”Menyimak Tabir Orde Baru : Memoar Politik Indonesia 1965 – 1998″. Penulis : Jusuf Wanandi. Diterbitkan oleh : Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2014.
1 Oktober 1965 pagi Jusuf Wanandi dalam perjalanan menuju Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Dari Harry Tjan yang bersamanya, Jusuf mendengar siaran berita RRI tentang kejadian dini hari tadi. Pukul 11.00 WIB. Jusuf menuju ke istana mencari tahu apakah Presiden Sukarno ada di istana. Karena ia bekerja sebagai staf Dewan Pertimbangan Agung, sehingga Jusuf punya akses masuk ke istana.
Di kompleks istana Jusuf bertemu Djamin sekretaris Presiden. Jusuf bertanya ke mana Presiden. “Saya tidak tahu, tapi pastilah dia berada di tempat yang aman. Kalau kamu bertanya di mana, saya tidak tahu,” jawab Djamin. Jusuf yakin Presiden tak ada di istana pagi itu karena istana tampak kosong kecuali ada beberapa tentara di sekitarnya.
Mereka yang disebut dalam buku ini mengalami langsung kejadian malam30 September 1965 hingga keesokan siang . Hasil penjelasan mereka menunjukkan adanya kesamaan satu dengan lainny tentang keberadaan Presidenn Sukarno dalam tragedy 1965. *****