
Ganasnya Ekspansi Bisnis Retail di NTT
Oleh: Maria Vabiola Unu De Guadalupe Tallan
(Mahasiswi Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Pegiat Rumah Belajar Bokesan-NTT, Yogya)
Predikat maju tidaknya suatu daerah terkadang didasarkan oleh standar-standar yang kurang rasional dalam akumulasi perhitungannya. Salah satu standar itu adalah banyaknya bisnis ritel modern skala besar di suatu daerah.
Semakin banyak ritel modern yang dibangun di suatu daerah, banyak pihak dengan cepat berpendapat bahwa kemajuan daerah itu semakin besar. Nyatanya tidak sesederhana itu. Justru bisa saja kebalikannya. Banyak uang segar dari suatu daerah akan langsung tersedot ke pusat ritel. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) akan langsung kolaps.
Demikian saripati diskusi publik, Komunitas Rumah Belajar Bokesan-NTT, Yogyakarta dengan beberapa pembicara, antara lain; Marianus Saldanha (Dosen FE Undana, Kupang), Noviani Ivon Sulaiman (Entrepreneur dan Ketua Asosiasi UMKM Naik Kelas, Kota Atambua), Redemtus Deda (UNY Yogya, peneliti Tomira), dan Rosni Seriang (FE Universitas Sanata Dharma).
Diskusi ini dilengkapi dengan tanggapan epistemik dari dua akademisi, Frans Agustinus Djalong (Fisipol UGM) dan Raymundus R.L. Raki (STPM Sta. Ursula, Ende). Keseluruhan acara dipandu Ranti Minanga (Farmasi Universitas Sanata Dharma)
Diskusi mencoba membongkar pemaknaan keliru mengenai bisnis ritel yang sudah merebak hingga titik-titik periferi di NTT. Bisnis ritel sendiri dikenal sebagai kegiatan usaha yang melibatkan transaksi penjualan barang atau jasa kepada konsumen dalam jumlah satuan maupun eceran. Hal ini untuk dikonsumsi pribadi dan tidak diperjualbelikan kembali.
Bisnis ritel sendiri dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu Ritel Tradisional dan Ritel Modern. Ritel tradisional adalah bentuk kegiatan usaha yang dalam pengelolaannya masih mengadaptasi cara-cara tradisional dan konvensional, seperti pemasaran dan pendistribusiannya. Contohnya, kios-kios eceran dan pasar tradisional. Selanjutnya, Pasar Modern, Pasar Swalayan, Department Store, Speciality Store, Trade Centre, dan Mall/Supermall/Plaza adalah bentuk-bentuk ritel moderen.
Dalam pengoperasian kegiatan usahanya, ritel moderen telah menggunakan cara-cara yang lebih adaptatif dan telah memanfaaatkan penggunaan teknologi dalam kegiatan pemasaran dan pendistribusiannya. Berkembangnya bisnis ritel modern ini didukung oleh pesatnya perkembangan perekonomian, teknologi, dan gaya hidup masyarakat khususnya di pusat-pusat urban.
Akan tetapi, hadirnya ritel-ritel moderen ini langsung dapat menjadi ancaman bagi keberadaan ritel-ritel tradisional. Dapat dibayangkan bahwa karena sifat menajemen ekonominya yang masih sangat sederhana dan konvensional, ritel-ritel tradisional akan kalah bersaing. Ritel modern datang dengan berbagai kemewahannya. Misalnya, orang lebih senang datang dan berbelanja di swalawan seperti Alfamart atau Indomaret ketimbang berbelanja di kios-kios kecil.
Jika ditelusuri lebih lanjut, dari segi kelengkapan, belum tentu kios-kios kecil menyediakan segala kebutuhan konsumen seperti yang ditawarkan oleh swalayan-swalayan tersebut. Selanjutnya, kios-kios kecil ini juga tidak dapat menyediakan kenyamanan seperti yang ditawarkan oleh swalayan. Misalnya dengan ketersediaan tempat duduk, penerangan yang memadai, AC yang menyejukkan, dan masih banyak lagi. Hal ini kemudian membuat konsumen kios-kios kecil beralih menjadi pengunjung setia ritel-ritel moderen yang ada.
Bahayanya adalah pada saat ini bisnis ritel moderen telah menguasai dunia peritelan di Indonesia. Salah satu contohnya yaitu Indomaret yang sudah hampir menguasai pasar ekonomi di Indonesia. Indomaret memiliki jaringan minimarket dengan jumlah gerai terbanyak yang dibuntuti Alfamart. Bagaimana tidak, jumlah gerai jaringan Indomaret pada tahun 2008 saja telah mencapai 3.116 unit, yang mana 30,3% dari total jumlah gerai ritel moderen minimarket di Indonesia.
Alfamart menempati posisi ritel modern minimarket terbanyak kedua yaitu dengan jumlah gerainya 2.755 unit. Angka ini setara dengan 26,8% dari total jumlah gerai minimarket di Indonesia, termasuk wilayah Indonesia Timur, salah satunya NTT. Misalnya, pada tahun 2022 sudah terdapat 22 unit toko di kabupaten Ende, puluhan di Maumere, puluhan di Kota dan Kabupaten Kupang, termasuk beberapa toko baru di TTU dan Belu. Selanjutnya, bisa dipastikan di setiap wilayah kabupaten NTT bisnis ritel tersebut akan memperluas ekspansinya.
Ekspansi ini akan mengunci perputaran uang segar karena dengan organisasi dan pengelolaan yang terpadu, kabupaten-kabupaten di NTT yang minus industri besar akan langsung merasakan ketiadaan uang segar akibat perputaran uang yang begitu singkat. Waktu yang singkat dan perputaran dengan rentang kendali yang kecil menyebabkan daya beli akan menjadi lesu dan indeks harga makin melambung. Masyarakat akan terpinggirkan dari proses transaksi ekonomi dan relasi sosial.
Pesatnya pembangunan gerai-gerai ritel moderen ini didukung dengan wacana yang berkembang bahwa dengan adanya bisnis ritel, maka lapangan pekerjaan akan semakin besar, pendapatan asli daerah akan meningkat, barang-barang akan lebih terjangkau dan masih banyak lagi.
Wacana ini kemudian menggiurkan sebagian besar masyarakat. Sehingga seolah-olah lupa bahwa ini hanyalah iming-iming dari pihak tertentu yang akan terus mengambil keuntungan lebih besar dengan hadirnya bisnis-bisnis ritel mereka. Kebijakan ekonomi khususnya di sektor publik terkadang mengabaikan posisi sosiologis ini. Ketika, predasi di level transaksi ikut terbawa dalam ukuran-ukuran kesenjangan.
Untuk melihat seberapa bahayanya ekspansi retel-ritel modern khususnya di Wilayah Nusa Tenggara Timur, kita perlu melihat siapakah sesungguhnya yang mendapatkan keuntungan terbesar dari operasi bisnis tersebut? Seberapa rentan posisi para pelaku bisnis di daerah karena kehadiran bisnis ritel? Dan sejauh mana ekspansi bisnis ritel ini mengganggu interaksi dan ikatan sosial yang terbentuk melalui relasi ekonomi yang lebih organik?
Siapakah sesungguhnya yang mendapatkan keuntungan terbesar dari hadirnya berbagai bisnis ritel modern ini? Tentu saja bukan masyarakat kecil atau phak-pihak yang memiliki kepentingan di dalamnya. Misalnya pemilik ritel itu sendiri, para pemangku kebijakan boleh jadi adalah kelompok besar yang mungkin akan mendapatkan suntikan dana demi kepentingan perizinan. Tentunya tentakel bisnis dan relasi para pemilik ritel dengan masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Sebaliknya, masyarakat kecil seperti para pemilik kios-kios kecil akan sangat terancam keberadaannya, karena ritel-ritel ini akan menarik hampir seluruh pangsa pasarnya. Berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya, seberapa rentan posisi para pelaku bisnis di daerah karena kehadiran bisnis ritel? Jawabannya adalah sangat rentan. Contohnya, dapat dibayangkan dengan kehadiran ritel modern seperti Alfamart dan Indomaret saja, masyarakat lokal telah kalah bersaing. Ini karena keterbatasan sumber daya jika dibandingkan dengan bisnis-bisnis ritel ini.
Bukan hanya itu, uang yang dibelanjakan juga tidak dapat berputar di dalam daerah melainkan akan dibawa keluar. Sehingga tidak hanya pelaku usaha lokal yang akan mengalami dampak buruknya, melainkan seluruh masyarakat dalam suatu daerah yang sudah dikuasai ekonominya oleh ritel-ritel modern seperti ini. Dengan demikian, yang akan terjadi adalah kesenjangan sosal ekonomi yang terus menggerogoti kehidupan masyarakat lokal.
Sejauh mana ekspansi bisnis ritel ini mengganggu interaksi dan ikatan sosial yang terbentuk melalui relasi ekonomi yang lebih organik? Tentu saja sangat menganggu kehidupan sosial masyarakat yang memiliki orientasi relasi yang konvensional. Bagaimana mungkin? Sangat mungkin. Dengan semakin banyaknya konsumen yang beralih dari ritel tradisional ke ritel-ritel modern, relasi sosiologis para pelaku ekonomi seperti penjual dan pembeli pada ritel tradisional menjadi semakin renggang dan tegang. Ini akibat minimnya interkasi sosial. Misalnya, karena faktor kelengkapan tadi sehingga orang lebih senang dan memilih untuk berbelanja di minimarket seperti Alfamart, dari pada harus berbelanja di kios milik tetangganya. Alhasil lambat laun hubungan kekerabatan yang ada makin memudar dari waktu ke waktu.
Hal ini juga adalah akibat dari konstruk sosial yang makin merebak menuju orientasi neolib. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan masalah transaksi di ritel-ritel modern saat ini menjadi tren. Berbelanja di tempat-tempat tertentu seolah-olah memberi identitas dan status sosial yang lain untuk seseorang. Misalnya berbelanja di Hypermat diasosiasikan dengan status sosial ekonomi yang bagus. Sehingga masalah transaksi ini bukan lagi masalah ekonomi semata melainkan menjalar ke persoalan sosial dan psikologi sosial.
Lalu apa solusi yang dapat dilakukan melihat peroalan kompleks yang disebabkan oleh ekspansi ritel modern ini? Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan di antaranya dengan regulasi kebijakan dan pemberdayaan masyarakat lokal.
Regulasi melalui kebijakan dapat dilakukan dengan membuat dan menerapkan aturan yang lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Misalnya yang diberlakukan oleh kabupaten Kulon Progo yang inti kebijakannya adalah bisnis apapun itu yang ingin masuk ke daerah harus bekerja sama dengan segala komponen masyarakat. Misalnya dengan menerapkan prinsip kekeluargaan dalam pengelolaannya. Ini untuk menekan tingginya kemungkinan kesenjangan sosial ekonomi dengan adanya monopoli satu sektor, produk atau jasa.
Pemerintah juga dapat menjembatani usaha-usaha kecil dengan misalnya memberikan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan SDM. Misalnya pelatihan bagaimana memenajemen usaha yang baik, bagaimana promosi, pemasaran dan pendistribusian yang lebih efektif dan efisien.
Selanjutnya, pemerintah sebagai komponen yang lebih bertanggung jawab dapat bersinergi dengan beberapa pihak terkait. Misalnya dengan pemimpin-pemimpin kabupaten lain, dengan bank-bank lokal atau koperasi yang ada bekerja sama dalam menciptakan rantai produksi barang atau jasa. Hal ini dilakukan dengan memaksimalkan potensi yang ada di setiap daerah (keunggulan komparatif).
Sehingga tidak perlu mendatangkan SDM dari luar atau mengirim SDA ke luar. SDM diolah sendiri seperti yang terjadi dengan backwash effect dalam pembangunan ekonomi Indonesia hari-hari ini. Dengan demikian, ekonomi dan posisi lintas sektornya bisa lebih memberdayakan masyarakat. Hingga pada akhirnya kesejahteraan itu tidak menjadi abstrak lagi. *******