Oleh: Eddy J Soetopo
(Jurnalis senior, Sastrawan, Penulis Buku, Dewan Redaksi KatongNTT.com)
Bila Anda berkunjung ke Nusa Tenggara Timur (NTT) jangan kaget bertemu anak-anak muda berumur antara 8-23 tahun atau generasi Z menyesak-padati hampir di semua wilayah.
Persentase generasi Z –istilah dalam studi demografi modern– mencapai 34,72 persen. Kemudian disusul generasi Milenial berumur 24-39 tahun sebesar 2,07 persen. Menarik disimak efak domino fakta ini terhadap variable lain dalam dimensi pembangunan suatu daerah.
Bila dilihat besaran presentase, pertumbuhan sebaran generasi Z jelas lebih menakutkan dibandingkan dengan generasi Milenial. Meski generasi Z yang dimaksud bukan diartikan sebagai generasi zombie, tetapi memang perlu dan pantas diwaspadai keberadaannya.
Angka persentase kedua generasi tersebut merupakan hasil Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan BPS Provinsi NTT. Pada tahun 2020 jumlah NTT sebanyak 5,33 juta jiwa. Bisa dibayangkan berapa beratnya provinsi tersebut mampu menghambat laju pertumbuhan penduduk yang menjadi penyebab makin bertambahnya generasi “zombie” dimaksud.
Artinya bila dilihat angka peningkatan jumlah penduduk sebesar 0,64 juta jiwa dari tahun 2010, dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun (2010-2020) mencapai 2,07 persen, tentu tak bisa dipungkiri persentase generasi Z akan bertambah lagi di tahun berikutnya.
Mari kita tengok sebaran geografis jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di Kawasan Timor, Rote, Sabu dan Alor. Jumlah penduduk laki-laki di kawasan ini lebih banyak dibandingkan dengan penduduk perempuan, menempati 44,52 persen dari total penduduk NTT.
Ini artinya dominasi penduduk laki-laki sebanyak 2,37 juta jiwa, mayoritas merupakan generasi Z dan kaum milenial.
Peningkatan usia harapan hidup penduduk NTT mendorong ke atas peningkatan persentase penduduk lanjut usia atau lansia 60 tahun ke atas. Peningkatannya sebesar 7,5 persen pada tahun 2010.
Seharusnya pemerintah daerah telah ancang-ancang melihat fenomena faktual menghadapi persoalan masa transisi menuju era ageing population tahun kemarin. Misalnya, melalui program-program pencegahan kelahiran.
Tampaknya hal itu belum sepenuhnya disadari pejabat pembuat kebijakan program-program keluarga berencana yang bertujuan menekan angka kelahiran. Padahal lampu merah telah lama berkedip mengisyaratkan angka-angka kematian akibat kemelaratan. Bisa|jadi pertanda NTT dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Angka pertumbuhan usia lansia yang memiliki tingkat harapan hidup lebih panjang tidak sekedar dipahami sebagai angka statistik menyongsong era aging population. Tetapi lebih dari itu.
Angka harapan hidup lebih panjang, bisa saja ditafsirkan tingkat kehidupan masyarakat lebih terjamin dari sisi kecukupan gizi keluarga. Bahkan hingga memperpanjang rentang dapat menarik nafas lebih lama.
Akan tetapi sebaliknya bisa diartikan menambah panjang perseteruan memperebutkan kehidupan semakin sengit dengan generasi muda lainnya. Akibatnya, persaingan mempertahankan hidup di NTT agar tidak terjerembab menjadi miskin bisa jadi akan semakin kentara tahun depan. Tidaklah keliru bila NTT terkategori sebagai wilayah termiskin di Indonesia.
Apalagi bila ditelisik hasil Sensus Penduduk tahun 2020, tercatat jumlah penduduk laki-laki di NTT sebanyak 2.663.771 orang, atau 50,02 persen dari penduduk NTT. Sementara penduduk perempuannya 2.661.795 juta orang atau 49,98 persen dari penduduk NTT.
Lantas apa tindakan pemerintah provinsi untuk mengatasi hal seperti itu. Tidak ada kata lain, kecuali gubernur dan perangkat di daerah berupaya menarik investor yang bersedia menanam modal di NTT.
Pendekatan persuasif dan memerlukan lobi-lobi jangka panjang yang mesti segera dilakukan. Apalagi dalam waktu dekat track balapan motor GP, meski tidak berada dalam jangkauan terdekat, di Mandalika, toh tidak ada salahnya bila gubernur NTT mencari terobosan. Tujuannya agar imbas ekonomi balapan motor GP dapat merembet ke Nusa Tenggara Timur.