Jakarta – Impor garam nasional menunjukkan peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) digadang-gadang pemerintah bisa mengurangi impor garam industri secara bertahap.
Informasi yang dihimpun dalam sepekan terakhir menyebutkan impor garam tahun 2023 ini bakal melebihi angka 2,8 juta ton yang sebagian besar merupakan garam industri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia mengimpor garam 2,8 juta ton pada 2021. Seiring dengan peningkatan kebutuhan dan minimnya pasokan dari dalam negeri, impor garam tersebut bakal melonjak pada 2022 hingga 2023 nanti.
Saat ini, kebutuhan garam dalam negeri ini mencapai 4,4 juta ton pada tahun 2022, tetapi tidak bisa terbantu dengan produksi di dalam negeri yang hanya tercatat 863 ribu ton. Pada tahun 2019, produksi garam lokal mencapai 2,9 juta ton, kemudian pada 2020 turun menjadi 1,4 juta ton, dan kembali turun menjadi 1,09 juta ton pada 2021. Indonesia menduduki peringkat ketujuh dengan nilai impor garam sepanjang 2021 mencapai US$ 107,53 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun. Sedangkan importir garam tertinggi adalah Amerika Serikat yang mengimpor garam senilai US$ 826 juta.
Lalau bagaimana dengan garam dari NTT yang dikabarkan bisa memasok garam industri karena kualitas garam yang bagus?
Pada Rabu (21/8/2019) silam, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan panen perdana garam di Desa Nunkurus, Kabupaten Kupang, NTT. Panen yang dilakukan di atas lahan seluas 10 hektare itu menghasilkan 50 ton garam.
“Saya datang hanya ingin memastikan program garam di NTT sudah dimulai,” kata Jokowi saat itu.
Menurut Jokowi, potensi luas lahan garam di NTT mencapai 21 ribu hektare (ha). Dalam panen perdana di Nunkurus, sebenarnya merupakan tambak garam milik PTTimor Livestock Lestari yang sebelumnya merupakan eks-lahan milik PT Pangung Guna Ganda Semesta (PGGS).
Saat panen, Jokowi mengaku sudah ditunjukkan garam dari Madura, Surabaya dan Australia. Dibandingkan garam-garam itu, kata Jokowi, garam Kupang lebih bagus sehingga bisa masuk sebagai garam industri makanan dan rumah tangga. “Saya ditunjukkan beberapa perbandingan garam dari luar, dan garam di Kupang lebih bagus,” katanya seperti ditulis dalam laman https://setkab.go.id.
Sejak panen perdana tersebut, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dan pihak terkait guna merealisasikan rencana peningkatan produksi garam dari NTT. Investor pun diajak, berbagai tantangan dan kendala pun mulai muncul. Klaim potensi lahan puluhan ribu hektare (ha) ternyata tidak sesuai kenyataan. Inilah menjadi salah satu kendala untuk membuka tambak garam lebih luas.
Salah satu investor yang kemudian batal meneruskan usaha garam aadalah PT Tamaris Garam Industri. Pembatalan investasi pabrik garam di Timor Tengah Selatan karena persoalan lahan yang berlarut-larut.
Faktor lingkungan pun harus diakui belum dijalankan dengan baik. Dampak pembukaan dan perluasan tambak mendapatkan penolakan warga karena merusak ekosistem lainnya. Di sisi lain, harus diakui juga bahwa ada tarikan kepentingan dalam investasi tersebut. Upaya “tanam saham” dari berbagai kelompok pun tidak bisa dipungkiri. Investor memang sangat diperlukan untuk mendorong pembangunan NTT, namun harus diselaraskan dengan berbagai kepentingan lainnya. Jika tidak digarap dengan baik dan serius, harapan NTT secara bertahap menjadi pemasok garam nasional akan sulit tercapai. Sekadar gambaran, jika NTT bisa memasok 25 persen saja dari total impor garam 2021, maka ada dana Rp 400 miliar yang berputar di NTT terkait produksi garam tersebut. [Heri Soba]