Di Kabupaten Manggarai, seorang ayah kandung memperkosa anaknya karena didorong video porno yang ditonton dari telepon seluler dan merekam adegan bejatnya.
Kupang – Masalah kekerasan seksual anak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah di level mengkhawatirkan. Bentuk kekerasan seksual anak yang terbanyak adalah perkosaan dan percabulan. Dan, pelaku justru orang terdekat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Berdasarkan data yang diperoleh KatongNTT.com dari 4 lembaga yang menangani masalah kekerasan terhadap anak di NTT, dalam dua tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak terus terjadi. Bahkan, menurut Koordinator Kebijakan LBH Apik NTT, Dani Manu, kasus perkosaan dan percabulan anak marak di NTT pada tahun 2022.
“Percabulan maupun perkosaan marak di NTT dan dilakukan oleh orang tua. Itu yang sangat miris bagi kami,” kata Dhany kepada KatongNTT.com pada Juli lalu.
Sebagai perbandingan, pada Catatan Akhir Tahun 2021 menyebutkan, LBH Apik menangani 6 kasus perkosaan anak dan 6 kasus percabulan anak. Pada tahun 2021 diwarnai dengan kasus kekerasan berbasis online, berupa publikasi gambar dan video telanjang pacar yang tidak ingin melanjutkan hubungan pacaran dan bully online.
Memasuki pertengahan 2022, LBH Apik NTT sudah menangani beberapa kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Kualitas kejahatannya pun semakin brutal. Seperti terjadi di Kabupaten Manggarai, seorang ayah kandung memperkosa anaknya karena didorong video porno yang ditonton dari telepon selulernya. Istrinya baru mengetahui kelakuan bejat suaminya setelah tidak sengaja melihat galeri foto dan video di telepon seluler suaminya.
“Ada foto bugil dan video porno anaknya sementara melakukan hubungan seksual dengan ayahnya,” ujar Dani.
Kasus ini sedang dalam penanganan aparat kepolisian Manggarai dan LBH Apik NTT memberikan advokasi untuk korban.
Rumah Harapan GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) di tahun 2022 mencatat, setiap bulan lembaga ini menerima paling sedikit 2 kasus kekerasan seksual anak. Kejahatan ini disertai ancaman membunuh korban jika memberitahukan perbuatan bejat pelaku dan kekerasan fisik.
Ester Mantaon yang bekerja untuk Rumah Harapan GMIT menjelaskan, pihaknya sedang menangani kasus kekerasan seksual seorang anak putus sekolah. Pelakunya berprofesi pedagang. Modusnya, pelaku sering memberikan bantuan kepada korban dan keluarga korban yang perekonomiannya sulit.
Dia memanfaatkan “kemurahan hatinya” untuk melakukan kekerasan seksual terhadap korban. Hingga korban hamil dan menjadi perempuan simpanan pelaku.
“Si pelaku menanamkan jasa kepada keluarga korban,” kata Ester saat diwawancara KatongNTT.com Juli 2022.
Data Rumah Harapan GMIT merekam bahwa ancaman membunuh korban jika memberitahukan aksi bejatnya terbanyak disuarakan oleh pelaku sebagai orang terdekat korban. Misalnya ayah kandung, ayah tiri, kakek, paman, atau sepupu.
Kisah tak berperikemanusiaan ini terjadi di kawasan Oesapa, Kota Kupang tahun lalu. Seorang pria berprofesi sebagai nelayan memaksa anak perempuannya, 13 tahun, membuka aplikasi WeChat. Namun dia menolaknya.
Pria yang doyan mabuk dan berjudi ini terpapar film-film porno lewat aplikasi media sosial. Saat istrinya pulang kampung, pria berusia sekitar 40 tahun memperkosa anak kandungnya.
Menurut Ester, pria itu kemudian diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Istrinya meminta cerai dan membawa anaknya ke rumah orang tuanya di Pulau Rote.
Kekerasan seksual anak juga marak terjadi di Kabupaten Lembata. Maria Loka, 45 tahun sebagai pegiat perempuan dan anak di LSM Permata menuturkan, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam 3 tahun berturut-turut meningkat (2019-2021).
Berdasarkan data LSM Permata, jumlah kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak pada tahun 2019 sebanyak 4 kasus, 2020 naik menjadi 9 kasus, dan 2021 sebanyak 17 kasus. Ini artinya kenaikan hampir 2 kali lipat setiap tahunnya.
Satu kasus kekerasan seksual anak di Lembata menggambarkan kualitas kejahatan pelaku.

“Bapak tiri menyetubuhi anaknya dari tahun 2017 hingga 2020 baru ketahuan. Ketahuan karena adiknya ikut disetubuhi dan adiknya melaporkannya (ke polisi),” kata Maria saat dihubungi KatongNTT.com, 1 Agustus 2022.
Pelaku lebih dahulu memperkosa anaknya yang duduk di kelas 5 SD . Aksi bejadnya itu berlangsung hingga anak tirinya duduk di kelas 7. Pelaku melakukan pemerkosaan itu di rumahnya. Ironisnya, sang ibu tidak mengetahui aksi tak manusiawi suaminya.
Kedua kakak beradik itu kemudian menolak tinggal di rumah. Mereka memilih menginap di rumah tetangga. Hingga tetangganya bertanya mengapa mereka tidak mau tinggal di rumah.
“Adiknya bercerita dan kemudian didorong untuk melaporkan,” ujar Maria.
Pelaku kemudian diseret ke depan hukum dan dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Maria kecewa dengan hukuman yang menurutnya ringan, tidak sebanding dengan kejahatan yang dia lakukan terhadap dua anak tirinya.
“Saya kecewa dengan putusan ini,” ujar Maria.
Konten Porno dan Kemiskinan
Pagar makanan tanaman. Begitulah gambaran pelaku kekerasan terhadap anak yang marak terjadi di NTT. Pelaku layaknya predator memangsa anak kandung, anak tiri, cucu, atau keponakan sendiri. Para pelaku tanpa belas kasih memanipulasi situasi atau keadaan sebagai perangkap bagi sang anak.
Sebagian besar pelaku melakukan perkosaan dan percabulan terhadap anak-anak di ruang yang sulit diakses orang luar. Yakni di dalam rumah, ladang pertanian, bahkan di kandang hewan ternak. Pelaku kemudian memastikan tidak ada orang di sekitar lokasi yang dirancang untuk menjalankan aksi bejatnya.
“Bahkan dalam beberapa modusnya mereka sengaja meminta anaknya untuk mengurut badannya dan sebagainya sehingga kemudian terjadi pemaksaan itu,” kata Dani.
Pemicu kekerasan seksual itu menurut Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik, Ester Ahaswati Day di antaranya kemiskinan. Kemudian maraknya konten porno yang mudah diakses melalui telepon seluler, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perceraian, dan minuman keras (miras).
Ester menjelaskan, kemiskinan telah membuat keluarga tidak memiliki rumah yang layak untuk tinggal. Rumah hanya memiliki satu kamar tidur dan tidak ada ruang privasi bagi suami istri. Kemiskinan mendorong suami atau istri bekerja sebagai imigran keluar negeri. Anak mereka tinggal bersama sanak saudara. Dalam situasi begini, pengawasan terhadap anak menjadi lemah.
Para pelaku yang merupakan orang dekat si anak menarget anak tanpa perlindungan orang tua sebagai pelampiasan nafsu bejatnya. Apalagi dipicu kebiasaan pria di NTT mengkonsumsi miras dan maraknya konten porno.
Menurut Dani, moralitas orang tua menjadi persoalan penting di NTT setelah banyak pelaku justru orangtua korban. Dari data ini, sepertinya tidak ada lagi ruang aman bagi anak untuk berlindung. Rumah tidak lagi menjanjikan perlindungan dan keamanan bagi anak-anak di NTT.

Penyelesaian Damai
Sudah umum terjadi ketika anak-anak di NTT mengalami perkosaan atau percabulan, orang tua atau keluarga berusaha menutupinya karena dianggap aib. Tabu untuk dibicarakan dengan orang luar. Keluarga pelaku memanfaatkan anggapan keluarga korban untuk mendorong dilakukan penyelesaian damai. Misalnya dengan memberikan ganti rugi atau janji menikahi korban. Pelaku berupaya lepas dari tuntutan hukum.
Rumah Harapan GMIT menemukan banyak keluarga atau orang-orang terdekat korban meminta penyelesaian di luar pengadilan. Namun, kata Ester, keluarga korban diberikan pemahaman bahwa penyelesaian damai untuk masalah kekerasan seksual anak dilarang.
“Kami sampaikan di kampung-kampung, kami memberikan pemahaman bahwa yang namanya anak, tidak ada penyelesaian di luar pengadilan,” ujar Ester.
Rumah Harapan GMIT menginformasikan kepada masyarakat tentang Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang ini bahkan memperberat hukuman pelaku jika dia merupakan orang-orang dekat korban. Yakni menambah 1/3 dari ancaman hukuman yang diatur dalam undang-undang tersebut .
Dan bagi pelaku berusia di atas 12 tahun, dapat diproses hukum. Jika pelakunya di atas 14 tahun dapat menjalani hukuman pidana.
“Karena itu tidak ada alasan upaya damai dilakukan. Apalagi pelakunya orang dekat korban, itu ancaman pidananya ditambah 1/3,” kata Ester.
Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022 menekankan segala hal yang berhubungan dengan kekerasan seksual itu tidak bisa dilakukan restorative justice atau upaya penyelesaian masalah diluar pengadilan.
Ironisnya, di tataran aparat pemerintah mulai dari terkecil yakni RT, RW dan kepala desa/lurah masih beranggapan bahwa kekerasan seksual anak sebagai masalah domestik. Mereka menilai kekerasan seksual anak sebagai urusan rumah tangga, bukan urusan masyarakat. Sehingga RT menganggap dirinya tidak wajib untuk terlibat di dalam masalah yang dialami warganya.
Pemerintah sendiri bahkan turut menganjurkan agar kasus-kasus kekerasan seksual anak diselesaikan secara damai.
Korban hanya dipandang sebagai objek tak punya hak untuk menyuarakan pendapatnya. Tak ada empati tentang kehancuran mental dan masa kini serta masa depan anak.
Minim Keberpihakan Pemerintah Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Provinsi NTT belum membuat kebijakan khusus untuk melindungi anak dan perempuan dari tindak kekerasan seksual. Menurut Dani, yang terjadi adalah Dinas dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menangani isu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) lebih banyak mendapatkan program dari pusat.
“Pusat yang lebih giat melaksanakan itu melalui dana dekonsentrasi dan sebagainya. Tetapi keberpihakan pemerintah daerah melalui alokasi anggaran masih sangat minim,” ujar Dani.
Merujuk data Simfoni-Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak NTT pada semester 1-2 tahun 2022, hampir semua kabupaten/kota memiliki kasus kekerasan seksual pada anak. Kabupaten Timor Tengah Selatan menempati posisi terbanyak kasus kekerasan terhadap anak yakni 42 kasus. Disusul Kota Kupang sebanyak 23 kasus, dan Belu 15 kasus.
Rumah menjadi lokasi terbanyak untuk terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Rinciannya, TTS menempati urutan pertama, 21 kasus kekerasan seksual terjadi di rumah. Kota Kupang di urutan kedua sebanyak 20 kasus, dan Sumba Timur ada 14 kasus.
Dani yang sudah lama menangani isu kekerasan seksual anak dan perempuan di LBH Apik mengatakan, Perda Nomor 7 Tahun 2008 tentang perlindungan anak memang sudah ada tapi di tingkat pemerintahan provinsi. Dani tidak mengetahui jika kabupaten/kota sudah memiliki perda.
Untuk perda di tingkat pemerintahan provinsi, ujarnya, sudah seharusnya direvisi. LBH Apik beberapa kali sudah menyarankan untuk direvisi agar selaras dengan peraturan-peraturan yang ada saat ini. Namun belum ada respons atau langkah konkrit pemerintah daerah NTT.
“Perda Nomor 7 tahun 2008 tentang perlindungan anak, masih jauh dari perlindungan terhadap anak yang seharusnya menjadi peran atau tanggung jawab Provinsi,” tegas Dani. (Rita)