Kekerasan seksual yang terjadi di kampus bukan isu baru di telinga masyarakat Indonesia, termasuk di Nusa Tenggara Timur (NTT). Isu itu kembali menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini.
Awal Desember 2021, ratusan mahasiswa memenuhi kursi di halaman depan gedung Pascasarjana Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang. Mereka adalah mahasiswa dari IAKN Kupang dan Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang.
Mereka hadir mengikuti seminar bertajuk ‘Bersama Menciptakan Kampus yang Bebas Kekerasan Seksual’. Digagas oleh The Body Shop dan Makasar International Writers Festival didukung oleh IAKN Kupang dan Komunitas Teater Perempuan Biasa.
Direktur Rumah Perempuan, Libby Sinlaloe yang hadir sebagai narasumber menyebut pihaknya sudah menerima lebih dari 50 pengaduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Pengaduan itu mulai diterima sekitar 4 tahun lalu.
Pelaku di lingkungan kampus itu, kata Libby merupakan sesama mahasiswa yang memiliki hubungan lebih dari sekedar teman. “Pernah ada juga pelakunya dosen,” ucap Libby.
Katarina Lamablawa, aktivis perempuan dari Kupang menyebut kasus itu sebenarnya sudah lama terjadi dil ingkungan kampus. Namun mahasiswa seringkali tidak menyadari itu sebagai suatu tindakan pelecehan atau kekerasan.
Ia mengingatkan bahwa kekerasan seksual itu tidak hanya lewat perilaku fisik. Namun kerap terjadi secara verbal.
“Stigmatisasi pada korban menjadi alasan banyak korban tidak melaporkan tindakan yang dialami. Perempuan korban kekerasan seksual itu seperti mengalami intimidasi,” kata Katarina.
Perlakuan tidak adil selalu menimpa korban seksual. Ketiadaan ruang mendengar dan memahami korban menjadi alasan banyak kasus yang terjadi tidak terungkap.
“Contoh saja saya hamil di luar nikah, saya sebagai korban akan dipertanyakan, kenapa dia bisa hamil. Tapi si laki-lakinya, dia yang menghamili itu tidak dituntut,” ungkap Katarina.
Minim Edukasi
Abdi Keraf, psikolog dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang menyebut hal itu terjadi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Pendidikan seksual sering kali disalahartikan.
Pengetahuan seksual bukan hanya tentang organ seksual secara ilmiah, namun juga tentang perilaku bagaimana kita menunjukkan rasa kasih sayang. Bagaimana membangun komunikasi dalam keluarga setiap hari juga penting.
“Akar persoalan harus dibangun dari rumah. Jangan pikir bahwa korban kekerasan seksual itu baik-baik saja. Trauma korban sangat luar biasa. Jika tidak mendapatkan perlindungan seperti dia ada di ruangan yang sangat gelap. Mari kita perangi kekerasan seksual dengan masif,” ujar Abdi.
Katarina menilai pendidikan seks di NTT masih dilihat sebagai sesuatu yang tabu. Orang tua jarang sekali berbicara tentang seks secara terbuka kepada anak.
“Jangankan di kampus, banyak kasus di masyarakat itu yang tidak terdengar ke publik. Karena kita masih menganggap seksualitas itu hal yang tabu,” tutur Katarina.
Lily Yulianti Farid, Founder dan Director Makasar International Writers Festival menyebut edukasi menjadi penting diberikan bagi mahasiswa. Sekalipun sudah ada regulasi hukum, edukasi menjadi komponen utama yang harus terus diberikan bagi mahasiswa.
“Kita juga perlu membentengi diri dari kekerasan seksual. Karena itu kita perlu melindungi diri dan memberdayakan sesama,” ujar Lily.
Ketimpangan Kuasa
Kalis Mardiasih, pemerhati isu gender mengatakan, Indonesia sedang memasuki krisis kemanusiaan disebabkan banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi. Ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban membuat korban seakan tidak berdaya untuk bersuara.
Korban memilih diam, menutupi apa yang dialaminya. Ruang bagi korban untuk menceritakan persoalannya hampir tidak ada.
“Langkah untuk menjadi pendamping korban kekerasan seksual adalah mempercayai ceritanya. Yang perlu dilakukan kampus adalah menyediakan layanan aduan kasus kekerasan seksual di kampus,” ujar Kalis.
Abdy Keraf menyebut, saat ini di Undana Kupang sudah membentuk Laskar Sehat. Wadah ini akan mendengarkan persoalan-persoalan mahasiswa terkait dengan kekerasan seksual yang dialami.
Katarina menilai, ruang yang aman bagi korban di kampus masih sangat minim. Ditambah ketimpangan kuasa yang ada, korban lebih banyak memilih diam.
“Kebanyakan korban itu masih takut melapor. Karena misalnya dia mendapatkan pelecehan dari dosennya, dia takut nanti nilai jelek, tidak lulus dan harus program ulang,” jelasnya.
Trauma Korban
Ketidak beranian korban untuk melapor selalu meninggalkan luka yang mendalam. Trauma yang dialami korban sangat besar. Butuh waktu yang lama untuk memulihkan kondisi korban.