Selain keindahan panorama alam, Kabupaten Ende di Provinsi Nusa Tenggara Timur juga dikenal dengan tenun ikat Lio yang sarat makna.
Lio merupakan nama satu dari 3 etnis besar yang tinggal di Ende. Dua lainnya adalah etnis Ende dan Nage.
Proses pembuatan tenun ikat Lio unik, membutuhkan ketekunan dan kesabaran dalam proses pembuatannya.
Bahan tenun berasal dari helaian benang pakan atau benang lungsin yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam pewarna alam.
Pada masa lampau sebelum Indonesia merdeka, tenun ikat dijadikan alat tukar atau barter antara suku Lio pesisir pantai selatan dengan suku Lio di pedalaman.
“Pada masa lampau terjadinya barter antara barang dengan barang yang wilayah selatan siapkan kain dan yang di pegunungan siapkan padi umbi umbian. Sebaliknya wilayah pedalaman tidak bisa siap garam,di pantai siapkan garam,” kata Bapak Bernadus (Mosa Laki), penghuni rumah adat Sao Ata laki kepada KatongNTT.
Masyarakat etnis Lio juga terbagi atas geografinya, yakni yang tinggal di pesisir pantai dan pedalaman. Mereka memegang teguh perjanjian yang dibuat leluhur bahwa pembuatan tenun ikat terlarang bagi etnis Lio pedalaman.
Tradisi menenun hanya dilakukan etnis Lio pesisir seperti Nggela dan Ndona.
Tenun ikat etnis Lio umumnya berwarna dasar merah tua kecoklatan. Tenun dengan berbagai motif ini dipakai sebagai sarung untuk laki-laki yang dinamai Ragi dan sarung untuk perempuan diberi nama Lawo.
Pada kain tenun untuk pria Ende dan Lio biasanya berwarna dasar hitam atau biru kehitaman, mempunyai jalur-jalur yang jelas sepanjang lungsin. Lajurnya mendatar dan disebut Ragi atau Luka.
Motif untuk tenun ikat bagi perempuan Ende dan Lio berupa flora dan fauna. Seperti kuda, daun, burung, lalat atau sayap lalat yang disebut lawo/zawo.
Sedangkan untuk kain dan selendang didominasi oleh motif bunga yang diselingi garis hitam kecil di antara motif-motifnya dengan rumbai-rumbai pada bagian ujung kain.
Berikut beberapa jenis sarung hasil tenunan masyarakat Lio di Desa Wolotopo di pantai selatan Ende:
1). Lawo Nepa Te’a (sarung perempuan)
Lawo Nepa Te’a memiliki arti. Lawo nepa artinya berwarna kuning. Sarung ini biasa dipakai oleh perempuan, baik ibu-ibu maupun gadis-gadis pada acara apa saja, dengan ukuran 200 cm x 160 cm.
2). Lawo Mata Rote
Lawo Mata Rote artinya motif kecil berwarna putih kuning. Sarung ini biasa dipakai oleh semua kalangan baik para ibu maupun para gadis untuk acara adat dan acara lainnya.
3). Lawo Nepa Mite
Dinamakan lawo Nepa Mite karena motifnya berasal dari Nepal dan warna motifnya hitam putih atau hitam nilam (nggili). Biasa dipakai oleh ibu-ibu Mosalaki saat upacara adat dan ritual lainnya.
4).Ragi ( sarung laki laki)
Ragi merupakan kain tenun untuk kaum pria dengan didominasi warna dasar hitam atau biru kehitaman.
Bernadus mengenang tentang proses pembuatan tenun ikat di masa nenek moyang mereka menggunakan bahan alam.
“Dulu proses pembuatan itu masih secara tradisional, bahan dasarnya itu kapas diolah menjadi sehelai benang, benang diolah menjadi kain,”ujar Bernadus kepada KatongNTT dua hari lalu.
Menurut Bernadus, sekitar tahun 90-an proses pembuatan tenun ikat sudah mulai bergeser, terlihat dari tidak adanya perkebunan kapas. Bahan pewarna juga sudah dibeli dari pasar.
Regenerasi pengrajin juga menjadi rintangan tersendiri dalam upaya pelestarian tenun ikat Lio. Para pengrajin saat ini sudah berusia lanjut.
“Generasi muda yang merupakan usia produktif kurang tertarik menjadi pengrajin. Mereka lebih memilih hijrah ke kota,” tutur Bernadus. (Torres)
Sungguh sangat luar biasa eda👍👍
Menjejaki sesuatu yang diwariskan para leluhur merupakan tugas luhur mileneal.
Terkadang generasi-generasi post modern era ini, memiliki pengetahuan yang minim akan keberadaan (hadirnya) warisan leluhur ini. Dengan Literatur Media ini, kembali membangkitkan kesadaran mileneal dalam pengetahuan/ wawasan dan terus melestarikan..
Salam dan Hormat
Terimakasih Pak. Semoga generasi milenal semakin termotivasi untuk melestarikan warisan budaya leluhur mereka.