Oleh: Jeni M Bailao
(Pendeta GMIT)
Dunia yang maju pesat dalam berbagai bidang kehidupan telah mendorong dan bahkan memaksa seseorang untuk berkompetisi dan berkarya. Kompetisi ini menghadirkan pengalaman positif tetapi juga negatif. Nilai positifnya adalah daya juang yang tinggi, kreativitas dan juga fleksibilitas.
Jika gagal, maka akan memberi kesan negatif dan tekanan psikologis: gelisah, cemas, perasaan tertekan, mimpi buruk , khawatir berlebihan, mudah marah, sulit rileks. Selain itu, mengalami gangguan tidur, kurang percaya diri, lelah dan kehilangan minat. Tidak sedikit orang bunuh diri karena tidak mampu mengelola emosi diri.
Pengalaman ini diperumit dengan hadirnya pandemi Covid-19. Pandemi menuntut seseorang untuk menghabiskan banyak waktu di rumah. Bekerja, belajar dan berkarya dari rumah. Sungguh melelahkan secara mental.
Belum lagi saat kehilangan pekerjaan, pendapatan berkurang, dan ekonomi keluarga terganggu. Begitu pula saat beradaptasi dengan banyak kebiasaan baru dalam belajar dan bekerja juga beribadah.
Emosi negatif yang dibiarkan berkembang akan mengendap dalam alam bawah sadar seseorang. Jika tidak diproses dengan baik, maka akan menjadi luka batin. Orang lain yang berinteraksi bersamanya juga dapat terluka.
Dalam situasi seperti ini, kita membutuhkan self healing, yakni proses untuk menyembuhkan diri sendiri dari kepenatan hati. Ada banyak kegiatan yang bisa dipilih sebagai proses healing di antaranya traveling, jalan santai, belanja, nonton drama Korea, mendaki gunung, menikmati secangkir kopi hitam di teras rumah. Sekedar berkumpul bersama keluarga juga merupakan proses healing.
Tetapi ada satu terapi healing yang berbiaya murah, mudah, dan efektif. Itu dilakukan Cheta Nilaway, wartawan difabel (tunanetra), pembicara dalam Pelatihan Membangun Karakter Melalui Menulis Kreatif oleh KatongNTT.com. Terapi yang dimaksudkan adalah menulis.
Sebagai seorang difabel bukanlah alasan bagi Cheta untuk menyerah dengan kondisi dirinya yang terbatas dalam melihat. Ia tetap bisa berkarya secara profesional dengan membuat tulisan dan liputan menarik.
Cheta melebihi ekspektasi masyarakat pada umumnya. Dia bisa mengeluarkan semua ide kreatif dan juga perasaan yang sedang dialami. Dia mengungkapkan menulis merupakan self healing bagi dirinya.
Sebenarnya apa itu terapi menulis, bagaimana bentuknya?
Terapi menulis merupakan teknik yang digunakan di dalam terapi ekspresif yang digunakan sebagai media menyembuhan dan meningkatkan kesehatan mental. Dengan menulis pikiran dan perasaan bisa tersalurkan.
Ada kekuatan dalam eksplorasi serta ekspresi area pemikiran, emosi dan spiritual yang dapat dijadikan sebagai suatu sarana berkomunikasi dengan diri sendiri maupun orang lain.
Karen Baikie , seorang Clinical Psychologist dari University of New South Wales , menuliskan bahwa peristiwa-peristiwa traumatik, penuh tekanan, serta peristiwa yang penuh emosi yang merusak kesehatan fisik dan mental bisa diperbaiki dengan terapi menulis.
Selain itu menurut Nancy Morgan , seorang penulis klinis yang dalam pengalaman pendampingannya pada pasien kanker menemukan bahwa menulis dapat memperbaiki kualitas hidup seseorang. Ketika menulis tentang ketakutan terhadap penyakit bisa mengubah cara pikir terhadap penyakit yang diderita.
Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa terapi menulis ini pernah juga diberikan pada para mahasiswa tahun pertama, anak sekolah yang full day school, korban bullying, pemakai narkoba, warga binaan, orang dengan pengalaman trauma.
Bahkan dapat digunakan bagi lansia hingga untuk menurunkan hiperaktifitas dan impulsifitas pada anak dengan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) untuk menangani depresi dan gangguan psikologis yang dialami.
Menurut Davis, L. dalam bukunya The Courage to Heal Workbook for Women and Men Survivors of Child Sexual Abuse, tujuan dari terapi menulis di antaranya: (1) Meningkatkan pemahaman bagi diri sendiri maupun orang lain dalam bentuk tulisan dan literatur lain; (2) Meningkatkan kreativitas, ekspresi diri dan harga diri; (3) Memperkuat kemampuan komunikasi dan interpersonal; (4) Mengekspresikan emosi yang berlebihan (katarsis) dan menurunkan ketegangan, serta (5) Meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi masalah dan beradaptasi.
O’Connor, dkk dalam Journal of Palliative Medicine menambahkan, menulis pengalaman emosional mempunyai manfaat yang besar sebagai alat terapeutik dalam beberapa permasalahan klinis. Terapi menulis mampu meningkatkan perawatan diri bagi individu yang mengalami kesedihan mendalam.
Ini karena menulis digunakan sebagai media untuk membuka diri sehingga individu tersebut lebih mampu untuk melakukan rawat diri dengan lebih baik.
Terapi menulis mampu memperbaiki suasana hati dan pertumbuhan yang positif pasca trauma bagi para PTSD. Psikolog sosial James W Pennebaker menjelaskan, menulis mengenai pengalaman emosional, peristiwa traumatik dan kejadian akan menekan penyebab stres atau situasi stressful akan berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang.
Selain itu, menulis memberikan kemampuan untuk mengelola dan menurunkan stres, mendapatkan insight atau pemahaman, mengurangi keluhan fisik, meningkatkan sistem kekebalan tubuh.Bahkan meningkatkan prestasi akademik dan kinerja pekerjaan.
Menulis dalam jangka panjang dapat menurunkan stress, meningkatkan sistem imun, menurunkan tekanan darah, mempengaruhi mood, merasa lebih bahagia, bekerja dengan lebih baik, dan dapat mengurangi depresi.
Sedangkan dalam aspek sosial dan perilaku, menulis dapat meningkatkan memori, kemampuan sosial, dan linguistik.
Menulis dapat menyembuhkan penyakit mental akibat masalah sosial atau trauma akibat peristiwa berat di masa lalu. Dan dengan menulis kesehatan seseorang, terutama bagian jiwanya akan menjadi lebih baik (Pennebaker & Beal).
Baikie menegaskan, menulis dapat memperbaiki masalah fisik dan mental seseorang. Orang menulis sedang mengasah otak kirinya yang berkaitan dengan analisa dan rasionalitas. Saat melatih otak kiri menulis, otak kanan akan bebas untuk berkreasi, dan memperkuat intuisi.
Selain bermanfaat untuk kesehatan jiwa, menulis juga merupakan cara ampuh untuk mengenali diri sendiri. Daya ingat akan peristiwa yang terjadi juga bisa semakin mendalam ketika menulis.
Selain fungsi secara psikis, menulis juga ternyata membawa dampak postif bagi kesehatan fisik. Penyakit seperti obesitas, gerd atau asam lambung, stroke dan lainnya banyak dipicu oleh stres. Dengan menulis, tubuh akan terhindar dari stres dan juga penyakit yang bisa dipicunya.
Pikiran yang sehat akan membuat tubuh jadi bugar. Selain itu sebuah penelitian di Texas menunjukkan, menulis sebagai terapi ternyata ampuh meningkatkan sel Limfosit T. Sel ini merupakan bagian dari sel darah putih. Sel darah putih diketahui sebagai salah satu sistem pertahanan atau imun tubuh.
Begitu banyaknya manfaat yang diperoleh dari menulis, terutama sebagai terapi bagi jiwa dan fisik, lalu apa lagi yang kita perlu tunggu, menulislah! *****