Pengkhianatan Kaum Intelektual - Katong NTT    
Sabtu, 28 Januari , 2023
  • Login
NEWSLETTER
Katong NTT
No Result
View All Result
  • Peristiwa
    • Kekerasan Berbasis Gender
    • Pekerja Migran
    • Lingkungan
    • Inspirasi
  • Ekonomi dan Bisnis
    • Industri Pariwisata
    • Dekranasda NTT
    • Agribisnis
  • Sorotan
  • Perspektif
    • Opini
  • Pemilu 2024
  • Peristiwa
    • Kekerasan Berbasis Gender
    • Pekerja Migran
    • Lingkungan
    • Inspirasi
  • Ekonomi dan Bisnis
    • Industri Pariwisata
    • Dekranasda NTT
    • Agribisnis
  • Sorotan
  • Perspektif
    • Opini
  • Pemilu 2024
No Result
View All Result
Katong NTT
No Result
View All Result
Home Perspektif Opini

Pengkhianatan Kaum Intelektual

Editor: KatongNTT
21 Juni 2021
in Opini
0
Ilustrasi Opini Pengkhianatan Kaum Intelektual
Ilustrasi Pengkhianatan Kaum Intelektua;l.

Ilustrasi Pengkhianatan Kaum Intelektua;l.

0
SHARES
248
VIEWS
Share on WhatsappShare on FacebookShare on Twitter

Entah apa yang menjadi daya tarik buku kecil karya Julien Benda yang terbit pertama kali
pada tahun 1926, hingga almarhum Suardi Tasrif —tokoh pers nasional dan salah satu
penggagas berdirinya LBH Jakarta— memburu sampai ke berbagai perpustakaan.

Karya filsuf Jahudi yang lahir tahun 1867, mengundang kontroversi di dataran Eropa
kontinental, terutama di Perancis. Buku Benda berjudul La Trahison des Clercs dapat
dikatakan menguliti moralitas kaum intelektual di Perancis.

RekomendasiUntukmu

Jacinta Kate Ardern Memeluk Keluarga Korban serangan teroris di Masjid di kota Kota Christchurch Selandia Baru pada Maret 2019 (Daily Express)

Meneladani Ardern dan Paus Benediktus Saat Memutuskan Mundur dari Jabatannya

24 Januari 2023
Ilustrasi

Budaya Politik Baru Berkearifan Lamaholot untuk Memajukan Peradaban (Bagian Kedua)

8 Januari 2023

Julien Benda mengawali karirnya sebagai filsuf ketika ia menulis karya filosifis-reflektif yang
mengulas skandal Dreyfus di Perancis pada 1898 dengan judul Dialogues a Byzance. Setelah
itu Benda tidak lagi menulis. Ia seakan menghilang dari percaturan wacana intelektual
Perancis, yang saat itu geger dilanda skandal Dreyfus.

Bagi Tasrif buku Benda yang ditulisnya dalam bahasa Perancis, bukan menjadi masalah untuk
memahaminya karena selain menguasai bahasa Ingris, Belanda dan Yunani, ia piawai
menggunakan bahasa Perancis.

Buku kecil Benda menurut Tasrif dimaksud sebagai peringatan bagi kaum intelektual Perancis,
bahwa tugas kaum intelektual bukanlah mengabdikan dirinya kepada kepentingan politik,
tetapi justru mempertahankan nilai-nilai abadi yang abstrak dan berlaku bagi tiap zaman dan
keadaan, yaitu: kebenaran, keadilan dan rasio. “La Justice, La Verite et La Raison,” tulis Tasrif di majalah Budaya Jaya No.4 September 1968.

Benda melihat pengalaman kasat mata ketika sebagian besar kaum intelektual Perancis
berkolaborasi dengan Nazi: bersikap anti terhadap hak-hak asasi, anti-perikemanusiaan dan
anti-moralita. Dan yang lebih penting, mereka telah berkianat terhadap tanah airnya.

Benda menganggap kaum intelektual Perancis, berkhianat terhadap tanggung jawab morilnya
sebagai kaum intelektual. Mereka lebih senang mementingkan nilai praktis daripada nilai-nilai
ilmu pengetahuannya (humilier les valeurs de connaissance devan les valeurs d’action).

Dengan kata lain, menurut Tasrif, kaum intelektual Perancis dianggap telah memprostitusikan ilmu pengetahuannya bagi kedudukan dan kemenangan politik. “Moralitas telah dijadikan ‘untergeordnet’ kepada politik, dan bukan sebaliknya,” tulis Tasrif dalam artikel yang dimuat di Kompas, tahun 1966.

Keadaan demikian, menurut Tasrif, bisa jadi saat ini hingga nanti di kemudian hari kaum
cerdik pandai di Indonesia akan mengalami hal yang sama dengan kaum cendekiawan telah
melacurkan dirinya mengejar kehidupan hedonis. Tasrif bahkan mewanti-wanti kehidupan
kaum intelektual di negeri ini mirip apa yang terjadi di zaman Perancis waktu itu.

Dalam tajuk di Koran Abadi [15/1966], miliknya, Ia menyitir tulisan Julien Benda, “Apabila Plato
mencuatkan tesis bagi kaum Machiavellian, bahwasanya moralitas tidak ada hubungannya
dengan politik; lain halnya kaum intelektual Perancis, mereka mengusung tesis baru, politiklahyang menentukan moralitas!”

Berkhianat
Bila kita simak secara seksama, apa yang dikatakan Tasrif almarhum, sangat
mencengangkan. Ia mengulas persoalan yang akan dihadapi bangsanya dari pelbagai macam
sudut pandang. Boleh jadi, Tasrif salah satu futuris Indonesia, selain Jayabaya dan Ronggo
Warsito, tentu.

Benarkah kaum intelektual, terutama para kaum cerdik pandai, yang berada di lapis pemikir sekaligus pemegang otoritas penentu kebijakan —renta-usia— berkhianat terhadap negara dan bangsanya? Rasa-rasanya sulit menepis anggapan nyinyir: mereka telah berkhianat!

Bagaimana tidak. Semenjak kalimat pembukaan Undang-Undang Dasar yang menyatakan
“…mengantarkan rakyat menuju ke pintu gerbang… demi terwujudnya cita-cita bangsa
Indonesia yang adil dan makmur”, toh hingga kini hanya slogan belaka. Apakah hal demikian
dapat dikatakan kaum cerdik pandai yang diberi amanat rakyat mengelola republik ini, bisa
disebut tidak berkhianat bila pada kenyataannya tujuan Indonesia merdeka tidak tercapai
selama lebih dari 63 tahun.

Mereka, para kaum cerdik pandai bukannya berusaha mengantarkan rakyat menuju ke
gerbang kemakmuran tetapi mengajak seluruh bangsa menyelusuri meminjam istilah Steven
Hawking, black hole, yang tak bakal ditemui cahaya secercah pun.

Centang-perenang peraturan maupun undang-undang yang dibuat kaum intelektual cerdik pandai untuk menjalankan sistem tatanan kenegaraan, mereka pula yang melanggarnya.

Ditambah dengan bobroknya mentalitas para pemegang otoritas kebijakan yang cenderung
korup, kolusif dan nepotis menjadi salah satu kendala utama pengungkapan pelbagai
persoalan pelanggaran hukum sulit menemukan titik terang.

Mereka lupa bahwa gelar doktor yang diperoleh melalui program beasiswa pemerintah berasal
dari uang pajak rakyat. Tapi apa balasan setelah mereka memperoleh gelar akademik
mentereng ‘doktor’ pada rakyat yang dengan sukarela menyisihkan uang hasil keringatnya
bagi masa depan mereka? Tidak ada sama sekali, yang ada hanyalah kepandaian untuk
minteri dan ngapusi!

Dimanakah kontribusi nyata kaum intelektual seperti yang pernah mereka ikrarkan ketika
memperoleh gelar akademis doktor, kalau hanya untuk minteri dan ngapusi. Dimanakah
tanggung-jawab moral para pendidik, yang telah memperoleh gelar doktor dan kemudian
menjabat sebagai guru besar dengan titel yang disandangnya mentereng profesor, doktor
justru digunakan sebagai kedok melakukan tindak tercela?

Banyak bukti para cendekiawan kaum cerdik pandai yang dijebloskan ke bui tersangkut kasus
korupsi, kolusi dan nepotisme. Adakah tindakan tercela yang dilakukan itu merupakan balas
dendam terhadap kemelaratan masa lalu yang pernah dialami dan dirasakan sebelumnya?
Rasanya sulit diterima oleh akal sehat bila hal itu dijadikan sebagai dalih pembenaran untuk
melakuka tindakan tercela. Mereka lupa, bahwa kemelaratan yang dialami oleh keluarga
mereka dulu, saat ini juga dirasakan sebagian besar rakyat Indonesia.

Kalau tujuannya untuk melakukan balas dendam terhadap kemelaratan yang pernah
dialaminya, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dengan merampas dana beasiswa dari uang
rakyat. Rasanya apa yang diucapkan dan sekaligus dijadikan pengangan hidup saudara-saudara kita dalam komunitas Samin, cukup relevan dicerna dalam lubuk hati yang paling dalam. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau tujuannya untuk ngapusi dan melakukan korupsi. Kalau begitu caranya, slogan “bersama kita bisa,” perlu diubah menjadi, “Bersama Kita, Kalian Harus Celaka!”

(Oleh: Eddy J Soetopo, Direktur Institute for Media and Social Studies (IMSS) dan Pemimpin Redaksi Sarklewer.com)

SendShareTweetShare
Previous Post

Laasar Adu, 22 Tahun Berdonor Darah

Next Post

Bisnis Rombengan Marak di Kupang

KatongNTT

KatongNTT

Media berita online berkantor di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fokus pada isu-isu ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, dan lingkungan.

Rekomendasi Untukmu

Opini

Meneladani Ardern dan Paus Benediktus Saat Memutuskan Mundur dari Jabatannya

24 Januari 2023
Jacinta Kate Ardern Memeluk Keluarga Korban serangan teroris di Masjid di kota Kota Christchurch Selandia Baru pada Maret 2019 (Daily Express)

Kepada rakyatnya, Ardern  berujar:  “Saya tidak lagi memiliki cukup kapasitas untuk menjalankan jabatan ini dengan benar.”

Read more
by Rita Hasugian
0 Comments
Opini

Budaya Politik Baru Berkearifan Lamaholot untuk Memajukan Peradaban (Bagian Kedua)

8 Januari 2023
Ilustrasi

budaya politik baru berkearifan Lamaholot adalah politik kelohon, politik kebenaran, kejujuran, dan ketulusan. Yang menghindari perilaku ope aka, perilaku temaka...

Read more
by Rita Hasugian
0 Comments
Opini

Budaya Politik Baru Berkearifan Lamaholot untuk Memajukan Peradaban (Bagian Pertama)

6 Januari 2023
Ilustrasi Budaya politik baru berkearifan Lamaholot untuk memajukan peradaban.

Dan, kearifan-kearifan Lamaholot yang pada aslinya berlaku di aspek kehidupan lain, tetapi yang relevan dan berguna untuk diterapkan dalam dunia...

Read more
by Rita Hasugian
0 Comments
Opini

Penuhi 4 Syarat Ini untuk Hadirkan 1 Juta Wisatawan ke Labuan Bajo

16 Desember 2022
Peserta jelajah Komodo tiba di kampung adat Waerebo, Kabupaten Manggarai beberapa bulan lalu. (Istimewa)

Sebagian gambaran berikut data tentang kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo mencapai level tertinggi tahun 2019 sebesar 221 ribu wisatawan.

Read more
by Rita Hasugian
0 Comments
Opini

Oma Lin Menginspirasi Warga Mbay Bertanam Jagung

30 November 2022
Oma Lin, petani Jagung di Mbay, Kabupaten Nagekeo, NTT (Dok.YakobusStefanusMuda)

Inspirasi Oma Lin untuk menanam jagung semoga menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan suplai air di tahun 2023.

Read more
by Rita Hasugian
0 Comments
Opini

Frans Seda Pahlawan Nasional Penjembatan Budaya, Politik, dan Agama

27 November 2022
Frans Seda (Dok Pemuda Katolik)

Layaklah bila mendiang Frans Seda pun dideretkan bersama 200 tokoh (dengan rincian 185 pria dan 15 wanita) yang telah diangkat...

Read more
by Rita Hasugian
0 Comments
Next Post
Lapak Pakaian Bekas di Pasar Naikoten, Kota Kupang, NTT. (Fa)

Bisnis Rombengan Marak di Kupang

Pesona mistis Cagar Alam Gunung Mutis (Redaksi Katongntt.com)

Pesona Mistis Cagar Alam Gunung Mutis

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Popular News

  • Yosef Lejap, korban dugaan penganiayaan oleh aparat kepolisian di Lembata (Dok. Andreas Lejap)

    Penganiayaan ODGJ, Satu Polisi Disebut Minta Maaf atas Ulah Rekannya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aparat Polisi Diduga Aniaya ODGJ di Lembata

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komnas Disabilitas: Penganiaya ODGJ di Lembata Rendahkan Martabat Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Potret Kesederhanaan Nono, Juara Matematika Dunia dan Kagumi Elon Musk

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Budaya Politik Baru Berkearifan Lamaholot untuk Memajukan Peradaban (Bagian Pertama)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Newsletter

Silahkan klik tombol di bawah untuk berlangganan berita KatongNTT.
SUBSCRIBE

Anggota dari :

  • Pedoman Media Siber
  • Tentang Kami
  • Iklan
  • Kontak Kami
  • Redaksi

© 2022 KatongNTT

No Result
View All Result
  • Peristiwa
    • Kekerasan Berbasis Gender
    • Pekerja Migran
    • Lingkungan
    • Inspirasi
  • Ekonomi dan Bisnis
    • Industri Pariwisata
    • Dekranasda NTT
    • Agribisnis
  • Sorotan
  • Perspektif
    • Opini
  • Pemilu 2024

© 2022 KatongNTT

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
Sign In with Linked In
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
Sign Up with Linked In
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist