Entah apa yang menjadi daya tarik buku kecil karya Julien Benda yang terbit pertama kali
pada tahun 1926, hingga almarhum Suardi Tasrif —tokoh pers nasional dan salah satu
penggagas berdirinya LBH Jakarta— memburu sampai ke berbagai perpustakaan.
Karya filsuf Jahudi yang lahir tahun 1867, mengundang kontroversi di dataran Eropa
kontinental, terutama di Perancis. Buku Benda berjudul La Trahison des Clercs dapat
dikatakan menguliti moralitas kaum intelektual di Perancis.
Julien Benda mengawali karirnya sebagai filsuf ketika ia menulis karya filosifis-reflektif yang
mengulas skandal Dreyfus di Perancis pada 1898 dengan judul Dialogues a Byzance. Setelah
itu Benda tidak lagi menulis. Ia seakan menghilang dari percaturan wacana intelektual
Perancis, yang saat itu geger dilanda skandal Dreyfus.
Bagi Tasrif buku Benda yang ditulisnya dalam bahasa Perancis, bukan menjadi masalah untuk
memahaminya karena selain menguasai bahasa Ingris, Belanda dan Yunani, ia piawai
menggunakan bahasa Perancis.
Buku kecil Benda menurut Tasrif dimaksud sebagai peringatan bagi kaum intelektual Perancis,
bahwa tugas kaum intelektual bukanlah mengabdikan dirinya kepada kepentingan politik,
tetapi justru mempertahankan nilai-nilai abadi yang abstrak dan berlaku bagi tiap zaman dan
keadaan, yaitu: kebenaran, keadilan dan rasio. “La Justice, La Verite et La Raison,” tulis Tasrif di majalah Budaya Jaya No.4 September 1968.
Benda melihat pengalaman kasat mata ketika sebagian besar kaum intelektual Perancis
berkolaborasi dengan Nazi: bersikap anti terhadap hak-hak asasi, anti-perikemanusiaan dan
anti-moralita. Dan yang lebih penting, mereka telah berkianat terhadap tanah airnya.
Benda menganggap kaum intelektual Perancis, berkhianat terhadap tanggung jawab morilnya
sebagai kaum intelektual. Mereka lebih senang mementingkan nilai praktis daripada nilai-nilai
ilmu pengetahuannya (humilier les valeurs de connaissance devan les valeurs d’action).
Dengan kata lain, menurut Tasrif, kaum intelektual Perancis dianggap telah memprostitusikan ilmu pengetahuannya bagi kedudukan dan kemenangan politik. “Moralitas telah dijadikan ‘untergeordnet’ kepada politik, dan bukan sebaliknya,” tulis Tasrif dalam artikel yang dimuat di Kompas, tahun 1966.
Keadaan demikian, menurut Tasrif, bisa jadi saat ini hingga nanti di kemudian hari kaum
cerdik pandai di Indonesia akan mengalami hal yang sama dengan kaum cendekiawan telah
melacurkan dirinya mengejar kehidupan hedonis. Tasrif bahkan mewanti-wanti kehidupan
kaum intelektual di negeri ini mirip apa yang terjadi di zaman Perancis waktu itu.
Dalam tajuk di Koran Abadi [15/1966], miliknya, Ia menyitir tulisan Julien Benda, “Apabila Plato
mencuatkan tesis bagi kaum Machiavellian, bahwasanya moralitas tidak ada hubungannya
dengan politik; lain halnya kaum intelektual Perancis, mereka mengusung tesis baru, politiklahyang menentukan moralitas!”
Berkhianat
Bila kita simak secara seksama, apa yang dikatakan Tasrif almarhum, sangat
mencengangkan. Ia mengulas persoalan yang akan dihadapi bangsanya dari pelbagai macam
sudut pandang. Boleh jadi, Tasrif salah satu futuris Indonesia, selain Jayabaya dan Ronggo
Warsito, tentu.
Benarkah kaum intelektual, terutama para kaum cerdik pandai, yang berada di lapis pemikir sekaligus pemegang otoritas penentu kebijakan —renta-usia— berkhianat terhadap negara dan bangsanya? Rasa-rasanya sulit menepis anggapan nyinyir: mereka telah berkhianat!
Bagaimana tidak. Semenjak kalimat pembukaan Undang-Undang Dasar yang menyatakan
“…mengantarkan rakyat menuju ke pintu gerbang… demi terwujudnya cita-cita bangsa
Indonesia yang adil dan makmur”, toh hingga kini hanya slogan belaka. Apakah hal demikian
dapat dikatakan kaum cerdik pandai yang diberi amanat rakyat mengelola republik ini, bisa
disebut tidak berkhianat bila pada kenyataannya tujuan Indonesia merdeka tidak tercapai
selama lebih dari 63 tahun.
Mereka, para kaum cerdik pandai bukannya berusaha mengantarkan rakyat menuju ke
gerbang kemakmuran tetapi mengajak seluruh bangsa menyelusuri meminjam istilah Steven
Hawking, black hole, yang tak bakal ditemui cahaya secercah pun.
Centang-perenang peraturan maupun undang-undang yang dibuat kaum intelektual cerdik pandai untuk menjalankan sistem tatanan kenegaraan, mereka pula yang melanggarnya.
Ditambah dengan bobroknya mentalitas para pemegang otoritas kebijakan yang cenderung
korup, kolusif dan nepotis menjadi salah satu kendala utama pengungkapan pelbagai
persoalan pelanggaran hukum sulit menemukan titik terang.
Mereka lupa bahwa gelar doktor yang diperoleh melalui program beasiswa pemerintah berasal
dari uang pajak rakyat. Tapi apa balasan setelah mereka memperoleh gelar akademik
mentereng ‘doktor’ pada rakyat yang dengan sukarela menyisihkan uang hasil keringatnya
bagi masa depan mereka? Tidak ada sama sekali, yang ada hanyalah kepandaian untuk
minteri dan ngapusi!
Dimanakah kontribusi nyata kaum intelektual seperti yang pernah mereka ikrarkan ketika
memperoleh gelar akademis doktor, kalau hanya untuk minteri dan ngapusi. Dimanakah
tanggung-jawab moral para pendidik, yang telah memperoleh gelar doktor dan kemudian
menjabat sebagai guru besar dengan titel yang disandangnya mentereng profesor, doktor
justru digunakan sebagai kedok melakukan tindak tercela?
Banyak bukti para cendekiawan kaum cerdik pandai yang dijebloskan ke bui tersangkut kasus
korupsi, kolusi dan nepotisme. Adakah tindakan tercela yang dilakukan itu merupakan balas
dendam terhadap kemelaratan masa lalu yang pernah dialami dan dirasakan sebelumnya?
Rasanya sulit diterima oleh akal sehat bila hal itu dijadikan sebagai dalih pembenaran untuk
melakuka tindakan tercela. Mereka lupa, bahwa kemelaratan yang dialami oleh keluarga
mereka dulu, saat ini juga dirasakan sebagian besar rakyat Indonesia.
Kalau tujuannya untuk melakukan balas dendam terhadap kemelaratan yang pernah
dialaminya, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dengan merampas dana beasiswa dari uang
rakyat. Rasanya apa yang diucapkan dan sekaligus dijadikan pengangan hidup saudara-saudara kita dalam komunitas Samin, cukup relevan dicerna dalam lubuk hati yang paling dalam. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau tujuannya untuk ngapusi dan melakukan korupsi. Kalau begitu caranya, slogan “bersama kita bisa,” perlu diubah menjadi, “Bersama Kita, Kalian Harus Celaka!”
(Oleh: Eddy J Soetopo, Direktur Institute for Media and Social Studies (IMSS) dan Pemimpin Redaksi Sarklewer.com)