• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Kamis, Juli 17, 2025
  • Login
Katong NTT
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
Katong NTT
No Result
View All Result
Home Opini

Pengkhianatan Kaum Intelektual

Tim Redaksi by Tim Redaksi
4 tahun ago
in Opini
Reading Time: 3 mins read
A A
0
Ilustrasi Opini Pengkhianatan Kaum Intelektual

Ilustrasi Pengkhianatan Kaum Intelektua;l.

0
SHARES
494
VIEWS

Entah apa yang menjadi daya tarik buku kecil karya Julien Benda yang terbit pertama kali
pada tahun 1926, hingga almarhum Suardi Tasrif —tokoh pers nasional dan salah satu
penggagas berdirinya LBH Jakarta— memburu sampai ke berbagai perpustakaan.

Karya filsuf Jahudi yang lahir tahun 1867, mengundang kontroversi di dataran Eropa
kontinental, terutama di Perancis. Buku Benda berjudul La Trahison des Clercs dapat
dikatakan menguliti moralitas kaum intelektual di Perancis.

BacaJuga

Berbagai jenis pangan lokal NTT dihadirkan di Pesta Raya Flobamoratas 2023 di Kota Kupang pada 3-4 November 2023. (Ayunda/KatongNTT.com)

Agar OVOP Tak Hanya Jadi Slogan

9 Juli 2025
Perempuan Tak Aman, Negara pun Goyah

Perempuan Tak Aman, Negara pun Goyah

20 Juni 2025

Julien Benda mengawali karirnya sebagai filsuf ketika ia menulis karya filosifis-reflektif yang
mengulas skandal Dreyfus di Perancis pada 1898 dengan judul Dialogues a Byzance. Setelah
itu Benda tidak lagi menulis. Ia seakan menghilang dari percaturan wacana intelektual
Perancis, yang saat itu geger dilanda skandal Dreyfus.

Bagi Tasrif buku Benda yang ditulisnya dalam bahasa Perancis, bukan menjadi masalah untuk
memahaminya karena selain menguasai bahasa Ingris, Belanda dan Yunani, ia piawai
menggunakan bahasa Perancis.

Buku kecil Benda menurut Tasrif dimaksud sebagai peringatan bagi kaum intelektual Perancis,
bahwa tugas kaum intelektual bukanlah mengabdikan dirinya kepada kepentingan politik,
tetapi justru mempertahankan nilai-nilai abadi yang abstrak dan berlaku bagi tiap zaman dan
keadaan, yaitu: kebenaran, keadilan dan rasio. “La Justice, La Verite et La Raison,” tulis Tasrif di majalah Budaya Jaya No.4 September 1968.

Benda melihat pengalaman kasat mata ketika sebagian besar kaum intelektual Perancis
berkolaborasi dengan Nazi: bersikap anti terhadap hak-hak asasi, anti-perikemanusiaan dan
anti-moralita. Dan yang lebih penting, mereka telah berkianat terhadap tanah airnya.

Benda menganggap kaum intelektual Perancis, berkhianat terhadap tanggung jawab morilnya
sebagai kaum intelektual. Mereka lebih senang mementingkan nilai praktis daripada nilai-nilai
ilmu pengetahuannya (humilier les valeurs de connaissance devan les valeurs d’action).

Dengan kata lain, menurut Tasrif, kaum intelektual Perancis dianggap telah memprostitusikan ilmu pengetahuannya bagi kedudukan dan kemenangan politik. “Moralitas telah dijadikan ‘untergeordnet’ kepada politik, dan bukan sebaliknya,” tulis Tasrif dalam artikel yang dimuat di Kompas, tahun 1966.

Keadaan demikian, menurut Tasrif, bisa jadi saat ini hingga nanti di kemudian hari kaum
cerdik pandai di Indonesia akan mengalami hal yang sama dengan kaum cendekiawan telah
melacurkan dirinya mengejar kehidupan hedonis. Tasrif bahkan mewanti-wanti kehidupan
kaum intelektual di negeri ini mirip apa yang terjadi di zaman Perancis waktu itu.

Dalam tajuk di Koran Abadi [15/1966], miliknya, Ia menyitir tulisan Julien Benda, “Apabila Plato
mencuatkan tesis bagi kaum Machiavellian, bahwasanya moralitas tidak ada hubungannya
dengan politik; lain halnya kaum intelektual Perancis, mereka mengusung tesis baru, politiklahyang menentukan moralitas!”

Berkhianat
Bila kita simak secara seksama, apa yang dikatakan Tasrif almarhum, sangat
mencengangkan. Ia mengulas persoalan yang akan dihadapi bangsanya dari pelbagai macam
sudut pandang. Boleh jadi, Tasrif salah satu futuris Indonesia, selain Jayabaya dan Ronggo
Warsito, tentu.

Benarkah kaum intelektual, terutama para kaum cerdik pandai, yang berada di lapis pemikir sekaligus pemegang otoritas penentu kebijakan —renta-usia— berkhianat terhadap negara dan bangsanya? Rasa-rasanya sulit menepis anggapan nyinyir: mereka telah berkhianat!

Bagaimana tidak. Semenjak kalimat pembukaan Undang-Undang Dasar yang menyatakan
“…mengantarkan rakyat menuju ke pintu gerbang… demi terwujudnya cita-cita bangsa
Indonesia yang adil dan makmur”, toh hingga kini hanya slogan belaka. Apakah hal demikian
dapat dikatakan kaum cerdik pandai yang diberi amanat rakyat mengelola republik ini, bisa
disebut tidak berkhianat bila pada kenyataannya tujuan Indonesia merdeka tidak tercapai
selama lebih dari 63 tahun.

Mereka, para kaum cerdik pandai bukannya berusaha mengantarkan rakyat menuju ke
gerbang kemakmuran tetapi mengajak seluruh bangsa menyelusuri meminjam istilah Steven
Hawking, black hole, yang tak bakal ditemui cahaya secercah pun.

Centang-perenang peraturan maupun undang-undang yang dibuat kaum intelektual cerdik pandai untuk menjalankan sistem tatanan kenegaraan, mereka pula yang melanggarnya.

Ditambah dengan bobroknya mentalitas para pemegang otoritas kebijakan yang cenderung
korup, kolusif dan nepotis menjadi salah satu kendala utama pengungkapan pelbagai
persoalan pelanggaran hukum sulit menemukan titik terang.

Mereka lupa bahwa gelar doktor yang diperoleh melalui program beasiswa pemerintah berasal
dari uang pajak rakyat. Tapi apa balasan setelah mereka memperoleh gelar akademik
mentereng ‘doktor’ pada rakyat yang dengan sukarela menyisihkan uang hasil keringatnya
bagi masa depan mereka? Tidak ada sama sekali, yang ada hanyalah kepandaian untuk
minteri dan ngapusi!

Dimanakah kontribusi nyata kaum intelektual seperti yang pernah mereka ikrarkan ketika
memperoleh gelar akademis doktor, kalau hanya untuk minteri dan ngapusi. Dimanakah
tanggung-jawab moral para pendidik, yang telah memperoleh gelar doktor dan kemudian
menjabat sebagai guru besar dengan titel yang disandangnya mentereng profesor, doktor
justru digunakan sebagai kedok melakukan tindak tercela?

Banyak bukti para cendekiawan kaum cerdik pandai yang dijebloskan ke bui tersangkut kasus
korupsi, kolusi dan nepotisme. Adakah tindakan tercela yang dilakukan itu merupakan balas
dendam terhadap kemelaratan masa lalu yang pernah dialami dan dirasakan sebelumnya?
Rasanya sulit diterima oleh akal sehat bila hal itu dijadikan sebagai dalih pembenaran untuk
melakuka tindakan tercela. Mereka lupa, bahwa kemelaratan yang dialami oleh keluarga
mereka dulu, saat ini juga dirasakan sebagian besar rakyat Indonesia.

Kalau tujuannya untuk melakukan balas dendam terhadap kemelaratan yang pernah
dialaminya, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dengan merampas dana beasiswa dari uang
rakyat. Rasanya apa yang diucapkan dan sekaligus dijadikan pengangan hidup saudara-saudara kita dalam komunitas Samin, cukup relevan dicerna dalam lubuk hati yang paling dalam. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau tujuannya untuk ngapusi dan melakukan korupsi. Kalau begitu caranya, slogan “bersama kita bisa,” perlu diubah menjadi, “Bersama Kita, Kalian Harus Celaka!”

(Oleh: Eddy J Soetopo, Direktur Institute for Media and Social Studies (IMSS) dan Pemimpin Redaksi Sarklewer.com)

Tags: intelektualJulian BendaSuardi Tasrif
Tim Redaksi

Tim Redaksi

Media berita online berkantor di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fokus pada isu-isu ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, dan lingkungan.

Baca Juga

Berbagai jenis pangan lokal NTT dihadirkan di Pesta Raya Flobamoratas 2023 di Kota Kupang pada 3-4 November 2023. (Ayunda/KatongNTT.com)

Agar OVOP Tak Hanya Jadi Slogan

by PriyaHusada
9 Juli 2025
0

Gubernur Nusa Tenggara Timur, Melki Laka Lena, baru-baru ini mengajak Gereja Katolik terlibat aktif dalam program One Village One Product...

Perempuan Tak Aman, Negara pun Goyah

Perempuan Tak Aman, Negara pun Goyah

by PriyaHusada
20 Juni 2025
0

Buku Sex and World Peace mengajak kita melihat ulang dasar keamanan negara. Ternyata bukan terletak pada kekuatan militer atau pertumbuhan...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Katong NTT

Merawat Suara Hati

Menu

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

Follow Us

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
Sign In with Linked In
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi

Merawat Suara Hati