Saya sebenarnya tidak terlalu suka untuk difoto. Tapi dalam kunjungan ke Kecamatan Kot’olin beberapa hari lalu, saya terdorong untuk mengabadikan gambar ini.
Sebenarnya yang menjadi dorong itu adalah pemandangan ke arah lepas pantai Kolbano yang begitu menakjubkan.
Bisa dilihat dalam foto ini (jangan lihat wajah saya, hehehe), ada hamparan seperti pasir putih yang begitu indah. Namun sebenarnya itu adalah batuan berwarna-warni yang menjadi keunikan pantai Kolbano.
Sangat eksotis memang. Pantai dengan batuan berwarna-warni, yang bukan hanya sekedar jadi tempat refreshing, namun menjadi lahan bagi masyarakat setempat mengais rezeki.
Untuk sampai ke lokasi ini, harus melalui perjalanan yang cukup melelahkan bila Anda berangkat dari Kota Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT.
Saya search di google, jarak Kota Kupang ke pantai Kolbano itu 149, 6 km. Waktu tempuh dengan mobil (dalam catatan google maps) 3 jam 32 menit. Bila menggunakan kendaraan roda dua, waktu tempuhnya 3 jam 27 menit. Tentu waktu tempuh ini akan ditentukan oleh laju kecepatan kendaraan Anda, bisa lebih cepat bisa lebih lambat dari yang saya dapatkan di google maps.
Saya ditemani seorang teman, namanya Daud. Kami menempuh perjalanan dari Kota Soe, Ibu Kota Kabupaten TTS, melalui jalur Oinlasi menuju Kecamatan Kot’olin. Dari Kecamatan Kot’olin, saya melanjutkan perjalanan kembali ke Soe melalui jalur Kolbano.
Dari SoE ke Oinlasi, jalannya masih aspal meski di beberapa titik terdapat jalan berlubang. Sampai ke Belle 2, jalannya masih aspal dan mulus. Kami harus lebih berhati-hati saat memasuki Belle 1. Kondisi jalanan banyak batu-batu lepas dan bekas-bekas jalan aspal yang terkelupas dan sedikit saja yang tersisa.

Perlu perjuangan untuk bisa sampai ke Kot’olin. Harus mendaki dan menurun dengan kondisi jalan rusak. Bila belum lincah mengendarai sepeda motor atau baru pertama kali melalui jalan seperti ini harus ekstra hati-hati.
Sepanjang perjalanan, saya mengamati kekayaan alam yang dimiliki beberapa tempat seperti Belle 1 dan Belle 2, kemudian beberapa Desa lainnya sampai Desa O’obibi. Tempat-tempat yang saya sebutkan di atas adalah daerah-daerah yang subur, dengan potensi air yang melimpah.
Warga tidak kesulitan air bersih. Bak Pamsimas di mana-mana. Saya melihat tanaman pisang dengan daun-daun yang subur, kelapa dan pinang tumbuh berdampingan.
Meski sepintas, namun saya bisa menyimpulkan, daerah ini sangat subur. Sayangnya, akses jalan belum sebagus daerah-daerah lain. Akibatnya, hasil pertanian masyarakat pastinya dijual murah karena biaya transportasi yang cukup besar untuk mencapai daerah-daerah itu.

Seorang Lelaki berusia sekitar 60-an tahun di Dusun Bes’ao, Desa O’obibi membenarkan dugaan saya. Lelaki itu bernama Osias Missa. Rumahnya tidak jauh dari gunung Bes’ao dan berbatasan dengan SDN Bes’ao.
Osias bercerita, hasil pertanian mereka biasanya dijual murah kepada orang-orang yang membeli langsung di kampung mereka. Dengan berat hati, mereka harus menjual dengan harga murah. Tidak ada pilihan lain.
Saya bertanya pada Osias, harga jual alpukat di Desa itu berapa. Dengan nada yang berat, Lelaki tua itu menjawab hanya Rp. 25.000,-.
Jika memaksa untuk menjual di pasar Oinlasi misalnya, mereka akan rugi karena biaya transportasi yang terbilang mahal.
“Kalau kami ojek ke pasar Oinlasi itu lima puluh ribu. Kalau pergi pulang seratus ribu. Kalau dengan pickup kadang empat puluh ribu atau tiga puluh lima ribu. Itu belum lagi kembali ke rumah,” kisah Osias menggunakan bahasa Dawan.
Cerita Osias itu tidak bisa dipungkiri. Saya merasakan perjuangan melewati setiap tanjakan yang berkelok-kelok. Dengan kondisi jalan sirtu yang sudah terkikis aliran air hujan.
Dari Bes’ao kami ke Kot’olin. Masih dengan suasana yang sama. Jalan yang rusak, tapi potensi sumber daya alam melimpah. Sungguh miris.
Dari Kot’olin kami kembali ke SoE melalui jalur Kolbano. Sebelum sampai ke Kolbano, saya minta untuk mengambil beberapa gambar. Salah satunya yang adalah foto di atas.
Saya sangat takjub dengan potensi alam di TTS. Bukan sesuatu yang rahasia lagi, TTS memang dikenal punya banyak spot wisata. Dan pantai Kolbano salah satunya.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, tidak ada salahnya bila berhenti sejenak melepas penat. Sambil menghisap rokok, perlahan saya menatap sekeliling, menikmati lukisan Sang Khalik yang begitu indah.

Saya menghampiri Mama Maria Kase bersama ponakannya, Citra Kase yang sedang memilih batuan berwarna-warni untuk dijual. Proses memilih batu warna-warni ini membutuhkan ketekunan dan kesabaran.
Untuk mendapatkan sekarung batu, perlu waktu berjam-jam karena harus dipilih sesuai warna dan ukuran. Namun, kata Mama Maria, harga jualnya tak sebanding dengan usaha mereka.
Setelah cukup beristirahat dan bercerita dengan warga yang memilih batu warna-warni, saya mencoba mencari apa yang masih kurang dari pengelolaan wisata pantai Kolbano. Hal pertama yang saya temui adalah sampah yang berserakan.
Memang di lokasi pantai Kolbano tidak ada satu pun tempat pembuangan sampah. Banyak gelas air mineral, bekas bungkusan nasi, bungkus rokok dan sampah lain dibiarkan begitu saja.

Di pintu masuk pantai Kolbano, tidak terlihat seorang pengelola. Atau memang lokasi itu dibiarkan tanpa pengelola, saya juga belum tahu.
Dari sampah, saya mencari toilet di sekitar lokasi. Tidak ada satu pun toilet. Saya berpikir, mungkin pengunjung yang butuh ke toilet harus meminjam atau menyewa di rumah warga.
Kekaguman yang semula menggebu-gebu dalam dada, mulai bercampur dengan berbagai pikiran tentang potensi yang terabaikan ini. Meski itu tidak sepenuhnya menghilangkan rasa kagum saya pada indahnya alam Kolbano, namun pikiran itu selalu terbayang. Apakah tidak mungkin dikelola dan dimanfaatkan dengan baik potensi yang sangat besar ini? (K-04)