Pandemi Covid-19 di Kabupaten Sumba Timur telah mengubah kehidupan pedagang UMKM. Mereka harus berjuang untuk bertahan hidup dari hasil usaha mereka setiap hari.
Sementara bantuan pemerintah sehubungan dampak dari pandemi Covid-19 tidak dapat menjangkau masyarakat yang membutuhkan.
Seperti dialami para pedagang UMKM di Pasar Matawai, Kelurahan Matawai, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Pembatasan yang dilakukan pemerintah sejak Covid-19 merebak di Sumba Timur membuat omset pedagang UMKM, Yunita Bani menurun drastis. Sehingga untuk mencukupi kebutuhan makan-minum di rumah setiap hari semakin sulit.
Kepada KatongNTT di lapak jualannya pada Kamis (5/8), Yunita menuturkan sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Sumba Timur, keluarganya termasuk keluarga yang hidup berkecukupan setiap hari. Omset pendapatan harian berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta.
“Tidak cerita sombong, tapi kami berkecukupan dan lauk-pauk yang kami konsumsi dalam sehari saja bisa ganti-ganti,” jelasnya.
Namun kondisi ini berubah drastis setelah Covid-19 merebak sejak akhir April 2020 lalu hingga saat ini. Pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Bupati Sumba Timur tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang sudah 12 kali diperpanjang masa berlakunya.
Karena makin meningkatnya jumlah kasus aktif, tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit yang sudah diatas 75 persen dan persentase masyarakat menerima vaksin masih rendah, pemerintah pusat menetapkan Kabupaten Sumba Timur sebagai satu dari 45 kabupaten/kota di luar Jawa-Bali yang harus ikut memberlakukan PPKM level IV.
“PPKM kan ada batasan buka pasar, sehingga pembeli juga datang sesuai jam buka pasar sehingga pendapatan kami sehari kalau bisa laku Rp 500 ribu sudah sangat bersyukur,” kata Yunita.
Kondisi ini memaksa Yunita dan suaminya bekerja lebih keras agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup termasuk kebutuhan pendidikan anak-anak mereka.
Mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan tiga anak kandungnya, tapi juga dua keponakannya yang selama ini menjadi tanggung jawab mereka.

Kondisi berat ini memaksa Yunita meminta anak-anaknya dan keponakannya yang berusia tujuh tahun ikut berjualan keliling di pasar.
“Itu membuat saya menangis setiap hari karena mereka yang masih sekecil itu harus ikut menanggung beban keluarga,” ujarnya.
“Saya kadang sampai kasih target mereka harus bisa laku Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu setiap hari. Namun setiap menerima hasil jualan mereka saya menangis.”
Namun dari hasil perjuangan anak dan keponakannya itu, Yunita menyisihkan sebagian uang tersebut agar bisa membayar biaya kursys anak dan keponakannya agar tidak tertinggal dalam pendidikan mereka.
“Saya kasih les mereka (anak dan ponakannya) di luar, karena mereka harus tetap belajar dan tidak boleh tertinggal,” tegasnya.
Situasi berat akibat pandemi Covid-19 juga berdampak pada barang dagangan yang mereka jual.
“Sebelumnya kami jual semua jenis bama (makanan ternak ayam dan babi), tetapi sekarang kami hanya bisa jual dua jenis dan lainnya kami perbanyak di pa’u (dedak padi) agar lapak kami tidak kelihatan kosong,” tandasnya. (Al)