Oleh: Ryan Sudrajat P.Putra
(Staf Operasional Stasiun Klimatologi BMKG, Kupang)
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada September 2021 sudah memprakirakan musim hujan di wilayah Nusa Tenggara Timur akan berlangsung sampai Februari 2022. Terutama di wilayah yang sering mengalami banjir, kita harus mewaspadai bencana banjir dan kekeringan yang seolah menyatu dengan musim penghujan dan musim kemarau. Hujan turun kebanjiran. Kemarau datang kekeringan.
Haruskah siklus ini terus berulang dan menjadi rutinitas yang tak terhindarkan setiap tahunnya?
Setiap tahun berbagai bencana alam terus mewarnai perjalanan bangsa Indonesia termasuk Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mulai dari banjir, banjir rob, tanah longsor, serta bencana lainnya yang cukup variatif baik jenis, skala, maupun sebarannya. Sama halnya melihat korupsi atau kenaikan harga sembako, fenomena klasik dan rutin ini seakan telah akrab dan terkesan biasa bagi negeri ini. Banjir kerap terjadi saat musim penghujan dan kekeringan hampir pasti dialami di setiap kemarau.
Masyarakat sudah seharusnya lebih waspada dan berusaha berperilaku preventif menghadapi bencana alam yang sering terjadi setiap tahunnya. Mulai dari tidak membuang sampah sembarangan, tidak mendirikan bangunan di daerah rawan bencana.
Saat ini cuaca tak bisa diprediksi dengan pasti. Alangkah baiknya hujan tidak boleh selalu banjir, dan kemarau jangan selalu diidentikkan dengan kekurangan air. Tetapi bagaimana kalau kondisi lingkungan tidak memungkinkan?
Minimnya ruang terbuka hijau di kota-kota, minimnya kesadaran masyarakat atas kebersihan lingkungan akan selalu mengarahkan kita kepada rutinitas menyengsarakan yang tak wajar.Situasi ini tidak bisa diubah dalam sekejap.
Manusia pada umumnya membutuhkan air untuk dapat memenuhi beragam kebutuhan. Dimulai dari mencuci baju, mencuci piring, mandi dan membersihkan toilet. Bahkan untuk mencuci kendaraan, memandikan hewan peliharaan dan menyiram tanaman, semua kegiatan ini membutuhkan banyak air. Jika kita tidak mencari solusi cerdas dan tidak melakukan persiapan, bahkan ketika iklim yang dihadapi adalah kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan, maka kita akan mengalami krisis air bersih.
Air hujan menjadi sumber air minum utama di beberapa wilayah di muka bumi, terutama di wilayah–wilayah kering seperti di Nusa Tenggara Timur, sebagian daerah masih memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini karena tidak semua air tanah dan permukaan layak dijadikan air minum.
Air hujan sebenarnya tidak seburuk yang kita bayangkan. Meskipun teori yang mengatakan bahwa air hujan adalah hasil dari uap air laut yang terkontaminasi atau terkena pencemaran ada betulnya. Air hujan tidak sepenuhnya buruk untuk kelangsungan hidup manusia.
Sebenarnya air hujan itu adalah bentuk air paling murni yang ada di bumi ini. Dibandingkan dengan pasokan air minum saat ini, kandungan mineral air hujan relatif rendah. Di sebagian besar wilayah, pasokan air untuk dikonsumsi maupun untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari dua sumber utama, yaitu sumber air tanah (seperti sumur) dan air permukaan misalnya danau dan sungai.
Selain air tanah dan air permukaan, satu lagi sumber air yang berlimpah yaitu air hujan. Saat musim hujan tiba, air ditampung atau dipanen untuk berbagai keperluan. Istilahnya adalah memanen air hujan (rainwater harvesting). Teknik itu sudah diterapkan di negara-negara yang agak gersang, seperti Brazil, Afrika, Australia.
Dengan memanfaatkan dan memaksimalkan air hujan ini kita dapat mengendalikan air hujan yang ada sehingga tidak meluap menjadi banjir. Juga menyiapkan air saat musim kemarau datang. Air hujan yang turun selama ini banyak terbuang sia-sia. Meluncur deras ke daerah dataran tingginya gundul, mengalir di permukaan sebab sulit meresap ke bawah permukaan tanah. Lalu air meluap dari saluran sebab volumenya besar dan tersumbat sampah.
Banjir menjadi bencana dan sumber penyakit, baru surut sesudah kita menunggu beberapa lama. Sebenarnya air hujan bisa ditampung. Agar air hujan bisa diterima dengan baik oleh tubuh kalau ingin kita konsumsi membutuhkan proses perlakuan terhadap air hujan bisa dipelajari dan dibiasakan, tidak terlalu sulit.
Memanfaatkan air hujan menjadi istilah kegiatan menampung air hujan yang disimpan dan dimanfaatkan ketika musim kemarau tiba. Salah satu wilayah di Indonesia yang sudah mempraktekkan memanen air hujan adalah Kalimanatan Barat dan Yogyakarta.
Memanfaatkan dan Mengolah Air Hujan
Mengatasi permasalahan air, tentunya bagaimana meningkatkan aliran mantap tersebut. Untuk itu tidak bisa tidak, Run-off yang selama ini hanya terbuang percuma, perlu dikelola dengan baik. Salah satu cara yang efektif memanfaatkan air hujan adalah model rainwater harvesting (pemanenan air hujan). Melalui model ini, kepentingan jangka pendek dapat membuka kesempatan untuk dimanfaatkan sebagai irigasi, cuci, dan mandi. Untuk jangka panjang dapat menambah suplai air tanah dengan meresapkannya. Sistem semacam ini telah sukses diterapkan di Cina (Gansu), dengan membangun tangki-tangki penadah air hujan yang dapat diandalkan dalam sistem irigasi.
Kompleksnya permasalahan lingkungan, termasuk pengelolaan air hujan dalam rangka mengatasi krisis air pada musim kemarau tiba, tentunya menuntut penanganan terintegrasi antar-stakeholders, antar wilayah, dan antar bidang. Untuk itu, antar stakeholders hendaknya mampu membagi peran yang seimbang antara pemerintah, legislatif, yudikatif, swasta, dan mayarakat umum.
Interaksi tidak harus ditandai dengan duduk bersama, namun lebih pada pelaksanaan fungsi yang proporsional. Sedangkan kerja sama antarwilayah merupakan solusi untuk mengakomodasi kepentingan lingkungan yang lebih optimal dengan pendekatan ekologis (bioregionalisme) bukan administratif semata. Pola ini juga hendaknya masuk dalam konsep pembangunan wilayah yang lebih baik.
Konsep yang baik masih belum cukup tanpa diimbangi implementasi yang optimal. Pada tataran inilah muncul problem mendasar yang cukup kompleks. Hukum telah tersedia dengan rinci meskipun masih banyak yang kontroversial. Namun bukan itu masalahnya. Persoalan ada pada sangat lemahnya penegakan regulasi.
Birokrasi banyak berdiri, namun semakin banyak tumpang tindih dan berjalan sendiri-sendiri. Warisan budaya dan nilai moral-spiritual cukup lekat dalam kehidupan masyatakat, namun belum mampu menggerakkan kesadaran dan partisipasi secara masif.
Ironitas ini sejak lama merupakan dilema klasik pengelolaan lingkungan., termasuk sumber daya air. Konsep pemanfaatan air hujan sebagai alternatif solusi menghadapi krisis air, akan lebih efektif melalui partisipasi dan kemandirian masyarakat, di mana setiap individu pasti akan berinteraksi dengan air hujan.
Kiranya bukan hal mustahil untuk mewujudkan pengelolaan wilayah yang kekurangan air saat kemarau tiba dan aman dari banjir saat musim penghujan datang. Syaratnya yaitu efisien saat kekurangan dan menyimpannya saat air berlebihan. *****