Kupang – Tenun NTT kini dihadapi pada situasi untuk tetap mempertahankan kualitas sesuai budaya yang ada, atau justru mengikuti tuntutan pasar yang lebih mementingkan kenyamanan saat memakai tenun.
Banyaknya motif tenun NTT dengan teknik pembuatan yang berbeda, menjadikannya punya pangsa pasar yang besar. Hal ini disebut Julie Laiskodat beberapa waktu lalu.
Namun, Julie menyatakan, jika pasar menuntut kain tenun NTT yang lebih tipis.
“Pemakai tenun NTT permasalahan mereka adalah tebal, panas,” ujar ketua Dekranasda NTT ini.
Untuk itu, pihaknya telah membuat peraturan baru, yaitu UMKM di bawah binaan Dekranasda harus menenun dengan standar yang ada. Dengan menggunakan benang yang lebih halus dan lebih ringan.
Secara ekonomi, kain tenun mulai menembus pasar yang lebih luas. Namun secara budaya, kain tenun yang dibuat tipis dan ringan seolah melepas jati dirinya.
Melyaki Sabuin, kepala desa Oenoni I, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang yang ditemui pada pameran kain tenun ikat di Amarasi pada Senin, 15/8/2022 lalu menyatakan. Untuk tenun Amarasi misalnya, kain yang berkualitas dinilai dari tebal dan beratnya.
“Budaya kita orang Amarasi itu kalau kain tenun yang berkualitas itu yang tebal dan berat. Itu ciri khasnya. Jadi kita sudah terbiasa dengan itu. Jadi kalau masyarakat sini pakai yang tipis mereka tidak mau,” ujarnya.
Menanggapi akan hal ini, Ningsih Lema, Ketua pengurus perempuan di sinode GMIT mengatakan, kini terdapat dua tujuan dalam menenun. Untuk adat dan untuk fashion.
“Kalau sebagai simbol budaya ada pakem-pakemnya sendiri. Orang akan menghargai kalau dibuat secara tradisional,” jelas Ningsih dalam Diskusi Publik tentang Perempuan, Tenun, dan Pendidikan. Yang diselenggarakan Komunitas Hanaf & Panjarum, pada Kamis, 18/8/2022.
“Ada juga tenun itu sebagai fashion. Orang tidak mau tau cerita di balik (motif) itu. mereka tidak penting pakainya bagaimana. Ini kemudian mengikuti selera pasar. Sehingga bagi penenun jika pemenuhannya untuk adat, maka sesuaikan dengan adat. Kalau untuk fashion, sesuaikan dengan kemauan pasar,” sambungnya.
Hal ini dilakukan agar penenun bukan saja bisa terus memelihara budaya, tapi juga bisa mendapat keuntungan ekonomi bagi mereka dan keluarga mereka.
Komisioner Komnas perempuan, Dewi Kanti menyebut, penenun harus memaknai strategi pasarannya seperti apa. Ketika itu menjadi sebuah karya tangan manusia, nilainya lebih tinggi. Apalagi tenun dikemas dengan cerita yang memiliki makna motif tenun. Memiliki nilai jual yang tinggi.
Penenun disebutnya walau harus mengikuti keinginan pasar, namun tetap mempertahankan nilai jual tenun. Sehingga tidak dimanfaatkan penguasa.
“Kita jangan sampai terombang ambing atau dikalahkan opera kapitalis yang punya kekuatan modal untuk membeli. Tapi para penun sendiri tidak mendapatkan hal yang selayaknya. Untuk itu jangan menjual murah karya tangannya.” tegas Dewi. (Ruth)