Sampah harus dipandang sebagai sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan dapat dimanfaatkan.
Kupang – Persoalan sampah di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur membutuhkan skema pengelolaan yang tepat. Skema ini pun tentu akan menunjang pengelolaan yang berkelanjutan.
Yuvensius Stefanus Nonga, Kepala Divisi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kampanye WALHI NTT menilai skema pengelolaan sampah di Kota Kupang saat ini harus ditinggalkan. Paradigma pengelolaan sampah dengan skema kumpul, angkut dan buang dinilai tidak akan menunjang upaya menyelesaikan masalah sampah Kota Kupang.
Penjabat Wali Kota Kupang, George Hadjoh bertekad menyelesaikan persoalan sampah dalam waktu dua bulan. Berbagai upaya terus dilakukan, mulai dari mengatasi sampah di dalam pasar hingga ke lahan-lahan kosong yang kerap jadi sasaran pembuangan sampah.
Yuven mengatakan, semangat tersebut menjadi pintu masuk untuk menghadirkan skema baru pengelolaan sampah. Pasalnya, jumlah sampah plastik yang meningkat tanpa skema pengelolaan yang tepat menjadi persoalan pada kepemimpinan Kota Kupang yang sebelumnya.
“Paradigma pengelolaan sampah perlu dikembalikan sesuai mandat UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,” kata Yuven dalam rilis yang diterima Senin (29/8/2022).
Penerapan skema baru ini penting mengingat TPA Alak tidak didaur ulang. Sampah tersebut hanya ditutup menggunakan tanah putih lalu ditekan dengan alat berat.
Implementasi pengelolaan sampah oleh pemerintah kota Kupang masih pada skema kumpul-angkut-buang. Menurut Yuven, paradigma pembuangan akhir di TPA telah mengangkangi spirit UU Nomor 18 Tahun 2008.
“TPA merupakan tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan,” jelas Yuven.
Yuven menjelaskan, sudah saatnya meninggalkan skema lama tersebut. Menurutnya, sampah harus dipandang sebagai sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan tersebut misalnya untuk kompos, bahan bangunan maupun kerajinan lainnya yang bernilai ekonomis.
“Sedangkan yang dibuang adalah sampah yang benar-benar sudah tidak dapat dimanfaatkan, karena tidak mempunyai nilai ekonomi,” ujarnya.
Yuven meminta pemerintah Kota untuk melibatkan seluruh aktor pengelolaan sampah mulai dari pelaku usaha, masyarakat dan pemerintah sendiri. Hal ini dilakukan dengan berpijak pada kewajiban pelaku usaha terkait produk ramah lingkungan dan tanggung jawabnya atas residu yang dihasilkan dari sisa hasil jualan produknya.
Pengelolaan sampah dari rumah tangga perlu difasilitasi oleh pemerintah. Penangan dari hulu ini dinilai sangat membantu dalam pengelolaan sampah.
Kesadaran masyarakat menjadi salah satu faktor penting yang mendukung pengelolaan sampah. Yuven mengatakan, berbagai skema pengelolaan sampah yang akan dilakukan oleh pemerintah Kota Kupang tidak sedang membuat publik merasa nyaman menggunakan plastik atau produk-produk yang menghasilkan limbah berbahaya lainnya.
“Namun, kesadaran atas pilihan konsumsi publik merupakan satu cara partisipasi publik dalam mengatasi masalah sampah. Selain itu tanggung jawab tata kelola pelaku usaha atas produk-produk jualan yang masuk ke Kota Kupang,” kata Yuven
Selain itu, edukasi Sektor Formal dan Non Formal (pasar rakyat dan akses publik lainnya) terkait tata kelola sampah dan pilihan konsumsi yang ramah lingkungan.
Ia mengatakan, konsumerisme menjadi motor pengerak bagi dunia usaha yang tidak ramah lingkungan. Ketergantungan semu masyarakat atas produk-produk plastik perlu diedukasi kembali dengan pendekatan metode 3R serta mengembalikan ke tata kelola lokal.
WALHI NTT menyarankan, pemerintah Kota Kupang menjalankan mandat UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan tinggalkan paradigma lama “kumpul – angkut – buang” dalam pengelolaan sampah.
“Belajar dari Kota-Kota besar yang telah gagal dengan skema lama ini seperti Jakarta. Sampah di Ibu Kota selalu diidentikkan dengan gunungan limbah di TPST Bantargebang, Bekasi. Setiap harinya ada 6.500 hingga 7.000 ton sampah dari DKI Jakarta yang menambah ketinggian bukit di Bantargebang,” kata Yuven.
Ia menjelaskan, kapasitas TPST Bantargebang bisa mencapai 49 juta ton sampah. Namun, pada akhir 2018 kapasitas Bantargebang hanya tersisa 10 juta ton saja.
“Artinya, hanya butuh waktu kurang dari 3 tahun bagi TPST Bantargebang untuk beroperasi sebelum overload,” tambah Yuven.
Sebelumnya, dalam Coffe morning bersama wartawan, penjabat Wali Kota Kupang, George Hadjoh mengatakan penanganan sampah akan dilakukan secara menyeluruh sampai ke pantai. George mengatakan dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan gerakan membersihkan sampah di pantai dan laut.(Joe)
Baca juga: Penjabat Wali Kota Kupang Targetkan Masalah Sampah Teratasi 2 Bulan