Tarus – Menjalani hidup sebagai pendeta tanpa digaji, membuat Ferdinan Jebaut dan istrinya Elvina harus putar otak agar kebutuhan hidup mereka terpenuhi.
Ketika mereka mulai melayani di Semau, Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2010, Ferdinan dan Elvina memilih berjualan madu hutan.
“Tugas kami sebenarnya menggembala, pendeta. Tapi namanya pendeta di desa. Kami kan tidak ada gaji kalau gereja Pentakosta. Jadi untuk membantu ekonomi keluarga ya kita jual madu,” kata Ferdinan, 48 tahun.
Dia menjelaskan, hutan di Semau banyak menghasilkan madu. Namun masyarakat di sana hanya sebatas menjual madu di dalam pulau tersebut.
Melihat peluang ini, Ferdinan dan istri sepakat mengemas ulang secara layak madu tersebut. Kemudian menjualnya ke kerabat yang ada di luar Semau.
Mendapat respon baik dari kerabatnya di Bali, pasangan suami istri ini kemudian menggantungkan kehidupan mereka dari hasil penjualan madu.
Baca Juga: Tinggalkan Konsultan Teknik, Icha Djawas Fokus Berbisnis Aneka Sambal
Mereka mengemas ulang madu ke dalam botol dan memberi label dengan nama Madu Khas NTT.
Madu yang mereka temui di hutan Semau juga bukan hanya madu manis, namun ada pula madu pahit.
“Madu pahit ini orang bilang madu Klanceng. Memang banyak yang heran juga, kaget. Madu kok pahit? Pahit ini dari bunga yang mereka isap. Mungkin bunga Pepaya, bunga Mahoni. Dari (bunga) jambu biji dan jambu mete juga,” jelas ayah dari tiga anak ini.
Madu pahit ini belakangan menjadi madu dengan penjualan tertingi karena banyak khasiat yang dirasakan.
Berdasarkan pengalaman pribadi dan testimoni dari kerabat, madu ini dapat mengatasi antara lain asam urat dan masalah sulit tidur (insomnia).
Ketika terkena virus corona pada 2021, Elvina menyebut hanya mengonsumsi madu pahit ini dan sembuh.
“Memang belum diteliti dokter. Tapi ini obat corona. 2021 kami sekeluarga kena (Covid19), kami minum ini saja. Tetangga ada yang kena juga saya kasih ini. Minum, sehat,” ujar Elvina.
Ketika pandemi corona tahun lalu, Ferdinan banjir pesanan madu pahit. Dari Bekasi, Wonosobo, Ruteng, Sumba, dan di tempat lainnya.
Sehingga walau kegiatan di luar rumah dibatasi, namun penjualan tetap berjalan dan laku terjual.

Badai Seroja pada awal 2021 yang menerjang NTT membuat banyak pohon tumbang dan madu pun banyak rusak di hutan. Sekarang pun masyarakat mulai menyiapkan lahan untuk menanam sehingga beberapa pohon harus ditebang.
Situasi ini membuat produksi madu berkurang. Sehingga pasokan madu harus mereka cari juga di daratan Timor.
Kini, masalah yang mereka hadapi ialah penjualan ke luar yang makin berkurang. Tingginya harga tiket pesawat, membuat jumlah wisatawan berkurang di daerah pariwisata, seperti di Sumba.
“Padahal di Sumba itu awalnya kadang sampai satu minggu saja sudah habis. Tapi sekarang tiket (pesawat) mahal, wisatawan kurang, jadi penjualan madu juga ikut menurun,” keluh pria asal Manggarai, Flores ini.
Ditambah, muncul beberapa kompetitor di Sumba, sehingga berpengaruh juga ke penjualan madu mereka.
“Penjualan jadi tak tentu juga. Satu bulan itu bisa terjual 20-100 botol. Satu botol madu manis kami jual Rp100 ribu, madu pahit ini Rp125 ribu. Tapi ya itu, tidak tentu juga penjualannya,” ungkap Ferdinan.
Namun mereka sedikit terbantu sejak produk mereka dipesan Dekranasda NTT. Madu pahitnya lagi-lagi menjadi yang paling laku terjual.
“Sudah 1,5 tahun ini kami kerjasama dengan Dekra. Jadi ya tiap tiga minggu sekali mereka sudah pesan. Madu hitam ini paling cepat habis (terjual),” kata Ferdinan.
Baca Juga: Friets Mone Merawat Budaya Sabu Melalui Kamus
Terkait kemasan, awalnya mereka mengemas dalam botol plastik. Tetapi karena beberapa kali meledak, mereka pun menggantinya ke botol kaca.
“Madu asli kan uapnya tinggi, panas. Botol plastik tidak menghantar panas jadi beberapa kali kami titip di toko itu meledak. Kalau botol kaca kan bisa menghantar panas,” kata Elvina, perempuan asal Wonosobo, Jawa Tengah ini. *****
Silakan hubungi nomor +6282236486419 jika berminat untuk membeli produk UMKM ini. Ayo kita dukung kemajuan UMKM NTT!