Kupang – Udara pagi itu masih seperti lima bulan lalu. Panas, sedikit hujan, dan kepulan asap dari sampah yang terbakar menyesakkan dada.
Di gedung tua yang sudah tak terpakai itu, Ambius Bulu duduk mengepak kertas-kertas bekas. Sedang Rina, istrinya, mengumpulkan gelas plastik bekas air mineral.
Ambius dan Rina adalah pemulung yang setiap harinya bekerja di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Alak, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pasangan suami istri itu tak lagi muda. Keduanya bahkan lupa sudah umur berapa. Namun yang pasti, uban sudah memenuhi kepala mereka. Beberapa gigi sudah tak terlihat ketika berbicara. Keriput di kulit berbicara tentang kerasnya perjalanan hidup mereka.
Setiap pagi keduanya bergegas dari rumah mereka di Osmok, ke TPA Alak. Terkadang, oleh karena jarak rumah yang jauh, keduanya menginap di rumah tenda yang dibangun darurat di samping TPA Alak.
Tak bermasker apalagi bersarung tangan, dua lansia itu menyusuri tumpukan sampah yang baru diturunkan dari truk yang membawa sampah kota Kupang. Mereka mengais satu per satu sampah yang nanti bisa mereka timbang.
“Satu kilo harganya seribu rupiah,” kata Ambius sembari menanti istrinya membereskan sampah gelas yang terkumpul.
Pekerjaan ini yang menghidupi mereka sejak 1962. Bangun rumah dan membesarkan empat anak mereka, didapat dari hasil timbangan sampah ini.
Baca Juga: WALHI NTT Pastikan Gugat Pemkot Kupang Soal Sampah
Bau sampah sudah akrab di penciuman mereka. Bahkan sekalipun sejak Juli 2022, sampah di TPA tersebut terbakar. Ambius dan Rina, serta pemulung lainnya, mau tak mau harus tetap menghirup asap itu selama mengais rezeki.
Gas yang dihasilkan sampah serta pantulan cahaya matahari pada pecahan botol bekas, disebut pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota sebagai penyebab kebakaran tersebut.
Kabut Asap di Kawasan TPA Alak
“Su (Baca:sudah) hampir lima bulan. Dari Juli itu. Siang-siang (terbakar). Kami di sini. Kami lari ke rumah di Osmok. Tidak bisa (bernafas dan lihat),” kata Rina menceritakan situasi saat itu.
Untuk pertama kalinya TPA Alak terbakar. Kurang lebih selama seminggu, kegiatan mengais sampah di TPA tak terlihat. Kawasan TPA tertutupi asap tebal. Bahkan wilayah Alak dan sekitarnya terkena asap. Pemerintah Kota Kupang kemudian mencoba memadamkan api tersebut.
“Su siram mah (baca:tapi) tetap menyala,” ujar Ambius.
Tumpukan sampah menggunung, sedangkan banyak titik api muncul dari bawah, membuat air yang disiram tak mampu memadamkan keseluruhan api.

Hingga September 2022, kebakaran masih terjadi. Para pemulung dan warga Alak sempat berhenti bekerja dan terpaksa menghirup asap dari kebakaran sampah. Hal ini membuat warga mengalami sakit akibat asap tersebut.
“Beberapa masyarakat kena meriang, pernapasan sesak, mata perih, hidung pedis semua. Belum lagi kita sonde (baca:tidak) tahu di dalam tubuh ini kena Ispa kah, atau apa, kita tidak tahu,” kata Radit Giantiano, satu pemuda Karang Taruna di Alak.
Kebakaran besar kemudian masih terjadi di 10-12 Desember 2022. Radit mengatakan di 11 Desember malam, kebakaran kian menjadi. Kawasan Alak tertutupi asap. Bau sampah menyengat di penciuman warga.
“Itu kejadian jam 10 malam. Katong (baca:kita) setengah mati bernafas. Saya yang masih muda saja mata pedis. Dan bau sampah itu sangat menyengat. Padahal sudah kasih nyala kipas angin, buka jendela, tapi sama saja. Kita yang sehat saja, dampaknya begini. Apalagi orang yang sudah punya penyakit bawaan,” cerita Radit.
Mereka kemudian membagikan situasi terkini di grup Whatsapp yang terdapat Penjabat Walikota Kupang di dalamnya. 12 Desember pagi, pemerintah mengirim tiga damkar untuk memadamkan api.
“Ternyata sampai sana damkar tidak efektif. Api tetap menyala,” kata Radit.
Asap masih terus menguar bersamaan dengan bau sampah. Radit dan beberapa warga Alak lainnya kemudian melakukan pengaduan ke Kelurahan, DPRD, Polda NTT, dan Penjabat Walikota. Namun tak ada tanggapan berarti hingga saat ini.
“Pemerintah seperti sonde serius tangani ini. Mereka hanya begitu saja. Padahal ini sudah melanggar hak dasar kami untuk mendapat air yang baik, udara yang segar,” jelasnya.
Seolah tak cukup, kini ditemukan lagi sampah rumah sakit yang masuk dalam limbah B3 (Bahan berbahaya dan Beracun) terbuang secara utuh di TPA Alak.
Baca Juga: Walhi Temukan Sampah B3 Dua Rumah Sakit di TPA Alak
“Sekarang rumah-rumah sakit sudah buang anteru-anteru (utuh) sampah,” kata Ambius sambil melihat jarum suntik yang nampak di depannya.
Limbah Rumah Sakit B3 Yang Tanpa Penanganan
Kantung darah, selang infus, jarum suntik bekas pakai lengkap dengan darah yang masih tertinggal nampak jelas pada tumpukan sampah yang baru diturunkan pagi itu.
Ambius mengatakan, di waktu lalu sampah rumah sakit dibakar di alat yang tepat berada di depan pandangannya (insinerator). Namun Insinerator itu sudah menjadi sampah pula. Tak bisa dipakai sejak lama.
Beberapa berkas bertuliskan RSU W.Z. Yohanes Kupang terlihat saat beberapa selebaran terbuka tertiup angin.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup (Wahi) NTT telah lebih dulu mendapati limbah Rumah Sakit yang disebut milik RS Leona, Kupang.
Pihak RS Leona yang dihubungi, tak merespon hingga kini. Sedangkan di RSU W.Z. Yohanes Kupang, Insinerator sudah tak beroperasi karena lokasinya yang berada di tengah kota.
Di waktu dan tempat yang berbeda, Ondy Siagian, kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan NTT sebagai pengelola limbah RSU W.Z Yohanes Kupang, menampik jika limbah RS di TPA Alak adalah milik RSU itu.
“Kami punya insinerator di Manulai. Jadi Rumah sakit yang bekerja sama dengan kami semuanya bawa ke Manulai. Hampir semua rumah sakit di daratan Timor kerja sama dengan kami. Urusan sampah tercecer itu bukan urusan kami,” kata Ondy.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (RI) Nomor 18 Tahun 2020, limbah RS yang termasuk dalam sampah B3, berpotensi menimbulkan risiko penularan penyakit dan gangguan kesehatan. Selain itu pencemaran lingkungan hidup dan penyalahgunaan.
Alat dan bahan yang bersentuhan dengan penyakit menular dari pasien, dapat mengandung jasad renik. Yang dapat menimbulkan demam tifoid, kolera, disentri, dan hepatitis.
Kota Kupang yang dikenal sebagai kota Karst dengan struktur tanahnya yang berongga, membuat penumpukan sampah seperti ini ketika terjadi hujan, airnya masuk ke tanah.
Sedangkan di Kupang cenderung memiliki sungai di bawah tanah. Memungkinkan pencemaran air dari sampah di TPA Alak dapat tersebar ke hampir seluruh wilayah di Kota Kupang.
Perihal sampah yang terbakar, limbah B3 yang dibuang utuh tanpa prosedur, asap kebakaran sampah yang tercium, air yang tercemar, dan pemilik kuasa yang acuh, menjadi realita yang harus diterima Ambius, Rina, dan para pemulung lainnya.
Mengais yang telah dibuang, harus terus dilakukan demi melanjutkan hidup.
Walhi NTT dalam catatan akhir tahun mereka menyebut, kebakaran TPA Alak akibat pembiaran serta minimnya pengawasan, menunjukkan pemerintah Kota Kupang salah menggunakan wewenang.
Metode pembuangan terbuka (open dumping) harusnya sudah tak dipakai lagi pasca disahkannya UU No 18 Tahun 2008.
Metode ini tidak terhindar dari praktek pencemaran dan pencampuran berbagai jenis sampah yang kemudian memperparah krisis iklim.
Kondisi air tanahnya pun perlu dipertanyakan. Apakah masih layak konsumsi ataukah sudah terkontaminasi berbagai zat beracun.*****