Terik matahari tidak menyurutkan semangat Apto. Bersama beberapa penjual lainnya, Apto menawarkan jagung muda yang sudah direbus pada setiap pengendara yang berhenti.
Arus kendaraan terus memadati ruas jalan negara yang melintasi kelurahan Oesao, Kabupaten Kupang, NTT. Satu dua pengemudi menghentikan kendaraannya di tepi jalan.
Apto dan teman-temannya buru-buru menemui mereka. Mata mereka selalu sigap melihat lampu sein kendaraan. Tangan mereka cekatan menjinjing ember tutup berisi jagung rebus.
Apto merupakan pekerja paruh waktu di situ. Dia membagi waktunya antara sekolah dan juga kerja. Apto menjajakan jagung untuk biaya sekolah dan membantu orangtuanya.
Jagung itu diambil dari kebun petani di wilayah Kabupaten Kupang. Para penjual membeli dalam jumlah banyak lalu dijual kembali dalam kondisi rebus maupun mentah.
“Kita beli satu rit itu 2.000 sampai 2.500 buler,” kata Roni kepada katongNTT, Senin, 24 Januari 2022.
Roni dan istrinya menyewa tempat di pinggir jalan tersebut. Tempat itu disewa setahun Rp 1 juta. Dia menekuni pekerjaan itu sejak 8 tahun lalu.
Roni mempekerjakan dua orang lainnya untuk membantu jualan. Sementara istrinya membantu merebus jagung.
“Kalau sepi, jagung satu rit itu bisa sampai 2 hari baru laku semua,” ujar Adrian Tauho, istri Roni.
Satu ember tutup kecil biasanya berisi 7-10 buler. Harga dipatok Rp. 10 ribu untuk 7 buler dan Rp. 15 ribu untuk 10 buler.
Hari ini adalah salah satu hari yang menurut mereka sepi. Hari Senin-Jumat sedikit membuat kening para penjual berkerut. Di Sabtu dan Minggu, jagung 1 rit yang dibeli dari petani akan habis terjual dalam sehari.
“Setiap hari selalu ada pembeli. Biar sepi pasti selalu ada yang beli,” kata Yared Faot, penjual lainnya.
Sejak 2018, Yared memilih untuk berjualan jagung rebus. Para penjual jagung di lokasi tersebut didominasi warga dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Pendapatan mereka tidak menentu. Meski begitu, mereka tetap mendapatkan untung dari penjualan tersebut.
Walaupun selalu ada pembeli, bukan berarti mereka tidak mengalami masa-masa sulit. Badai Seroja yang menghantam NTT pada April lalu meluluhlantakan pondok yang mereka bangun di tepi jalan. Mereka pun harus membangun dari awal.

Pondok-pondok berjejer berdinding potongan-potongan papan kayu. Atapnya dari seng-seng bekas untuk menahan panas dan air hujan.
Di dalam pondok tersebut, mereka membuat tungku. Menaruh dandang berukuran besar diatas tungku. Terik matahari bercampur dengan asap dan panasnya api menjadi saksi perjuangan mereka.
“Pengeluaran kami dari beli jagung, kayu api, air untuk masak sampai kantong plastik untuk bungkus,” kata Adriana.
Keuntungan dari penjualan tersebut tidak banyak. Mereka harus membagi dengan pekerja yang membantu berjualan.
Tidak ada penetapan gaji. Mereka hanya membagi hasil keuntungan dari penjualan dan tetap menjaga modal untuk terus berjualan.
Hasil jualan, selain digunakan untuk biaya hidup, juga untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Roni dan istrinya dikarunia dua orang buah hati.
Anak mereka yang pertama berusia 7 tahun kini kelas 2 SD. Anak kedua berusia 5 tahun di bangku pendidikan TK. Kedua anaknya tinggal dan bersekolah di Kabupaten TTS.
Setiap hari mereka berjualan dari pukul 06 WITA. Aktivitas itu berlanjut hingga larut malam. Jagung yang ada diusahakan laku terjual.
Sore itu sekitar pukul 14.30 WITA, sudah 4 dandang jagung yang direbus oleh Roni dan istrinya.
Jumlah penjual di lokasi itu puluhan orang. Mereka menjajakan jualannya dengan tertib. Tidak saling rampas. Meski tampak berebut saat ada pengendara yang berhenti di depan mereka.
Berlari menghampiri pembeli, berteriak menawarkan jajanan. Suara mereka melenting, bersahutan di udara. Yang lain akan berlari kegirangan menuju pondok saat ember tutup kecil itu kosong.
Lainnya tampak berjalan lesu bila tidak berhasil merayu pembeli. Mereka bersenda gurau, tertawa lepas melawan terik matahari yang terus menyengat.
Derap langkah akan kembali dipercepat menghampiri mobil maupun motor yang berhenti. Ayunan kaki dan teriakan dengan satu harapan yang pasti, jagung rebus itu segera laku. (k-04)