Kupang – Setiap akhir pekan, KatongNTT.com berusaha menyajikan tulisan ringan seputar pangan dan kearifan lokal. Beberapa diantaranya sudah disajikan seperti Laku Tobe dan Sombu yang berbasis singkong. Sejumlah tulisan sebelumnya juga sudah diulas, meski bersifat umum dengan maksud mengingatkan ada budaya pangan lokal. Jauh sebelum beras dan terigu ‘menjajah’ masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) dan puluhan juta warga Indonesia Timur lainnya.
Judul diatas mungkin terkesan sulit dipahami. Setidaknya itu menunjukkan betapa ‘rumitnya’ merangkai kalimat yang tepat agar mudah dimaknai pembaca. Penjelasan singkat dalam tulisan ini bisa memudahkan pemahaman yang mau disampaikan setelah sepekan berada di Kupang dan Maumere.
Baca : Puncak El Nino, NTT Dilanda Kekeringan Ekstrem dan Angin Kencang
Sejak akhir 2022 lalu, prediksi El Nino yang memicu kemarau panjang sudah disampaikan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Pemerintah pusat pun menyiapkan sejumlah antisipasi, salah satunya sudah dibahas dalam rapat kabinet Juli lalu. Di NTT, meski dalam skala kecil, pemerintah provinsi sudah berupaya menyiapkan sumur bor, pompa air dan sejumlah bantuan lainnya untuk mengantisipasi kekeringan. Antisipasi jangka pendek tersebut sangat diperlukan karena bisa berpotensi bencana kelaparan.
Namun, agenda jangka panjang agar komoditas pangan yang bisa beradaptasi dengan perubahan iklim jauh lebih penting. Sorgum sebenarnya sudah akrab dengan masyarakat NTT, tapi sepertinya hanya jadi pembahasan yang fenonemal. Mulai dari Presiden Joko Widodo beserta jajarannya seperti Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang bolak-balik Pulau Sumba. Mudah-mudahan ikon sorgum tidak tenggelam lagi setelah lebih dari satu dekade silam pernah ramai. Dahlan Iskan sebagai salah satu menteri era Soesilo Bambang Yudhoyono, juga berkeliling hingga ke Timor (Malaka) untuk mengangkat potensi sorgum. Penulis kebetulan saat itu pernah diajak lembaga Swisscontact mampir ke Adonara, Flores Timur, untuk melihat kelompok petani yang kemudian belakangan menjadi cikal bakal booming sorgum.
Baca : Uwi Ai Ndota, Singkong Cincang dari Ende yang Lezat dengan Kuah Ikan
Selain sorgum, ada tradisi dan kearifan lokal lainnya, yakni singkong atau di Indonesia Timur lebih dikenal dengan ubi kayu. Di Papua atau Maluku lebih akrab dengan kasbi. Pada Selasa (4/7/2023) lalu digelar webinar dengan tema Singkong, El Nino, dan Antisipasi Rawan Pangan NTT yang diinisiasi Masyarakat Singkong Indonesia (MSI). Tentu ada berbagai upaya sejenis yang juga dilakukan banyak pihak untuk mengantisipasi rawan pangan.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebagai salah satu lembaga yang berwenang soal pangan juga sering menyebutkan antisipasi atas badai kemarau El Nino tersebut. Salah satunya mengoptimalkan pasokan pangan lokal yang tidak tergantung pada beras. Apalagi, dampak perang Ukraina-Rusia menyebabkan pasok gandum berkurang dan beberapa negara, seperti India, mulai mengentikan ekspor beras karena khawatir krisis pangan global.
Baca : Impor Meningkat, 13 Menteri Hingga Presiden Pernah Berkunjung dan Bahas Garam NTT
Namun, harapan terhadap lembaga baru ini yang lahir karena Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pun masih banyak ditunggu. Usai rapat terbatas di Istana Negara pada awal Agustus lalu, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan pihaknya mulai memperbesar pangan beras hingga Desember 2023.
Bertepatan dengan HUT Bapanas di alun-alun Kantor Gubernur NTT, Sabtu (12/8/2023) lalu, Gubernur NTT Viktor B Laiskodat pun memberikan pernyataan seputar kemiskinan dan cium nasi putih. Pernyataan yang menjadi kontroversi itu mendapat ragam tanggapan di media sosial. Mudah-mudahan semua pihak yang heboh di media sosial tidak melupakan substansi utama mendorong pangan lokal dan tentunya memberi prioritas ketersediaan protein.
Baca : Ikan Asap “Belo-Belo”, Kuliner Khas Alor untuk Pemberdayaan Perempuan
Selang beberapa hari usai Bapanas bagi-bagi beras di Kupang, ada inisiatif baik dari beberapa koalisi masyarakat, seperti Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Voices for Just Climate Action (VCA), dan WRI Indonesia. Dalam semiloka yang digelar di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Senin (14/8/2023) ditekankan perlunya keberagaman pangan lokal sebagai fondasi ketahanan pangan di NTT yang beriklim kering. Sayangnya, pola konsumsi masyarakat masih didominasi beras dan terigu dari luar wilayah sehingga meningkatkan kerentanan pangan dan gizi.
Semoga El Nino yang dalam bahasa Spanyol artinya “anak laki-laki” ini mempercepat langkah-langkah nyata memuliakan pangan lokal. Bisakah dengan membatasi pasokan pangan dari luar NTT? Sangat sulit dan kompleks. Mungkin inilah namanya keberanian sejati dari para kepala daerah. Kalaupun gagal harus diberi apresiasi karena sudah pernah dicoba. Selamat menyambut El Nino de Navidad. [Heri SS]