
Ironi Eliasar, Penyandang Disabilitas Berjualan Buah di Tepi Jalan
Eliasar Seo, penyandang disabilitas yang berjualan buah di Pasar Inpres Naikoten I Kota Kupang sejak 2011 resah.Pendapatannya anjlok dipicu pandemi Covid-19 yang menerjang ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur itu.
Eliasar berasal dari Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Lantaran menjadi penjual tetap di Pasar Inpres Naikoten I, dia menjadi warga Kelurahan Nunleu, Kecamatan Kota Raja, Kota Kupang.
Sehari-hari pria beranak satu ini sebelum pandemi berjualan berbagai jenis buah-buahan tentu saja sesuai musimnya. Saat ini Eliasar hanya menjual jeruk yang dipesannya dari Kabupaten TTS.
“Jadi kalau musim mangga saya jual mangga,” kata Eliasar saat dijumpai pintu masuk pasar pada Sabtu, 28 Agustus 2021.
COVID-19 adalah masalah baru baginya selain masalah lain sehubungan dengan kedua kakinya yang tidak dapat berfungsi baik sejak usia remaja.
Pandemi Covid-19, ujar Eliasar telah mengurangi penghasilannya . Saat ini dia hanya membawa pulang penghasilan Rp 400 ribu per bulan setelah dipotong kebutuhan makan minum sehari-hari.. Sedangkan saat tidak terjadi pandemi keuntungan yang ia peroleh per bulannya bisa lebih dari Rp. 500 ribu.
Sejak 2021 ini, Eliasar melanjutkan, harga 14 kilogram atau per dus jeruk meningkat sekitar Rp. 600 ribu hingga Rp. 700 ribu. Sedangkan tahun sebelumnya berkisar Rp. 300 ribu per dus.
Dengan situasi ini ia terpaksa Eliasar menjual jeruknya seharga Rp. 55 ribu per kilogram. Parahnya lagi, dua dus jeruk baru habis terjual sepekan lamanya.
“Satu hari itu paling tinggi laku 2 kilo, kalau ramai laku 4 kilo,” ujarnya.
Peningkatan kasus COVID-19 di Kota Kupang bahkan hingga dengan penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level IV sangat terasa baginya.
“Corona semakin meningkat kita semakin susah,”kata Eliasar mengeluhkan.
Setelah berjualan Eliasar biasanya membeli kebutuhan sehari-hari dengan uang hasil jualan hari itu. Istri dan anaknya lebih banyak mengkonsumsi sayuran yang dia beli dari pasar sebelum pulang.
Pria berusia 46 tahun ini mengaku mau tidak mau ia harus bertahan dan tak ingin banyak mengeluarkan. Istrinya bekerja sebagai ibu rumah tangga. .
Dari pagi hingga matahari terbenam, Eliasar bertahan. Lapaknya berada di tepi jalan, berhimpitan dengan pagar toko.
Eliasar mengenang masa remaja ketika bersekolah sambil berdagang. Pada umur 15 tahun, dia mengambil hasil bumi di tempat asalnya di TTS untuk memasoknya kepada pedagang pasar di Kota Kupang. Dia lakukan itu sambil bersekolah.
Dengan kedua kakiknya lumpuh dan tanpa tongkat penopang tubuh, Eliasar memasok tomat, lombok, ayam dan lainnya termasuk ubi kayu. Hasil bumi bawaannya ia gantungkan ke leher dan menggendongnya di punggung. Dia memasoknya ke penjual-penjual di pasar dengan transportasi umum dari TTS.
“Saya sambil merayap pakai tangan saja. Saya sakit itu mulai umur 10 tahun,” ujarnya.
Ayah Eliasar sudah meninggal saat dia berumur 3 tahun. Tidak ada pengobatan ke rumah sakit saat dia diserang sakit hingga akhirnya lumpuh. Sepanjang hidupnya hanya dukun kampung yang memeriksa kondisi kakinya. Ini semata-mata karena situasi perekonomian ibunya yang tak mampu ke dokter.
Eliasar berusia 15 tahun saat ibunya meninggal.
“Ibu tidak sanggup karena kebutuhan dalam rumah tidak mencukupi apalagi anak delapan orang, jadi ibu hanya berusaha kasih makan, kasih sekolah,” ceritanya.
Untuk itulah ia terus berjualan meskipun dalam kondisi serba sulit agar dapat makan, bisa sekolah, mampu bertahan hidup. Hingga dengan kondisi Pandemi Covid-19 saat ini, Eliasar, penyandang disabilitas ini harus berjualan bermodalkan masker kain untuk mencegah tertular virus. (Ra)