Dari laboratorium sunyi di Brasil, Hungria memimpin revolusi pertanian yang tak hanya menyelamatkan petani, tapi juga membuka jalan bagi cara bertani yang berkelanjutan. Sebuah inspirasi nyata bagi perempuan di Nusa Tenggara Timur.
Saat dunia sibuk mencari solusi pangan lewat teknologi canggih, seorang perempuan ilmuwan dari Brasil membuktikan bahwa penyelamat pertanian justru bisa datang dari hal paling sederhana: bakteri tanah. Namanya Mariangela Hungria, dan risetnya berhasil menyelamatkan triliunan rupiah, mengurangi ratusan juta ton emisi karbon, dan memberdayakan cara bertani yang lebih ramah lingkungan — semua dipimpin oleh tangan perempuan.
Baca juga: Kedaulatan Pangan Lokal NTT, Tantangan dan Peluang
Pekerjaan yang Awalnya Diremehkan, Kini Diakui Dunia
Mariangela Hungria adalah ilmuwan mikrobiologi dari Brasil yang pada tahun ini meraih World Food Prize 2025, penghargaan yang disebut sebagai “Nobel-nya pangan dan pertanian dunia.” Tapi jalannya tak mudah. Saat ia mulai meneliti bakteri tanah sebagai pengganti pupuk kimia, banyak orang menyebutnya gila.
“Semua orang bilang, ‘Kamu gila! Ini nggak akan berhasil’,” kenangnya dalam wawancara bersama NPR.
Namun kerja keras dan keyakinannya pada kekuatan mikroorganisme membuahkan hasil. Inokulasi bakteri pada biji kedelai yang dikembangkan Hungria kini digunakan di lebih dari 40 juta hektar lahan pertanian di Brasil. Hasilnya luar biasa: petani hemat $25 miliar (sekitar Rp 405 triliun) per tahun dan mengurangi lebih dari 230 juta metrik ton emisi CO₂ per tahun.
Bukti Nyata Bahwa Sains Tak Harus Mahal
Dalam dunia pertanian yang masih sering bergantung pada pupuk kimia mahal dan merusak tanah, temuan Hungria membuka jalan baru. Dengan mengandalkan rhizobia, bakteri tanah alami yang membantu tanaman menyerap nitrogen langsung dari udara, ia membantu petani mengurangi biaya dan menjaga kesuburan lahan.
Bayangkan jika metode ini diterapkan di daerah seperti Nusa Tenggara Timur, di mana petani kecil sering tak punya akses pada pupuk modern. Penemuan ini bisa membuka jalan menuju kemandirian pangan berbasis lokal, sekaligus mengurangi dampak lingkungan yang selama ini diabaikan.
Baca juga: NTT Didorong Tingkatkan Produktivitas Singkong Guna Antisipasi Rawan Pangan
Menantang Budaya Bertani yang Maskulin
Hungria juga mengkritisi cara pandang dunia terhadap pertanian yang ia sebut terlalu maskulin — mengejar hasil maksimal, membuka lahan baru, dan melupakan keseimbangan alam.
“Pertanian selama ini dibentuk oleh logika maskulin: kuasai lahan, kejar produksi. Padahal perempuan cenderung ingin merawat tanah yang sudah ada,” jelasnya kepada WCAI (sebuah stasiun radio publik di negara bagian Massachusetts, Amerika Serikat, yang merupakan bagian dari jaringan NPR-National Public Radio)
Pernyataannya relevan bagi banyak perempuan di NTT yang selama ini sudah lebih dulu mengelola lahan secara berkelanjutan — menanam di kebun kecil, mengandalkan musim, dan menjaga tanah agar tetap hidup. Tapi suara mereka jarang dianggap penting dalam kebijakan pertanian nasional. Hungria, dengan platformnya, menyuarakan yang selama ini hanya disimpan di akar rumput.
Dari Brasil untuk Dunia, Termasuk Indonesia Timur
Brasil dan NTT memang jauh, tapi tantangannya serupa: iklim yang berubah, tanah yang rentan erosi, dan petani yang kerap dilupakan. Di Brasil, produksi kedelai meningkat dari 15 juta ton jadi lebih dari 170 juta ton berkat pendekatan biologis ini.
“Saya ingin kita berhenti memperlakukan tanah seperti musuh. Ini bukan perang, ini rumah,” — Mariangela Hungria.
Bayangkan dampaknya jika pendekatan yang sama dikembangkan di NTT. Kita tidak harus meniru model industri besar, tapi bisa mengadopsi prinsip penghormatan pada tanah, ilmu hayati, dan kerja kolektif yang selama ini telah menjadi kekuatan masyarakat adat dan petani perempuan di wilayah ini.
Perempuan dalam Sains, Bukan Pengecualian
Penghargaan sebesar $500.000 yang diterima Hungria bukan hanya simbol pengakuan ilmiah. Ini juga simbol bahwa perempuan punya tempat di sains, di laboratorium, dan di ladang.
Seringkali, anak perempuan di NTT masih dianggap tidak cocok berkarier di bidang sains atau teknologi. Tapi kisah Hungria bisa menjadi inspirasi baru bahwa sains tidak harus jauh dari rumah, dan bahwa merawat tanah pun bisa menjadi pekerjaan ilmiah yang berdampak global.Peringatan untuk Dunia, Harapan untuk Kita
Kemenangan Hungria datang di saat para ilmuwan dunia justru mengingatkan bahwa kita belum siap menghadapi masa depan pangan. Surat terbuka yang ditandatangani 153 penerima Nobel dan World Food Prize menyebutkan bahwa kita “jauh dari cukup” dalam menghadapi krisis pangan akibat iklim, air, dan kerusakan tanah.
Tapi di tengah peringatan itu, ada harapan. Riset seperti yang dilakukan Hungria membuktikan bahwa solusi bisa datang dari akar, dari mikroorganisme kecil yang tak terlihat, dan dari perempuan-perempuan yang bekerja diam-diam — di laboratorium, di kebun, dan di kampung.
Baca juga: Warga Desa Kairane di NTT Rawat 9 Jenis Bibit Jagung Lokal dari Kepunahan
Di tengah dunia yang terlalu cepat dan terlalu bising, ilmuwan seperti Mariangela Hungria mengingatkan kita bahwa perubahan besar bisa datang dari hal yang kecil — bahkan sekecil bakteri di tanah. Dan bahwa perempuan, di mana pun mereka berada, punya peran penting dalam menjaga bumi tetap bisa ditanami dan dihidupi.
Bagi perempuan-perempuan di NTT yang selama ini sudah merawat tanah dengan penuh kasih, mungkin ini saatnya bersuara lebih nyaring. Bahwa ilmu dan tradisi bisa berjalan bersama, dan bahwa kita semua punya bagian dalam menyelamatkan masa depan pangan dunia. Dari ladang, dari laboratorium, dari kampung-kampung kita.[*]