Kupang – Jumlah pekerja anak di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami peningkatan setiap tahun. Data dari Dinas Sosial Kota Kupang, tahun 2022 setidaknya ada sekitar 700 anak yang dipekerjakan.
Kepala Dinas Sosial Kota Kupang, Lodywik Djungu Dape kepada KatongNTT, Kamis (2/6/2022) mengatakan, anak-anak tersebut bekerja dengan berbagai alasan. Mereka dipekerjakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
“Rata-rata mereka dari keluarga tidak mampu yang membiarkan anak-anaknya bekerja,” kata Lodywik.
Sebagian dari anak-anak yang bekerja adalah pelajar. Namun sisanya tidak bersekolah karena alasan ekonomi. Lodywik menjelaskan, rata-rata anak-anak ini punya orang tua dan keluarga.
Meskipun ada anak-anak yang bekerja usai jam sekolah, Lodywik mengatakan, anak seharusnya tidak dipekerjakan.
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 68 menegaskan terkait batasan usia bagi seorang pekerja. Anak di bawah 18 tahun tidak diizinkan untuk bekerja.
Lodywik menilai, maraknya pekerja anak salah satu faktornya adalah minimnya kesadaran orang tua di samping masalah ekonomi.
Usia anak bukan usia bekerja. Menurut Lodywik, anak seharusnya mendapatkan haknya bersekolah dan bermain bersama teman sebayanya.
“Sebenarnya ada pasal eksploitasi anak yang dilanggar,” ujarnya.
Hasil penelitian Bergita Babur pada 2021 tentang kehidupan sosial ekonomi pekerja anak di Pasar Naikoten Kupang, mengelompokkan mereka menjadi anak sebagai pedagang dan anak sebagai penjual jasa. Bergita menyimpulkan pendapatan anak yang bekerja masih tergolong rendah. Meski begitu, kebutuhan ekonomi keluarga jadi pemicu keterlibatan anak untuk bekerja.
Baca juga: Menyambung Hidup dari Setumpuk Koran
Faktor lain yang menjadi pemicu adalah pandangan masyarakat. Anak yang bekerja dianggap sebagai anak yang mengabdi pada orang tua. Selain itu, pengaruh lingkungan juga turut menentukan pilihan anak. Kebanyakan anak-anak bekerja karena melihat teman-temannya bisa menghasilkan uang sendiri.
Lodywik mengatakan, pihaknya terus mendorong kesadaran publik untuk tidak mengeksploitasi anak-anak. Setiap kali ada razia dan menemukan pekerja anak, pihaknya selalu memberikan pembinaan dan pemahaman bagi orang tua.
“Kami dorong kembali ke fungsi keluarga untuk mengasuh dan membina bukan mengeksploitasi anak,” kata Lodywik.
Namun sejauh ini, kata Lodywik, ada oknum tertentu yang mendatangkan anak-anak dari daerah untuk dipekerjakan. Ia menyarankan aparat penegak hukum menyelidiki persoalan ini agar tidak mengorbankan anak-anak.
Dari jumlah tersebut, setidaknya ada 300-an anak yang saat ini berada di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Mereka, kata Lodywik, mendapatkan pendidikan dan pembinaan di LKSA tersebut.
“Mereka tersebar di tiga LKSA di Kota Kupang, yakni LKSA Obor Timur, LKSA Nusa Bunga dan LKSA Asuhan Kasih,” kata Lodywik.
Akhir Desember 2021, KatongNTT menemui beberapa anak penjual koran di perempatan kantor Gubernur NTT. Mereka mengaku menjalani aktivitas tersebut setelah jam sekolah. Mereka juga punya waktu lebih banyak untuk berjualan sebab saat itu pembelajaran masih berlangsung secara online.[Joe]