
Kisah Buah Ketekunan Katarina Kedo Pa, Pengrajin Tenun Ikat NTT
Kupang– Rumput liar kekuningan menutupi jalan setapak menuju rumah Katarina Kedo Pa, pengrajin tenun ikat di kawasan Belo, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Rumah berdinding batu tanpa acian berjarak sekitar 200 meter dari Perumahan Sejagad. Letaknya di sisi kiri jalan tak beraspal.
“Mari Ibu, kita berjalan ke rumah saya,” kata Katarina tersenyum ramah kepada tim KatongNTT.com yang mengikuti langkahnya di tengah terik matahari di hari Sabtu, 23 April 2022.
Dua ekor anjing dan seekor anak kucing berbulu hitam tidur di depan pintu masuk rumah. Seorang remaja laki-laki duduk di dekat kedua ekor anjing. “Ini anak pertama saya, usianya 19 tahun. Dia penyandang disabilitas,” ujar Katarina membuka pembicaraan tentang hidupnya.
Katarina memiliki dua anak laki-laki. Anak bungsunya saat ini di bangku SMA berusia 17 tahun. Suaminya bekerja di perusahaan ekspedisi di Jakarta dan jarang pulang. “Gajinya dikirim,” ujarnya.
Dalam rumah yang belum rampung dibangun, Katarina menjadi orangtua bagi beberapa keponakannya yang berkuliah di Kupang. Mereka membantu perempuan asal Sabu Raijua ini dalam proses membuat kain tenun ikat NTT.
Alat tenun tua warisan nenek Katarina tergeletak di satu sudut ruang tamu itu. Sejumlah benang putih sudah dipilin kecil-kecil dengan tali plastik hijau. “Ini mau membuat motif bunga matahari sesuai permintaan pembeli,”tutur Katarina.
Katarina menerima pesanan dari pembeli untuk membuat kain tenun ikat NTT lengkap dengan desain motif dan warna benang yang diinginkan. Dia memperkirakan kain tenun pesanan itu akan selesai dalam 10 hari.
Dia kemudian beranjak berdiri untuk membuka lemari kecil yang terletak di ruang tamu. Isinya penuh dengan kain tenun NTT dari sejumlah daerah hasil tenunan tangan Katarina. Ada tenunan dari Alor, Sabu, Ngada, Manggarai, dan Rote.
“Saya membuatnya sendiri. Saya sudah sering menerima pesanan tenun ikat dari bermacam daerah. Mereka berikan desain dan motifnya, saya lihat lalu saya kerjakan. Saya ingat desain dan motifnya,” kata Katarina.
Puluhan lembar kain tenun ikat dari berbagai daerah di NTT sudah terjual. Menurut Katarina, belum pernah ada pembelinya yang kecewa atas kain tenun buatan tangannya.
*****
Katarina mengenang saat neneknya dengan sabar melatih dirinya menenun kain ikat NTT. Keterampilan yang diasah secara otodidak, turun temurun. Kerja kerasnya membuahkan hasil dengan lebih dari seratus kain tenun ikat NTT yang sudah terjual selama 20 tahun menekuni profesi ini.
Katarina bahkan memiliki kemampuan menenun kain ikat dalam tempo 10 hari untuk disain yang cukup rumit. Bahkan dia mampu membuat motif tenun dari berbagai daerah di NTT. Uniknya, dia mampu mengingat desain dan motif secara detil tanpa perlu menggambarnya di atas kertas. Katarina langsung mengaplikasikannya.
Menurutnya, dia melakukan ini karena tuntutan untuk bertahan hidup. Mau mengharapkan siapa? Ayahnya telah lama meninggal, Ibunya jauh di kampung dan sudah renta. Suaminya pergi bekerja ke Ibukota, namun jarang pulang dan jarang kirim uang. Meninggalkan dia bersama dua orang putranya. Dia juga bertanggung jawab memenuhi kebutuhan sehari-hari lima keponakan yang tinggal dengannya.
Untuk bertahan hidup, Katarina menjual kain ikat hasil tenunannya dari toko ke toko dan menjualnya di pinggir jalan di kelurahan Air Mata, Kupang. Katarina mematok harga per lembar kain tenun ikat ukuran 2,5 – 3 meter seharga Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu.
Dari jumlah itu, dia hanya mengambil untung antara Rp 25 ribu hingga Rp 100 ribu per lembar kain. “Itu sudah cukup, saya tidak hitung tenaga dan waktu yang dihabiskan selama berjam-jam atau biaya lainnya,” kata Katarina.
Pandemi Covid-19 telah membuat Katarina kelimpungan karena pembelian turun drastis. Nyaris tidak ada pembeli. Hingga saat mengikuti pameran kain tenun NTT yang digelar Pegadaian, di Hotel Grand Mutiara, Kupang beberapa waktu lalu. Katarina bertemu Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTT, ibu Julie Sutrisno Laiskodat di pameran itu. Dia lalu diajak bergabung dengan Dekranasda.
Pertemuan itu membuahkan hasil: sebanyak 40 lembar kain tenun ikat buatan Katarina dibeli dengan harga Rp 17 juta.
Menurut Katarina, peristiwa itu sebagai angin segar di kala pandemi. Walau memang setelah itu, pesanan tidak rutin diterima, sehingga dia tetap harus memasarkan kain tenunnya ke toko-toko yang ada di Kupang.
Katarina juga baru satu kali mendapat bantuan dari pemerintah kota Kupang berupa alat tenun. Sayangnya, alat tenun tersebut hanya indah dipandang karena berpolitur. Hanya dalam beberapa bulan saja, alat tersebut sudah tidak bisa dipakai lagi karena bukan dari jenis kayu yang kuat.
Katarina juga tidak terlalu mengharapkan bantuan dari siapapun. Bila berkenan memberi, dia terima. Bila tidak, dia percaya masih ada berkat Tuhan yang akan datang dari mana saja.
Usia dan tenaganya pun masih mampu menopangnya untuk bekerja, sehingga Katarina bertekad akan terus berusaha semampunya, sampai Tuhan memutuskan untuk berhenti.
Dari setiap lembar kain tenun ikat NTT yang terjual, Katarina menyisihkan uangnya untuk ditabung. Begitu juga gaji dari semuanya dia tabung. Uang tabungan untuk membeli tanah tahun 2010.
Tujuh tahun kemudian, dia membangun rumah secara bertahap di atas tanah seluas 97 meter. Dan, Katarina beserta keluarganya menetap di rumah baru yang belum rampung itu pada tahun 2020. Ini buah kesabaran dan ketekunannya. *****
Silakan hubungi nomor +6281353786093 jika berminat untuk membeli produk UMKM ini. Ayo kita dukung kemajuan UMKM NTT!