Kupang– Di tengah pasar dijejali produk fashion seperti sepatu dan sandal dengan harga murah meriah dan modelnya yang cepat berubah, membuat banyak penjual jasa reparasi sandal atau sepatu rusak limbung bahkan tutup. Ini terjadi bukan saja di kota-kota besar tapi merambah hingga ke kota-kota kecil.
Begitupun masih ada yang tetap menekuni pekerjaan ini atau biasa disebut tukang sol sepatu. Mereka biasanya berkeliling keluar masuk perumahan warga. Tapi ada juga yang menjajakan jasa reparasi sepatu dan sandal dengan membuka “toko” di lokasi yang ramai dilewati orang seperti dekat pasar, sekolah, dan perkantoran.
Seperti beberapa tukang sol sepatu di pinggir jalan Soeharto, Naikoten 1, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang ditemui KatongNTT.com pada akhir pekan lalu. Satu di antaranya Mulyono, 61 tahun. Dia membuka “toko” di lokasi itu yang letaknya dekat dengan Pasar Inpres.
Seperangkat alat reparasi dan beberapa sepatu dan sandal disusun di atas meja kecil. Payung besar lusuh dikembangkan untuk melindungi dirinya dari terik matahari.
Mulyono punya kisah tersendiri tentang pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu dan sandal di Kota Kupang. Bukan berawal dari pengangguran tapi dilatari kisah percintaan yang kandas. Dia lalu meninggalkan keluarga dan kampung halamannya untuk bisa berjauhan dengan pujaan hatinya karena tekanan dari orang tua. Dia kemudian mencoba peruntungan di negeri orang agar bisa melanjutkan hidup.
Pada tahun 1979, Mulyono untuk pertama kali menapakkan kakinya di Kupang, Mulyono awalnya berjualan es. Sayangnya, ketika musim penghujan tiba, jualannya tidak laku terjual.
Dia kemudian beralih menjadi tukang sol sepatu keliling. Menggunakan waktu dua hari untuk belajar dari temannya, Mulyono mulai memikul perkakas sol sepatunya. Hari demi hari, dia mengelilingi kawasan Sikumana maupun di Bakunase dan sekitarnya. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk duduk berjualan menetap di pinggir Jalan Soeharto, Naikoten 1, Kupang.
Mulyono bekerja mulai dari jam 8 pagi hingga 6 sore. Beralaskan kursi kecil dari kayu, dan beratapkan payung yang tidak sepenuhnya menutupi tubuh kurusnya, Teriknya matahari kota Kupang tidak menjadi alasan Mulyono untuk berhenti. Tiap pasang sepatu yang diantar dia jahit rapi, menyesuaikan dengan bentuk dan warna. Tidak memakan waktu lama, sekitar 10 menit berselang, satu pasang sepatu rampung diperbaiki.
Mulyono memberi tarif Rp 20 ribu untuk setiap sepatu maupun sendal yang diperbaiki. Begitupun, penghasilan per harinya tidak pasti. Pernah sehari ia membawa pulang Rp500 ribu dan lebih sering pulang tanpa membawa uang sepeserpun.
Walau dengan penghasilan yang tidak menentu, Mulyono mampu membiayai kehidupan keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya. Dia dibantu istrinya dengan berjualan jamu. Mereka memiliki dua anak.
“Anak saya dua. Yang laki laki sudah jadi polisi, yang perempuan sekarang kerja di Bank Mega,” kata Mulyono sambil terus menjahit sepatu di tangannya.
Meski dua anaknya sudah punya pekerjaan yang mapan, namun Mulyono tetap terus menjalankan usahanya ini.
“Ya masih perlu makan, perlu rokok. Mau minta ke anak gak enak. Udah punya keluarga sendiri,” ujar pria yang berasal dari kecamatan yang sama dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Tidak hanya mampu menyekolahkan kedua anaknya, Muloyono dengan kerja kerasnya selama 42 tahun, sudah membangun sebuah rumah di kampung halamannya di Solo. Dia juga punya hunian sendiri di Osmok, Namosain, Kota Kupang.
Mulyono mengatakan, harta benda hasil jerih payahnya untuk anak-anaknya, khususnya anak perempuannya. Sehingga saat dia kembali ke Yang Maha Kuasa, anaknya tidak merasakan susahnya hidup seperti dirinya dulu.
*****
Oskar, 54 tahun, menekuni pekerjaan sebagai tukang sol sepatu dan sandal sebagai bentuk pembenahan diri menjadi lebih baik. Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk empat buah hatinya. Tiga di antaranya lahir dari hasil hubungan di luar pernikahan.
Mantan preman ini mengisahkan bahwa semasa mudanya dia sangat tidak menyukai pekerjaan ini. Bahkan dia pernah menghina tukang sol sepatu karena kebanyakan pekerjanya dari pulau Jawa.
“Saya dulu tidak ada minat memang di sini (sol sepatu). Saya dulu sampai hina mereka yang kerja nih. Kamu dari Jawa datang kerja, kamomos kamomos (kotor-red) di sini. Tapi terakhir, saya duduk di sini,” kata Oskar sambil tertawa lebar.
Pria berkulit hitam ini memulai profesinya sebagai tukang sol sepatu pada 1999. Dia ingin agar anak-anaknya tidak mengikuti jejak masa mudanya dulu yang gelap, jahanam sebagai preman pasa.
“Bapak selalu larang mereka untuk jangan ikuti jejak jahanam bapak. Karena kalau kau sampai merasakan, kamu akan menyesali itu,” tegas Oskar menasehati anak-anaknya.
“Bapa selalu Ingatkan untuk selalu was was apapun dan siapapun dia kamu harus koreksi dia. Jangan terlalu percaya mulut manisnya,”ujar Oscar menasehati putrinya.
Di pinggir jalan El Tari Nomor. 4, Naikoten I, Kota Kupang, Oskar duduk berjam-jam menanti pelanggan. Pria asal Pulau Semau ini mendapatkan penghasilan tertinggi sekitar Rp 50 – 100 ribu per hari.
Oskar biasanya mendapat penghasilan sekitar Rp 20 – 30 ribu per hari. Dia selalu bersyukur. Menurutnya, berkat bagi setiap orang sudah diatur. Dia berprinsip tak perlu merasa iri dengan pendapatan orang lain. Setidaknya, yang dia lakukan adalah halal dan bisa menjadi sosok ayah yang baik bagi anak-anaknya. (Ruth)