• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Minggu, Oktober 19, 2025
  • Login
Katong NTT
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
Katong NTT
No Result
View All Result
Home Opini

Membaca Krisis MBG (Negara) dari Pinggir

Oleh: Dominggus Elcid Li, Sosiolog lulusan University of Birmingham (UK), Peneliti di Institute of Resource Governance and Social Change, tinggal di Kupang, NTT.

KatongNTT by KatongNTT
3 hari ago
in Opini
Reading Time: 4 mins read
A A
0
Tim Badan Gizi Nasional didampingi Kepala SMP Negeri 8 Kota Kupang, Maria Theresia Rosalina Sadinah Lana memberikan penjelasan resmi tentang keracunan massal siswa SMP Negeri 8 Kota Kupang setelah mengkonsumsi makanan bergizi gratis pada 23 Juli 2025. (dok. katongntt).

Tim Badan Gizi Nasional didampingi Kepala SMP Negeri 8 Kota Kupang, Maria Theresia Rosalina Sadinah Lana memberikan penjelasan resmi tentang keracunan massal siswa SMP Negeri 8 Kota Kupang setelah mengkonsumsi makanan bergizi gratis pada 23 Juli 2025. (dok. katongntt),

0
SHARES
12
VIEWS

MBG (Makanan Bergizi Gratis) adalah program unggulan Presiden Prabowo yang terlalu rapuh. Dengan dana begitu besar, desain program MBG bermasalah dan terkesan asal jadi. Pengembalian dana 71 T dari BGN sebagai pelaksana MBG ke kas Kementerian Keuangan, merupakan langkah darurat. Kondisinya kontras karena dana Transfer ke Daerah (TKD) dipotong pemerintah pusat, dan sebaliknya dana MBG seperti banjir bandang yang tak bisa dikendalikan. Bagi orang daerah, yang ruang fiskalnya amat terbatas, langkah pemotongan TKD dan penggunaan anggaran MBG yang serampangan dari pemerintah pusat dibaca sebagai keangkuhan, sekaligus impulsive.

Baca juga: Beginilah Badan Gizi Nasional Merespons Siswa NTT Keracunan MBG

BacaJuga

Beberapa contoh UMKM di NTT yang disebut Kadis Kemenparekraf sebagai salah satu hal yang bisa menarik wisatawan ke NTT (KatongNTT-Ruth)

Program Dukungan UMKM di Daerah Masih Sebatas Jargon

13 Oktober 2025
Paus Fransiskus mengundang ratusan warga miskin di Roma makan malam bersama 29 Juni 2018 (Vatican News)

Drama Keuangan di Balik Tembok Vatikan

18 Agustus 2025

 

Krisis perencanaan

Entah imajinasi apa yang ada di benak pemerintah pusat dengan target penggunaan anggaran MBG 1,2 triliun per hari. Entah Indonesia macam apa yang sedang dibayangkan. Desain MBG maupun desain proyek pembangunan nasional pada umumnya cenderung pukul rata, tidak memperhatikan karakter: (i) urban, (ii) semi urban, (iii) pedesaan, (iv) pedalaman, dan (v) kepulauan. Masing-masing karakter wilayah mempengaruhi supply chain komoditas, ketersediaan SDM yang dibutuhkan, kondisi moda transportasi, dan jenis adaptasi yang perlu dilakukan agar makanan ‘hangat’ saat tiba di tangan anak-anak. Idealnya sebelum program dengan dana fantastis ini dijalankan, sudah diujicobakan dalam ‘laboratorium kebijakan’.

Laboratorium kebijakan merupakan satu langkah sebelum masuk dalam ‘pilot project’, agar segala kompleksitas yang mungkin muncul dideteksi sejak dini. Jika Indonesia ingin meniru mode Tiongkok atau pun negara lain seperti Brazil, Jerman atau Selandia Baru yang juga memberikan makan siang, tidak mungkin langsung berbicara menu makanan, jika ‘dapurnya’ tidak dikuasai. Kecenderungan pemimpin politik (yang terpilih lewat Pemilu) baik di pusat maupun daerah yang rajin berkomentar, membuat peraturan, tanpa kemampuan dasar membaca data sangat mengkhawatirkan.

Tidak putusnya kasus keracunan dari berbagai penjuru Indonesia menunjukan perencanaan MBG dilakukan seadanya. Logika kausalitasnya pun terlihat kurang diperdebatkan, misalnya keterkaitan antara peningkatan gizi anak, bangkitnya produksi pangan lokal, dan munculnya ketahanan pangan.

Dalam nama azas gotong royong persoalan semacam ini seharusnya bisa dipecahkan. Tugas Presiden Prabowo adalah menyediakan ‘arena perdebatan berbagai golongan’ sebelum kebijakan dikeluarkan. Selama MBG diposisikan sebagai program tim pemenang Prabowo-Gibran, program ini cenderung jadi beban untuk anak-anak maupun orangtua. Lebih miris lagi, dana keracunan MBG pun tidak bisa dibicarakan di dapur tertutup antar instansi (Badan Gizi Nasional, BPJS, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri).

Baca juga: Keracunan Massal di SMPN 8 Kota Kupang: Sayur Basi, Rendang Berjamur

 

Pemerintah pusat sebagai beban

Sejak awal struktur operasional MBG dan rekrutmen pengelola MBG bermasalah dan tidak transparan. MBG diposisikan sebagai ‘urusan rezim berkuasa’, dibandingkan sebagai ‘kebijakan publik’. Rekrutmen pengelola MBG yang sarat kolusi dan nepotisme membuat struktur dan kinerja MBG semakin lemah. Kesan pemburu rente pendukung politik jauh lebih kuat dibandingkan manfaat untuk warga. Saat anak-anak keracunan, pengelola SPPG namanya tidak pernah muncul dan cenderung misterius. Anonimitas pengelola SPPG dirahasiakan sedemikian rupa, melebihi nama agen narkoba. Ini dilema khas program yang dimotori kekuasaan politik adalah program cenderung tidak bisa diaudit dan dievaluasi.

Soal gizi, standar higienis dan SOP tidak mungkin dievaluasi jika tim rekrutmen tidak bekerja menjalankan fungsi rekrutmen dalam nalar publik.  Bagaimana mau berbicara prosedur, jika sejak awal prosedur rekrutmen mengabaikan seluruh indikator fairness? Kita tidak bisa berbicara soal kualitas, karena kesalahan rekrumen tidak bisa diperbaiki dengan peningkatan kapasitas.

Hari-hari ini Menteri Keuangan langsung bersitegang dengan Pemerintah Daerah berkaitan dengan keputusan pemotongan dana TKD. Di daerah yang ruang fiskalnya amat terbatas, pemotongan anggaran artinya kiamat. Di berbagai kantor provinsi, sebelum pemotongan anggaran saja, dana rutin untuk membeli kertas untuk keperluan administrasi saja sudah kosong, entah apa lagi yang mau dipotong?

Jika ‘orang daerah’ protes, jawaban orang pusat biasanya menyalahkan orang daerah yang kurang kreatif karena tidak mampu meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) untuk mencukupkan keuangan sendiri. Ironisnya, ‘kreativitas orang pusat’ yang membuat program asal jadi yang menjadi beban satu negara tidak dipersoalkan. Seandainya saja proyek strategis negara didesain dengan pikiran terbaik, Indonesia pasti bisa bangkit dan berlari. MBG hanya merupakan salah satu proyek strategis pemerintah pusat yang asal jadi. MBG adalah contoh buruk praktek proyek unggulan yang dieksekusi tanpa studi awal.

Baca juga: Salah Data, Bantuan Pangan Beras Bagi NTT Lambat Datang

Saat ini pemerintah pusat cenderung menjadi beban karena desain program tidak sesuai dengan kebutuhan dan prioritas warga.  Bagi orang di daerah yang sudah sekarat, dana triliun rupiah sangat memungkinkan pembuatan sekian usaha produktif yang bisa digunakan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat secara langsung. Untuk daerah di NTT, dengan dana 1 triliun saja jika dialokasikan untuk pertanian lahan kering akan jauh lebih berarti.

MBG adalah program yang belum siap dijalankan. Jika hari-hari ini BGN menyatakan keracunan disebabkan oleh pengelola yang tidak menaati SOP (Standard Operational Procedure), pertanyaannya sejauh mana skala baseline research yang dibuat pemerintah untuk menentukan SOP itu sendiri? SOP yang dibuat tanpa riset empiris tidak ada artinya, karena tidak mempunyai standar atau nada dasar. Kritik Mahfud MD yang mempertanyakan dasar hukum MBG membuka kelemahan ini.

 

Belajar Membaca Data

Setelah berbulan-bulan MBG dijalankan langkah evaluasi konkret tidak mampu dilakukan. Malah terkesan tidak ada pikiran. Misalnya, keputusan TNI AD yang perlu studi banding soal MBG ke Singapura. Jika MBG dikaitkan dengan mekanisme pertahanan (defense mechanism), seharusnya strategi pertahanan menjadi urusan negara sendiri. Sistem makro boleh saja belajar ke negeri orang, tetapi evaluasi atas implementasi program seharusnya menjadi urusan internal. Program sudah dijalankan, data empiris ada di tangan, mengapa perlu bertanya pada negara lain?

Kritik yang sama juga ditujukan pada Kementerian Keuangan, yang menyatakan evaluasi atas pemotongan anggaran baru dilakukan setelah ‘exercise’. Dalam hal ini baik MBG maupun keputusan Menkeu terkait pemotongan dana TKD keduanya sama-sama impulsif, dan tidak berbasis riset. Negara tidak mungkin dikelola dengan model pengambilan keputusan impulsif. Dengan model komando impulsif, dan jauh dari nalar bening pengetahuan, musuh Indonesia bukan ‘orang asing’, tapi diri sendiri. Penambahan belanja alat perang dan penambahan personil militer sekian kali lipat tidak berarti jika musuh terbesar adalah diri sendiri. Evaluasi di level komandan harus dijalankan.

Baca juga: #PerempuanRawatBumi: Belajar Pangan Lokal dari Sekolah di Soe

Belajar dari Paradoks MBG maupun TKD, memperlihatkan bahwa kecakapan penentuan kebijakan publik dari era Orde Baru hingga ke era terkini terlihat sangat mundur. Ini bukan terjadi para era Prabowo saja, tetapi di era Jokowi pun juga terbaca. Krisis ini perlu dibaca dalam analogi gunung es. Jika program unggulan pemerintah pusat saja bermasalah, entah bagaimana pengawasan kualitas kebijakan publik di sekian kementerian dan 514 pemerintah kabupaten/kota.

Kita tidak kekurangan uang, kita kekurangan pejabat yang berpikir. Kekeliruan mendasar yang tampak lewat eksekusi MBG adalah elit pejabat terlihat tidak mampu menentukan program unggulan yang menjadi titik ungkit (leverage point) bagi warga republik. *****

Tags: #BadanGiziNasional#danatkd#katongntt#kementeriankeuangan#MBG#NTT#PresidenPrabowo
KatongNTT

KatongNTT

Baca Juga

Beberapa contoh UMKM di NTT yang disebut Kadis Kemenparekraf sebagai salah satu hal yang bisa menarik wisatawan ke NTT (KatongNTT-Ruth)

Program Dukungan UMKM di Daerah Masih Sebatas Jargon

by KatongNTT
13 Oktober 2025
0

Laurensius Bagus, mahasiswa di Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta. (KatongNTT) Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah terus menempatkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah...

Paus Fransiskus mengundang ratusan warga miskin di Roma makan malam bersama 29 Juni 2018 (Vatican News)

Drama Keuangan di Balik Tembok Vatikan

by KatongNTT
18 Agustus 2025
0

Keuangan Vatikan kembali menjadi sorotan. Bagi sebagian orang, frasa itu sudah seperti bagian dari kalender tahunan: setiap beberapa bulan atau...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Katong NTT

Merawat Suara Hati

Menu

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

Follow Us

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
Sign In with Linked In
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi

Merawat Suara Hati