Pengantar:
Kejahatan penyelundupan manusia (people smuggling) di Provinsi Nusa Tenggara Timur teridentifikasi marak sejak tahun 2000-an. Kejahatan ini telah melibatkan banyak nelayan NTT dan di luar NTT di wilayah Indonesia. Mereka tergoda dengan iming-iming kaki tangan mafia penyelundupan manusia. Faktor sulitnya perekonomian para nelayan dan minimnya literasi tentang kejahatan lintas negara ini membuat mereka terpeleset masuk dalam perangkap mafia tersebut.
Hingga pertengahan tahun 2025, kasus penyelundupan manusia masih berlanjut. Para imigran yang mayoritas warga Bangladesh dan Cina diiming-imingi sindikat penyelundupan manusia akan dapat masuk ke Australia melalui perairan Rote. Mereka pun merelakan ratusan juta rupiah dan dokumen perjalanan diberikan kepada sindikat ini tanpa mencoba mencari informasi tentang kebenaran iming-iming sindikat itu.
Jika sekitar 3-4 tahun lalu banyak nelayan Rote yang terjerat jejaring pelaku penyelundupan manusia, maka dalam setahun terakhir nelayan-nelayan dari Muna Barat, Sulawesi Tenggara diperdayai sindikat untuk menyelundupkan para imigran ke Australia melalui perairan Rote.
Sekalipun Australia tegas menyatakan tidak ada tolerasi bagi pelaku penyelundupan manusia, namun kenyataanya masih saja ada orang yang percaya dengan iming-iming sindikat ini. Hingga akhirnya para imigran kehilangan semua dana dan dokumennya lalu dideportasi. Sedangkan para nelayan terpaksa mendekam dalam penjara.
Mengapa mereka begitu nekad? Mengapa nelayan Rote dan Muna Barat terlibat dalam jaringan penyelundupan manusia? Dari mana pintu masuk mereka hingga terdampar di Rote? Bagaimana mengidentifkasi jaringan sindikat serta memetakan daerah-daerah rawan penyelundupan manusia? Mengapa perangkat hukum nasional masih lemah untuk mengungkap otak pelaku?
KatongNTT didukung Global Initiative Against Transnational Organized Crime (GI-T0C) dan The Resilience Fund selama 11 bulan mengumpulkan informasi, data, dan melakukan diskusi kelompok terfokus dan pelatihan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Hasilnya berupa laporan jurnalistik yang disajikan secara berseri.
******
Rumah Notte Ftta, nelayan asal Desa Oenggae, Pulau Rote, NTT belum ditutupi plafon. Pria berusia 70 tahunan itu tidak sanggup lagi membuat plafon rumahnya karena ketiadaan dana.
Dia sudah sangat bersyukur bisa memiliki rumah hasil membawa imigran ke Australia dan upah saat mendekam di rumah tahanan imigrasi Australia selama 2 tahun. Uang itu dia kumpulkan untuk kemudian membangun rumah.
Baca juga: Memberangus Penyelundupan Manusia – Dari Rute Jalan Tikus, Titik Rawan, dan Beban Berat NTT
Notte bangga menceritakan pengalaman manisnya sekitar 15 tahun lalu. Masa itu sindikat penyelundupan manusia sedang marak-maraknya membawa imigran masuk Australia. Sindikat ini memanfaatkan nelayan-nelayan Rote dengan mengiming-imingi uang jutaan hingga puluhan juta asalkan mau membawa para imigran ke Australia.
Notte salah satu nelayan yang tergiur dengan iming-iming kaki tangan sindikat penyelundupan manusia di desanya. Dia pernah diterbangkan ke Pelabuhan Ratu untuk menakhodai kapal membawa sekitar 100 imigran termasuk perempuan dan anak-anak melalui perairan Rote ke Australia.
“Kami berjalan malam hari supaya tidak dicurigai,” kata Notte mengenang peristiwa bersejarah bagi hidupnya.
Menurut Jafar Siba, nelayan dari Desa Papela, Rote menjelaskan, hampir semua nelayan Desa Papela pernah membawa imigran ke Australia. Namun perjalanan mereka berujung dengan penangkapan dan pengusiran oleh petugas perbatasan perairan Australia.
“Karena gagal membawa imigran sampai ke daratan Australia, uang yang dijanjikan tidak kami terima. Uang tidak dapat, nelayan masuk tahanan, imigran melampiaskan marah mereka ke kami,” kata Jafar.
Jafar yang kini sebagai Ketua RW di Desa Papela mengaku pernah membawa puluhan imigran ke Australia. Dia membawa anak laki-lakinya yang saat itu remaja sebagai anak buah kapal (ABK). Jika berhasil, sindikat menjanjikan lebih Rp 50 juta untuk dia sebagai kapten dan tiga ABK.
Baca juga: Jejaring di Malaysia dan Medan Selundupkan 15 Warga Bangladesh ke Australia
Belakangan Jafar sadar bahwa sindikat ini memang tidak berniat untuk memenuhi janjinya kepada para nelayan. Sejatinya sindikat penyelundupan manusia ini tahu bahwa mereka tidak akan pernah dapat memasukkan imigran ilegal ini ke Australia karena pengawasan ketat aparat pengawasan perbatasan Australia. Sindikat ini telah menipu dan memeras imigran dan begitu juga dengan nelayan-nelayan di Rote . Pengalaman Notte merupalam sebuah keberuntungan.

Pidana Penyelundupan Manusia Pertama Kali Menjerat Nelayan Rote
Nurhalimah Ain, Jadi Ria Leki Dela, dan Fransina Mulik tersenyum lebar saat KatongNTT mengajak ketiganya berkunjung ke LP Baa untuk bertemu suami mereka. Anak-anak mereka yang berusia balita tertawa girang setelah tahu akan bertemu bapak mereka.
Saat pintu masuk LP Baa dibuka, ada rasa tidak nyaman ditunjukkan ketiga perempuan itu. Raut wajah mereka tegang di ruang tunggu tamu. Seketika wajah tegang berubah senyum lebar saat suami mereka berjalan ke arah mereka.
Anak-anak balita itu berlari kencang ke arah bapak mereka yang sudah dua tahun mendekam di LP Ba’a . Anak-anak iu tidak akan bebas bertemu Bapak mereka sedikitnya dalam 6 tahun, terhitung dari tahun 2022.
Ketiga perempuan ini terpaksa menerima kenyataan pahit karena suami mereka dijatuhi hukuman 6 tahun karena terbukti terlibat penyelundupan manusia ke Australia. Tiga nelayan Papela ini menjadi terpidana perdana yang dijerat dengan pasal 120 Undang-Undang Keimigrasian nomor 6 tahun 2011. Pasal tunggal yang mengatur tentang sanksi pidana dan denda bagi penyelundup manusia. Pasal yang tidak menjelaskan secara rinci peran pelaku seperti otak atau dalang, pelaku turut serta, dan pelaku yang memberikan bantuan.
Berikut isi pasal 120 UU Keimigrasian:
1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar dari Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain, yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak, dipidana karena Penyelundupan Manusia dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
2) Percobaan untuk melakukan tindak pidana Penyelundupan Manusia dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Baca juga: Warga Cina Didakwa Menyelundupkan Orang ke Australia via Laut NTT
Hukuman berat tiga nelayan ini berefek jera bagi nelayan-nelayan di Desa Papela. Mereka tidak menyangka hukuman seberat itu. Sebelumnya para nelayan ini mengira membawa orang asing ke Australia sebagai wujud kemanusiaan. Mereka juga mengira warga asing ini sebagai pengungsi yang ingin menyelamatkan diri ke Australia.
Belakangan mereka tergiur setelah muncul iming-iming uang dari kaki tangan sindikat yang tak lain tetangga mereka. Sehingga mereka percaya bahwa uang jutaan bahkan puluhan juta yang dijanjikan akan mereka terima setelah kembali dari mengantar imigran ke Australia. Belakangan mereka sadar bahwa mereka ditipu.
“Puluhan juta rupiah itu luar biasa besar,” kata Jafar.
Dua kaki tangan sindikat penyelundupan manusia di Desa Papela pun dijebloskan ke LP Baa. Namun saat KatongNTT bertemu kedua kaki tangan tersebut di LP Baa Juli lalu, mereka memilih menutup mulut.
Ima kesal lalu berbisik bahwa kedua kaki tangan sindikat ini justru dihukum lebih ringan dari suaminya yang menjadi kapten kapal saat membawa para imigran ke Australia tahun 2022. Suaminya waktu itu percaya pada omongan kaki tangan sindikat yang mereka panggil dengan sebutan “Pengurus”.
Ima dan suaminya sudah merancang untuk membeli kapal baru jika nanti mendapat uang dari mengantar imigran ke Australia. Kehidupan mereka akan berubah lebih baik. Tapi kapalnya rusak menjelang masuk perbatasan perairan Australia. Suaminya meminta bantuan kepada istrinya melalui telepon satelit yang diberikan sindikat. Suaminya khawatir atas keselamatan dirinya dan dua ABK karena para imigran mulai kesal dan marah.
Ima berusaha mencari bantuan, namun tidak ada yang bersedia membantu. Dia memutuskan meminta bantuan ke polisi. Peristiwa ini yang membawa suaminya dan dua ABK mendekam di LP Baa.
Meski ada rasa khawatir akan terjerat hukuman berat, bukan berarti tidak ada lagi penyelundupan manusia melalui laut NTT. Bisnis haram dengan meraup uang ratusan juta ini ternyata berlanjut meski tak semarak tahun-tahun sebelumnya.
Notte Ftta mengungkapkan dia Maret 2025 ditemui seorang pria bertubuh besar di dekat rumahnya di Desa Oenggae. “Dia minta saya antar imigran, saya dibayar Rp 50 juta. Saya tolak karena saya pun sudah lama tidak mau antar imigran lagi,” ungkapnya dalam Pelatihan Meningkatkan Kapasitas Nelayan Rote agar Tidak Terjebak Jaringan Penyelundupan Manusia, Maret 2025.
Jafar kaget saat mendengarkan tawaran antar imigran ke Selandia Baru. “Selama ini yang saya tahu ke Australia. Ini baru pertama kali dengar ada yang mau ke Selandia Baru.
“Saya dijanjikan Rp 100 juta untuk antar imigran ke Selandia Baru. Saya tolak,” ujar Jafar di acara yang sama.
Keduanya khawatir nelayan-nelayan lain tak mampu bertahan karena sulitnya membiayai hidup untuk dirinya dan keluarganya. Ekonomi menjadi salah satu motif utama nelayan-nelayan di Indonesia masuk dalam perangkap penyelundupan manusia. Fakta memprihatinkan, keberpihakan pemerintah untuk membangun perekonomian strategis di desa-desa pesisir tempat keluarga nelayan tinggal belum terlihat. Mereka seperti terlupakan di negeri ini. [*]