Kupang – Melestarikan lingkungan sudah mendarah daging dalam diri Zacharias Ata Pada atau disapa Mobi, 48 tahun, pembuat sedotan dari rumput dan bambu Aur.
Selama 28 tahun bekerja di World Wide Fund for Nature (WWF), Mobi fokus pada pengembangan komunitas. Hingga saat dia berhenti dari WWF dipicu pandemi Covid-19, Mobi tak berhenti berkarya.
Menyadari provinsi NTT menjadi pusat wisata domestik dan internasional, Mobi mencermati tentang penggunaan sedotan minuman berbahan plastik. Sampah sedotan ini menumpuk di pembuangan sampah masyarakat, perkantoran hingga di fasilitas publik dari ibukota provinsi/kabupaten hingga ke pelosok desa.
Sebagai gambaran, sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun! Bayangkan sampah sebanyak itu juga disumbangkan oleh NTT.
Dengan modal pengalaman dan pengetahuan sebagai Community Development di WWF mendampingi warga di pesisir dan hutan, Mobi membuat sedotan minuman ramah lingkungan.
“Kita tuangkan hal-hal yang baik. Kalau ada respon balik dari basaudara semua, maka kita sama-sama siap untuk mendukung gerakan yang mendatangkan keuntungan dari tiga sisi. Aspek lingkungan juga lestari, aspek kemanusiaan, dan aspek perekonomian juga bisa jalan,” kata Mobi tentang niatnya berbisnis sedotan.
Mobi mengisahkan, awal mula terpikirkan untuk membuat usaha sedotan minuman muncul dari pengalaman buruk yang dia alami. Ketika dia mendapati satu rumah makan mencuci ulang sedotan plastik untuk dipergunakan lagi.
“Ketika saya ke belakang (warung) saya lihat ternyata sedotan itu digunakan lagi. Sedotan plastik itu dicuci lagi,” ujar Mobi.
Hingga muncul pertanyaan dalam pikiran Mobi, apakah air yang digunakan mencuci sedotan bersih atau tidak?
“Kalau itu dipakai lagi, itu kan berbahaya,” ujar Mobi.
Alasan berikutnya, dia menyaksikan banyak sampah plastik terutama sedotan.
“Saat kembali ke kampung, saya lihat ada banyak jenis tumbuhan yang bisa dipakai jadi sedotan. Saya buka Youtube, ternyata banyak yang membuat sedotan dari bahan-bahan yang ada juga di kampung saya,” jelas Mobi.
Dengan menjalankan usaha ini, Mobi juga memberi alternatif mata pencaharian bagi warga. Khususnya bagi masyarakat di kampung halamannya di Kabupaten Alor.
Rumput dan bambu Aur yang digunakan sebagai bahan utama sedotan ini diambil dari daerah asalnya. Mobi menyebut, rumput yang dipakai ialah jenis rumput bambu yang biasanya tumbuh di pinggir sungai atau rawa-rawa di Alor.
Rumput bambu ini daunnya juga bisa dijadikan pakan ternak sapi. Sehingga semua bagian rumput ini dapat digunakan.
Mobi mengira rumput ini hanya berada di Alor. Ternyata dia menemukan rumput itu di sungai di daerah Labat, Kota Kupang. Rumput ini berdiameter bisa mencapai 1 cm, dan yang terkecil 2 mm. Panjang rumput bisa mencapai tiga hingga empat meter.
Sampai menginjak tujuh hingga delapan bulan tumbuh, rumput bambu yang sudah tua berwarna kuning diangkat dan dipotong sekitar 20 cm.
Bambu Aur dari Alor
Sedangkan untuk sedotan yang lebih besar (untuk es cendol dan es kelapa muda misalnya), Mobi menggunakan jenis Bambu Aur. Bambu Aur ini diambil dari Alor menggunakan kapal laut untuk dibawa ke Kota Kupang.
Awalnya, bambu ini hanya digunakan untuk menjadi dinding rumah, suling, maupun busur panah. Namun kini Mobi mengubahnya menjadi sedotan yang punya daya jual yang lebih tinggi.
Bambu Aur setelah dipotong dari pohonnya, dijemur satu hingga dua hari. Lalu dipotong sesuai ukuran sedotan, sekitar 20 cm. Kemudian bambu dihaluskan menggunakan kertas pasir atau menggunakan pasir langsung. Bambu dicuci.
Setelah itu, bambu direbus sekitar 10-12 menit untuk menstrelisasikan bambu.Bambu lalu dijemur hingga kering sekitar 2 hari. Setelah itu, sedotan bambu siap dikemas.
Untuk kemasan, Mobi memilih menggunakan anyaman bambu juga, yang dibuat ibu-ibu dari kampung halamannya.
“Jadi kemasannya dari anyaman bambu jenis lain tapi. Biar mama-mama pengrajin di Alor sana juga punya pendapatan tambahan,” ujarnya.
Dengan melibatkan warga setempat, menurut Mobi pelestarian bambu Aur jadi terjaga.
“Selain dapat menambah penghasilan, dengan ini kita juga bisa menjaga lingkungan sekitar,” lanjutnya.
Sedotan dari bambu Aur dan rumput ini hanya sekali pakai. Kecuali untuk penggunaan pribadi. Jika dibuang pun, sedotan jenis ini cepat terurai. Tidak seperti sedotan plastik.
“Ini (sedotan dari rumput dan bambu) ramah lingkungan. Karena kalau dibuang pun nanti hancur. Kalau plastik sampai kapanpun tetap jadi plastik,” ujar Mobi.
Mobi menjual per sedotan dengan harga Rp 1.000. Produknya baru dalam tahap pengenalan ke Dekranasda NTT setelah Ketua Dekrasnasda NTT Julie Sutrisno Laiskodat mendukung bisnisnya.
Menurutnya,Dekranasda akan menjadi tempat penjualan resmi sedotan ramah lingkungan ini.
Selain itu, Mobi menjual sedotan melalui pameran-pameran. Produknya resmi dijual di pasar bebas jika pengurusan izin halal yang sudah dalam tahap akhir segera rampung.
Selain itu, dia menunggu tahap akhir pengemasan sedotan. Kemasan ada dua jenis yakni berupa anyaman dan batang bambu.Ukuran kemasan ada dua yakni 25 dan 50 sedotan.
Mogi berharap masyarakat NTT memberdayakan potensi yang ada. Mereka tidak menjadi penonton ketika orang dari provinsi lain datang mengambil sumber daya alam NTT.
“Saya lihat bahan (sedotan dari dari rumput dan bambu) di Jawa sudah mulai menipis. Mereka mulai datang cari bambu Aur sampai di NTB. Sedikit lagi sampai ke NTT.Milik kita nanti digunakan saudara kita dari luar. Jadi sebelum terlambat, mari kita coba memulai,” pungkas Mobi. *****
Silakan hubungi nomor +6281338261154 jika berminat untuk membeli produk UMKM ini. Ayo kita dukung kemajuan UMKM NTT!