Jakarta – Pengadilan Australia telah memenangkan gugatan ganti rugi 15.481 petani rumput laut di Nusa Tenggara Timur (NTT) atas tumpahan minyak dan gas Montara. Tak berhenti di situ, pemerintah Indonesia segera mengajukan gugatan atas kerusakan perairan laut serta kerugian akibat kerusakan ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Gugatan ditujukan kepada PTT Exploration & Production (PTTEP) Australasia.
Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni menegaskan, kerusakan lingkungan hidup jauh lebih besar daripada ganti rugi atas hancurnya perekonomian para nelayan dan pembudidaya rumput laut.
“Kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup dan ekosistemnya ini sebenarnya jauh lebih besar. Ini juga menjadi tanggung jawab perusahaan, juga pemerintah Australia dan Thailand,” kata Ferdi kepada KatongNTT.com, Sabtu, 24 Februari 2023.
Baca juga: Dana Ganti Rugi Montara ke Nelayan NTT Rp 2 T Diurus Koperasi, Ini Prioritas Penggunaannya
Penulis buku Skandal Laut Timor tersebut menjelaskan, rencana gugatan sedang disiapkan pemerintah . Hal tersebut pernah disampaikan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Alue Dohong dalam koordinasi dengan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Panjaitan serta kementerian terkait.
“Janji pemerintah pada November 2022 lalu akan diajukan pada semester pertama 2023. Ini juga sesuai arahan Presiden Joko Widodo kepada jajarannya untuk segera menuntaskan urusan ganti rugi hingga pemulihan ekonomi dan lingkungan,” ujar Alue.
Alue dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Maritim dan Investasi di Jakarta, Kamis, 24 November 2022 mengatakan, gugatan akan dilayangkan ke Australia pada semester pertama 2023.
Hasil keputusan pengadilan federal Australia terhadap gugatan class action petani rumput laut akan menjadi tambahan bukti. Kerugian atas kerusakan lingkungan hidup di Laut Timor diperkirakan mencapai Rp 23 triliun.
Baca juga: Ganti Rugi Pencemaran Laut Timor, Rp 2 Triliun untuk Nelayan dan Petani Rumput Laut
“Kalkulasi awal kami dulu, kerugian kita estimasi hampir Rp 23 triliun. Kita juga ajukan gugatan perdata terkait biaya pemulihan atas kerusakan dengan estimasi sekitar Rp 4,4 triliun,” ujarnya kepada media.
Sejak tahun lalu, kata Alue, pihaknya terus mengumpulkan data dengan melibatkan para ahli termasuk menghitung luas spasial yang dihitung secara ilmiah.
“Itu akan memperkuat kalkulasi biaya kerusakan lingkungan maupun biaya pemulihannya,” katanya.
Untuk pengajuan gugatan tersebut, pemerintah Indonesia akan membentuk tim task force dengan berkoordinasi bersama Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia. Selain itu, untuk memfasilitasi para saksi ahli dari Indonesia serta para korban terdampak ke Australia. [K-02]