Kupang – Rasa kehilangan itu sulit dilukiskan dengan kata-kata. Apalagi kehilangan seorang pemimpin dengan karakter yang unik, karakter yang boleh jadi tidak sepenuhnya sejalan dengan anggapan dan keinginan masyarakat pada umumnya. Belakangan ada rasa bersalah dan merindukan kepemimpinannya.
Begitulah, ribuan umat Katolik di Keuskupan Agung Kupang berduka atas kematian Uskup Emeritus Monsinyur Petrus Turang Pr pada Jumat, 4 April 2025 di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Untuk kemudian, jenazah Monsinyur Petrus Turang diterbangkan ke Kota Kupang untuk dimakamkan di area Gereja Katedral Kristus Raja.
Baca juga: Uskup Peziarah Itu Telah Pergi (Mengenang Uskup Emeritus Mgr. Petrus Turang)
Ribuan orang berarak mengawal kendaraan yang membawa peti mati Monsinyur Petrus Turang dari pelataran bandara Eltari Kupang untuk disemayamkan sekitar satu jam di Keuskupan Agung Kupang. Untuk kemudian peti mati Monsinyur Petrus Turang diarak ke Gereja Katedral Kristus Raja.
Rangkaian acara duka ini berpuncak pada Misa Pemakaman Monsinyur Petrus Turang pada Selasa, 8 April 2025. Ribuan umat menghadiri Misa yang dipimpin Uskup Agung Kupang Hironimus Pakaenoni. Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Monsinyur Antonius Subianto Bunjamin OSC , 5 uskup yang mewakili 5 kabupaten yang berada di wilayah Keuskupan Agung Kupang mengikuti misa ini, dan beberapa uskup dari provinsi lainnya.
Dalam homili (kotbah), Monsinyur Antonius mengatakan, Monsinyur Petrus sudah selesai dengan dirinya. Sehingga dia tidak pernah mencari dirinya .
Monsinyur Petrus Turang total mengabdi pada tugasnya melayani umatnya dengan tidak merespons komentar yang menyebut dirinya galak, keras, tidak berbasa-basi, efisien dalam bekerja.
“Mau disebut galak, mau disebut keras, mau disebut otoriter, tidak apa-apa. Yang penting dia mengabdi. Dia setia pada Allah dan mengabdikan diri secara total kepada umat dan masyarakat yang dipercayakan kepadanya,” kata Monsinyur Antonius Subianto.
Uskup Emeritus Monsinyur Petrus Turang Pr telah meninggalkan banyak kenangan bagi umat dan siapa saja yang pernah berinteraksi dengannya.
“Uskup Petrus Turang memang keras, tegas. Kalau misa ada yang tidak beres, beliau langsung marah. Tapi setelah itu habis (tidak dendam-Red). Kalau beliau memimpin misa, berarti mesti ada yang kena marah,” kata Kornelius Yohanes Sekera bersama istrinya Yulita Silak, umat Paroki Katedral yang mengikuti Misa Pemakaman Monsinyur Petrus Turang.
Baca juga: OJK Turun Tangan Incar Koperasi Tak Wajar di NTT
Berawal dari Manado
Petrus Turang lahir, besar dan mengawali imamatnya di Manado, Sulawesi Utara.. Monsinyur Petrus Turang Pr selama 27 tahun mengembalakan umat Katolik di wilayah Keuskupan Agung Kupang yang meliputi Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Alor, dan Kabupaten Sabu Raijua.
Dia memimpin umatnya yang tinggal di 4 pulau. Pulau Rote merupakan pulau paling selatan Indonesia yang berbatasan langsung dengan wilayah Australia. Pulau Sabu sebagai pulau yang terluar. Uskup Petrus Turang Pr telah mengunjungi hampir semua wilayah Keuskupan Agung Kupang.
Dia memegang teguh moto hidupnya: Pertransiit – Benefaciando atau Berkeliling sambil berbuat baik.”
Perjalanan hidup Petrus Turang dituangkan dalam buku bertajuk Gereja Berkomunio Menggereja Bersama Mgr. Petrus Turang yang diterbitkan Penerbit Obor, tahun 2021. Editor buku ini Norbertus Jegalus (Pengajar Filsafat di Universitas Katolik Widya Mandira), Romo Siprianus S. Senda (Imam sekaligus Pengajar di Seminari Tinggi Santo Mikhael dan Universitas Katolik Widya Mandira), dan Romo Flores Maxi Un Bria ( Imam dan Pengajar di Sekolah Tinggi Pastoral Keuskupan Agung Kupang).
“Perjalanan hidup seseorang selalu berada dalam kerapuhan manusiawi. Siapa pun orangnya, dia selalu seorang manusia yang rapuh. Di dalam menjalani hidup di atas bumi ini, seseorang selalu berjumpa dengan sesama. Sesama yang juga merupakan anugerah bagi pertumbuhan dirinya…” tulis Monsinyur Petrus Turang di bagian Sambutan dalam buku tersebut.
Baca juga: 6 Fakta Kunci tentang Gerakan Koperasi Kredit di Timor
Sejak kecil Hidup dalam kemajemukan Agama
Petrus Turang lahir pada 23 Februari 1947 di satu desa kecil di Tataaran, tidak jauh dari Danau Tondano, Sulawesi utara. Dia sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, dan anak laki-laki satu-satunya. Bapaknya, G. Relwani beragama Hindu, dan ibu yang melahirkannya Jacomina Turang beragama Katolik. Sejak kecil, dia telah biasa hidup dalam kemajemukan agama.
Di saat Petrus Turang berumur tiga tahun, bapaknya meninggal . Selanjutnya tugas sebagai orangtua dijalankan ibunya untuk keempat anaknya. Sang ibu menyekolahkan Petrus Turang di Sekolah Rakyat Tataaran dan melanjutkan pendidikannya di Seminari Menengah tingkat SMP di Kakaskasen, Tomohon, Sulawesi Utara.
Pastor parokinya mendaftarkan Petrus Turang untuk bersekolah di Seminari Menengah itu dan berlanjut hingga ke Seminari Menengah Tingkat SMA di tempat yang sama. Padahal Petrus Turang sudah bercita-cita sebagai pilot pesawat.
Begitulah, jalan hidup setiap orang penuh warna dan sulit ditebak akhirnya. Petrus Turang kemudian ditahbiskan sebagai imam pada 18 Desember 1974. Saat itu usianya 27 tahun. Pentahbisan diselenggarakan di Gereja Katolik Santo Ignasius Manado, oleh Uskup Manado Monsinyur Th.Moors MSC. Dia memilih moto tahbisannya dari ungkapan Santo Irenius: Gloria Dei Vivens Homo (Kemuliaan Allah adalah Manusia yang Hidup).
Setahun setelah pentahbisan, Petrus Turang melanjutkan pendidikan S-1 mengenai Human Development dan melanjutkan pendidikannya untuk studi Sosiologi di Universitas Gregoriana Roma, Italia (1975-1979).
Penggagas Koperasi CU di Indonesia
Petrus Turang yang akrab disapa Romo Us Turang atau Romo Pit di masa itu, memiliki minat mendalam dalam bidang pengembangan sosial ekonomi melalui koperasi dan pertanian.
Romo Petrus Turang merupakan penggagas pendirian koperasi yang dikenal sebagai Credit Union (CU) di Indonesia.
“Monsinyur Petrus Turang sebagai penggagas lahirnya koperasi yang dikenal sebagai CU (Credit Union) di Indonesia,” kata Romo Siprianus Senda kepada KatongNTT saat ditemui di Seminari Tinggi Santo Mikael, Penfui pada Senin, 7 April 2025.
Koperasi CU yang kemudian berkembang di Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur, khususnya di wilayah Keuskupan Agung Kupang merupakan bentuk kepedulian Romo Petrus Turang yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif di Komisi PSE KWI di Jakarta (1984-1993).
Jadi, kata Romo Siprianus, Monsinyur Petrus Turang sudah mengenal NTT jauh sebelum dia ditahbiskan sebagai Uskup di Keuskupan Agung Kupang.
Uskup Agung Kupang Monsinyur Gregorius Manteiro SVD yang kondisi kesehatannya menurun setelah berkarya selama 30 tahun, mengajukan pensiun sebagai uskup ke Vatikan. Permintaan itu didiamkan dan Monsinyur Monteiro diminnta mengajukan uskup pembantu atau pendamping (Coajutor).
Baca juga: Uskup Peziarah Itu Telah Pergi (Mengenang Uskup Emeritus Mgr. Petrus Turang)
Vatican mengangkat Romo Petrus Turang sebagai Uskup Coajutor Keuskupan Agung Kupang. Dia ditahbiskan sebagai Uskup Agung Kupang pada 27 Juli 1007. Namun ibu kandungnya, Jacomina Turang tidak dapat mengikuti pentahbisan anaknya. Ajal menjemputnya.
Romo Petrus Turang memilih moto tahbisannya: Pertransiit benefaciendo diambil dari Kisah Para Rasul 10:38. Selama 27 tahun Monsinyur Petrus Turang menggembalakan umatnya. Dia menjadi Uskup Agung Kupang kedua yang menggembalakan umatnya yang luas wilayah pengembalaannya sekitar sepertiga luas wilayah NTT.
Menurut Romo Siprianus, Monsinyur Petrus Turang yang berkeliling menemui umatnya selalu membangun semangat pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pemimpin umat Katolik di Keuskupan Agung Kupang ini selalu membangun motivasi kepada masyarakat dengan ide-idenya yang konkrit dan sikap yang tegas.
Namun gagasan-gagasan tentang pemberdayaan ekonomi umat, penguatan di bidang pendidikan, dan membangun nilai-nilai solidaritas dan ketulusan hati masih menjadi “pekerjaan rumah” umat di Keuskupan Agung Kupang. [*]